JAKARTA, KOMPAS — Anak korban kejahatan seksual terus bertambah. Namun, komitmen pemerintah merehabilitasi korban menyeluruh dan berkelanjutan masih lemah.
Kasus kejahatan seksual Wa (24), guru SDN Tugu 10 Depok, Jawa Barat, terhadap 13 siswa laki-lakinya menunjukkan tak terehabilitasinya korban kejahatan seksual dengan baik. Semasa kecil, Wa mengaku juga menjadi korban pelecehan seksual.
Kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku orang dewasa merusak proses tumbuh kembang dan masa depan anak. ”Kejahatan seksual anak adalah pelanggaran hukum luar biasa,” kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Muhadjir Darwin, Sabtu (9/6/2018).
Anak berhak bertumbuhkembang dan terlindungi dari segala kekerasan fisik dan psikis. Sejumlah pihak yang meminta kasus kejahatan seksual anak tidak dibesar-besarkan menunjukkan lemahnya itikad melindungi anak. Lingkungan ramah anak hal mewah bagi anak Indonesia.
Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, implementasi UU sangat lemah. Banyak pejabat pemerintah, sekolah, dan orang dewasa menganggap masalah anak sebatas pendidikan dan kesehatan, sedangkan perlindungan anak dari segala kekerasan kurang terperhatikan.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati mengatakan, mereka yang ingin agar kasus kejahatan seksual anak tidak dipublikasi luas umumnya enggan sekolah atau daerah mereka terstigma.
Tak jarang, anak korban kejahatan seksual diminta pindah sekolah atau pindah rumah oleh orang sekitarnya. Keberadaan korban jadi tak terlacak, menyulitkan penanganan.
”Respons dalam menghadapi kejahatan seksual umumnya bukan untuk kepentingan terbaik anak yang menjadi korban, tapi kepentingan orang dewasa yang seharusnya justru melindungi anak,” tambahnya.
Menyelesaikan kasus kejahatan seksual memang lebih mahal daripada mencegahnya. Namun jika kasus tak diselesaikan dengan merehabilitasi korban, mereintegrasikan korban dengan masyarakat, hingga membantu orangtua mendampingi korban, itu sama saja dengan menabung masalah sosial yang lebih rumit di masa depan.
”Pengungkapan kejahatan seksual anak merupakan bagian dari upaya mencegah situasi lebih buruk dengan beban ekonomi lebih besar,” katanya. Pengungkapan itu juga membantu membuat jera pelaku.
Ketua Pengurus Daerah Asosiasi Antropologi Indonesia Jawa Barat Inang Winarso mengatakan, cara pandang pemerintah dalam membuat kebijakan perlindungan anak semata berlandas pada konsep hak asasi manusia. ”Pendekatan kebijakan anak bersifat sangat individualistis,” katanya.
Konsekuensinya, perlindungan anak seolah menjadi tanggung jawab bapak dan ibu kandung semata. Kebijakan anak seharusnya berdasarkan pada nilai tentang anak. Dengan cara pandang itu, anak siapa pun jadi anak sosiologis warga satu kampung, tanggung jawab bersama bagi lingkungannya.
Selain itu, menguatnya paham individual membuat semangat gotong royong menjaga anak-anak di masyarakat makin meluntur. Padahal, sikap kolektif menjaga anak itu justru makin relevan dengan situasi saat ini di tengah makin mengurbannya masyarakat dan kesibukan orangtua.
Saat ini, lebih dari separuh penduduk Indonesia ada di perkotaan dan menjadi dua pertiganya pada 2035. Tuntutan ekonomi, membaiknya kesetaraan jender, hingga terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan membuat banyak orangtua harus bekerja dan menyerahkan pengasuhan anak kepada pihak ketiga. Situasi itu makin membuka celah tak terlindunginya anak.
”Penegakan hukum yang keras bagi pelaku kejahatan seksual penting. Namun, upaya itu akan lumpuh jika tidak disertai penguatan nilai kolektivitas masyarakat menjaga anak,” kata Inang.