Pelajaran dari Soeharto
Pekan ini adalah 50 tahun pembentukan Kabinet Pembangunan. Presiden Soeharto mengumumkan kabinet 6 Juni 1968 dan melantiknya pada 10 Juni. Banyak hal bisa dipelajari dari cara Soeharto mengelola negara di tengah tumpang tindih posisi menteri dengan Staf Pribadi Presiden dan Asisten Pribadi Presiden.
Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan Kamis malam, 6 Juni 1968, di Istana Merdeka Jakarta. Pengumuman tersebut menjadi berita utama harian Kompas edisi 7 Juni 1968 dengan judul ”Kabinet Pembangunan Terbentuk”. Kabinet Pembangunan ini terdiri dari lima menteri negara dan 18 menteri yang memimpin departemen.
Dalam penjelasannya, Soeharto menyatakan, dalam menyusun Kabinet Pembangunan telah mendapatkan banyak saran dan pertimbangan dari partai politik, organisasi massa, organisasi mahasiswa, dan perorangan. Kabinet tersebut merupakan zaken kabinet atau kabinet kerja yang mempertimbangkan pengalaman dan keahlian dalam bidang masing-masing.
Nomor | Jabatan Menteri Negara | Nama |
1 | Menteri Negara Bidang Ekonomi Keuangan dan Industri | Sri Sultan Hamengku Buwono IX |
2 | Menteri Negara Bidang Kesejahteraan Rakyat | KH Dr Idham Chalid |
3 | Menteri Negara Bidang Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara | H Harsono Tjokroaminoto |
4 | Menteri Negara Bidang Pengawasan Proyek-Proyek Pemerintah | Prof Dr Soenawar Soekowati |
5 | Menteri Negara Bidang Penyelenggaraan Hubungan antara Pemerintah dengan MPRS, DPR-GR, dan DPA | HMS Mintaredja SH |
Soeharto menyederhanakan departemen agar pelaksanaan tugas lebih efektif dan efisien. Departemen Pertanian dan Departemen Perkebunan disatukan menjadi Departemen Pertanian dengan tujuan menjadikan pertanian sentral pembangunan lima tahun. Departemen Perhubungan Darat, Laut, dan Udara, disatukan menjadi Departemen Perhubungan. Pengurusan tenaga listrik dikeluarkan dari bidang industri dan dimasukkan dalam Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Transmigrasi dan Koperasi dijadikan satu departemen.
Nomor | Jabatan Menteri Pemimpin Departemen | Nama |
1 | Menteri Dalam Negeri | Letjen Basoeki Rachmat |
2 | Menteri Luar negeri | H Adam Malik |
3 | Menteri Pertahanan/Keamanan | Jenderal Soeharto |
4 | Menteri Kehakiman | Prof Oemar Seno Adji SH |
5 | Menteri Penerangan | Laksda (U) Boedihardjo |
6 | Menteri Keuangan | Prof Dr Ali Wardhana |
7 | Menteri Perdagangan | Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo |
8 | Menteri Pertanian | Prof Dr Ir Thojib Hadiwidjaja |
9 | Menteri Perindustrian | Mayjen M Jusuf |
10 | Menteri Pertambangan | Prof Dr Soemantri Brodjonegoro |
11 | Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik | Ir Soetami |
12 | Menteri Perhubungan | Drs Frans Seda |
13 | Menteri Pendidikan dan Pengajaran | Mashuri SH |
14 | Menteri Kesehatan | Prof Dr GA Siwabessy |
15 | Menteri Agama | KH Dahlan |
16 | Menteri Tenaga Kerja | Laksda (L) Mursalin Daeng Mamanggung |
17 | Menteri Sosial | Dr AM Tambunan |
18 | Menteri Transmigrasi dan Koperasi | Letjen Sarbini |
Bersamaan dengan pengumuman kabinet, Soeharto membubarkan lembaga Staf Pribadi (SPRI) yang sebelumnya diprotes mahasiswa. Harian Kompas 19 Januari 1968 halaman 2 berjudul ”Pamplet2 Gelap di U.I.” memberitakan pamflet ditempel di dinding di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Tulisan di pamflet itu antara lain menyebutkan, ”Bubarkan SPRI/sekarang djuga; SPRI biang keladi Menteri Goblok;....”
