Cegah Penyebaran Hoaks, Facebook Sri Lanka Berlatih Bahasa Sinhala
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·2 menit baca
COLOMBO, KAMIS — Facebook melatih para stafnya di Colombo, Sri Lanka, bahasa Sinhala untuk mencegah konten dan penyebaran berita bohong atau hoaks dalam bahasa lokal negara itu. Hal ini dilakukan Facebook menyusul guncangan kerusuhan SARA yang mematikan yang dipicu oleh konten di internet tiga bulan lalu.
Langkah Facebook itu menjadi semacam penebusan dosa di Sri Lanka setelah pihak berwenang memblokir Facebook pada Maret. Hal itu menyusul unggahan provokatif yang menyulut kekerasan berbau SARA di Sri Lanka.
”Kami memang melakukan kesalahan dan kami lambat,” kata juru bicara Facebook, Amrit Ahuja, kepada AFP di Colombo.
Kelangkaan staf yang fasih berbahasa Sinhala, bahasa yang diucapkan oleh kelompok etnis terbesar di Sri Lanka, memperumit masalah ini. Pejabat pemerintah dan aktivis mengatakan, ketiadaan pengawasan memungkinkan konten ekstremis berkembang tanpa diketahui dan dikendalikan.
Ahuja menjelaskan, Facebook berkomitmen untuk mempekerjakan lebih banyak penutur Sinhala. Namun, ia menolak menyebutkan jumlah persisnya.
Kelangkaan staf yang fasih berbahasa Sinhala, bahasa yang diucapkan oleh kelompok etnis terbesar di Sri Lanka, memperumit masalah.
”Hal ini adalah masalah yang kami minta selesaikan oleh Facebook. Mereka membutuhkan lebih banyak sumber daya Sinhala,” kata Menteri Telekomunikasi Sri Lanka Harin Fernando.
Sejak kerusuhan pecah pada bulan Maret lalu, dua delegasi tingkat tinggi dari perusahaan Facebook telah mengunjungi Sri Lanka. Mereka memastikan penyebab dan penanganan dari masalah yang muncul.
Ahuja mengatakan, Facebook bekerja dengan organisasi masyarakat sipil untuk membiasakan stafnya berhubungan dengan penggunaan bahasa Sinhala. Nuansa lokal yang kompleks telah menambah tantangan tersendiri di negeri itu.
Kata untuk ”saudara laki-laki” dalam bahasa Tamil, juga bahasa resmi di Sri Lanka, misalnya, bisa menjadi istilah yang dinilai merendahkan di Sinhala ketika tekanan suara pengucapnya berubah.
Fernando mengatakan, keputusan untuk memblokir Facebook adalah upaya terakhir untuk mencegah meluasnya aksi kekerasan di negeri itu. Di Sri Lanka, satu dari tiga warga adalah pengguna aktif media sosial itu.
Selain peringatan pemerintah, menurut Fernando, pengguna Facebook mengajukan ribuan pengaduan atas konten ekstremis. Namun, hal itu direspons dengan dingin.
Keputusan untuk memblokir Facebook adalah upaya terakhir untuk mencegah meluasnya aksi kekerasan di Sri Lanka.
”Itu bukan sesuatu yang saya suka lakukan. Namun, jika kami tidak memblokir Facebook, bisa-bisa kekerasan akan menyebar di luar kendali,” ujar Fernando.
Untuk menghentikan aksi kekerasan lanjutan, pemerintah akhirnya memberikan perintah khusus kepada militer. Mereka wajib memulihkan ketertiban di bawah keadaan darurat, sebuah kondisi darurat pertama sejak berakhirnya perang saudara pada tahun 2009. Pusat Alternatif Kebijakan Sri Lanka mengatakan, Facebook perlu menawarkan lebih dari sekadar janji sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan. (AFP/AP/REUTERS)