Era kekinian adalah ketika semua orang mesti tahu apa yang kita lakukan, sedang berada di mana, bersama siapa, dan di mana. Semua itu dipamerkan dalam beragam media sosial. Kehadiran media sosial pun terus berganti sesuai tren. Facebook kini dirasa isinya lebih banyak politik, perang kebencian, dan saling caci maki antara hater dan lovers, serta isinya lebih banyak orang tua. Maka kaum milineal lebih suka main di Instagram, yang juga dimiliki Mark Zuckerberg.
Pengguna Instagram di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data, pengguna aktif Instagram di Indonesia mencapai 53 juta orang atau menempati peringkat ketiga setelah Amerika Serikat (110 juta) dan Brasil (57 juta). Tidak mengherankan, bukan saja pencari follower atau pedagang mencari konsumen, akan tetapi politisi, caleg yang fakir suara pun ramai-ramai pakai platform ini untuk mendongkrak popularitas. Tim-tim medsos dibentuk, kalau perlu ”membeli” follower untuk memompa jumlah pengikut.
Keaktifan pengguna Instagram untuk mengunggah apa saja menjadi alat yang baik untuk pemasaran produk. Pelaku pasar bisa menggunakan para pesohor untuk mendorong (endorsement) beragam produk komersial atau kampanye apa pun. Kebiasaan memotret apa saja dan mengunggah ke Instagram juga mendongkrak kepopuleran kota, kawasan, atau tempat wisata baru.
Daerah, kota, atau tempat wisata berlomba berkreasi agar kota layak Instagram alias Instagramable. Mereka menghadirkan obyek dan ornamen kota yang unik, menarik, serta ”fotogenik”. Ketika kota punya kampung warna-warni, mural, dan sejenisnya, kota lain pun akan berbuat serupa. Juga ketika kawasan wisata memasang anjungan di ketinggian dengan latar belakang pemandangan, kawasan lain pun mengikutinya. Dengan tabiat ”aku juga” alias ikut-ikutan, hal ini jadi wajar.
Jakarta pun menempati posisi pertama sebagai kota yang paling banyak ditandai dalam Instagram stories. Gemerlap kehidupan malam, kafe, restoran, gedung tinggi, bangunan tua, dan museum mengundang orang untuk mengunggah di Instagram stories dengan tag lokasi Jakarta. Mereka yang suka berolahraga di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, tak bosan-bosan berpose dengan latar belakang GBK yang kini bertabur lampu warna-warni. Atau sekarang, dengan trotoar luas aneka warna.
Mungkin untuk semakin memopulerkan Jakarta itu pula, beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menggagas tarawih bersama di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat. Alasan Sandiaga, ”(Monas) sangat mempersatukan dan layak Instagram (instagramable).”
Kota-kota lain pun terus mempercantik diri dengan menampilkan ornamen kota. Pemkot Bandung, misalnya, menghadirkan ornamen berbentuk abstrak seperti untaian rantai dan tumpukan kubus, warna-warni dengan beragam motif, sebagai penghias kota tujuan wisata ini.
Jakarta pun masih memerlukan penghias kota agar semakin indah dan menyenangkan bagi warga maupun pengunjung. Tetapi “menanam” pohon plastik di trotoar dan menghalangi para pejalan kaki seperti beberapa waktu lalu, tetap tidak elok. Atau seperti yang dibilang Gubernur DKI Anies Baswedan, ”Ya, ngawur itu, enggak tahu idenya siapa.”