Seperti diberitakan harian Kompas 13 Juni 1968 halaman 1 berjudul ”SPRI Dibubarkan, Asisten Pribadi Dibentuk”, organisasi SPRI terdiri atas koordinator merangkap anggota, yaitu Mayjen Alamsjah dengan 11 anggota lainnya. Kesebelas anggota lainnya adalah (1) SPRI Urusan Keuangan Mayjen Soerjo, (2) SPRI Urusan Ekonomi Brigjen Sudjono Humardani, (3) SPRI Urusan Pembangunan Brigjen Slamet Danudirdjo, (4) SPRI Urusan Kesejahteraan Rakyat Brigjen Abdulkadir, (5) SPRI Urusan Intelijen/Keamanan Dalam Negeri Brigjen Yoga Sugomo, (6) SPRI Urusan Umum Brigjen Sudharmono SH, (7) SPRI Urusan Media Massa Brigjen Nawawi Alif, (8) SPRI Urusan Intelijen/Keamanan luar negeri Kolonel Ali Murtopo, (9) SPRI Urusan Politik Brigjen Sunarso, (10) SPRI Urusan Proyek-proyek Nasional Brigjen Jusuf Singadikane, dan (11) SPRI Urusan Gerakan Massa Brigjen Isman.
Kalau melihat strukturnya, lembaga SPRI ini seperti kabinet bayangan karena pembagian tugasnya seperti tugas menteri tertentu. Alasan pembubaran SPRI seperti disampaikan Soeharto adalah, ”karena kelancaran tugas departemen-departemen telah mulai ada kemajuan-kemajuan yang besar dan positif, juga karena masa transisi berangsur-angsur dapat dilampaui, maka saya telah menyimpulkan bahwa tugas-tugas Staf Pribadi (SPRI) seperti bentuknya sekarang, telah dapat diakhiri”.
Soeharto melanjutkan, ”Walaupun demikian, selaku Presiden saya masih tetap memerlukan adanya pembantu-pembantu pribadi, yang bukan menteri, yang langsung membantu saya. Tetapi mereka tidak mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan keluar dalam bentuk apa pun.”
Sebagai pengganti SPRI yang terdiri atas 12 orang, Soeharto membentuk lembaga Asisten Pribadi (Aspri) melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1970. Harian Kompas 5 Agustus 1970 dalam berita berjudul ”ASPRI Tidak Punja Wewenang Eksekutif” menyebutkan, Aspri tidak mempunyai wewenang eksekutif, dalam arti tidak mempunyai wewenang memutuskan urusan pemerintahan dan setiap pejabat tidak terikat pada tindakan administratif pemerintahan yang dilakukan oleh Aspri.
Tugas Aspri, menurut Keppres No 53/1970 itu adalah menjadi penghubung pribadi Presiden dengan pejabat/instansi baik resmi maupun swasta dan mencari bahan keterangan untuk kelancaran tugas-tugas Presiden.
Ada empat Aspri yang ditunjuk Soeharto, tiga merupakan SPRI sebelumnya yaitu Aspri Bidang Khusus Mayjen Ali Murtopo, Aspri Bidang Ekonomi Mayjen Sudjono Humardani, Aspri Bidang Keuangan Letjen Soerjo. Satu orang lagi adalah Aspri Bidang Pengamanan Kepresidenan Mayjen Tjokropranolo.
Dalam perkembangannya, tugas yang dilakukan Aspri ini memang strategis. Ali Murtopo, misalnya, mengurusi penyederhanaan partai politik, seperti termuat dalam berita Harian Kompas 9 Oktober 1971 halaman 1 berjudul ”Aspri Presiden Majdjen Ali Murtopo: Penjederhanaan Kepartaian Bersifat Persuasip dan Edukatip”. Pernyataan itu disampaikan Ali Murtopo di depan 24 anggota Parmusi yang terpilih sebagai anggota DPR.
Sudjono Humardani, misalnya, melaksanakan lobi ke Jepang untuk memasukkan investasi Jepang ke Indonesia, seperti proyek pembangkit listrik dan peleburan aluminium di Asahan, Sumatera Utara, seperti diberitakan Harian Kompas 10 April 1972 halaman 2 berjudul ”Projek Asahan Pasti Dimulai Tahun 1973”. Atas perintah Presiden, Sudjono meninjau lokasi proyek di Desa Simangkuk, Asahan, didampingi wakil kontraktor dari Amerika yaitu Alcoa dan kontraktor Jepang Sumitomo dan Mitsubishi.
Masih besarnya peran Aspri tersebut kembali diprotes mahasiswa yang berakhir dengan kerusuhan di Jakarta 15-16 Januari 1974. Kerusuhan tersebut dikenal sebagai Peristiwa Malari (15 Januari). Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi meminta pembubaran Aspri yang merupakan tuntutan pertama dari Tritura selain tuntutan turunkan harga dan berantas korupsi.
Pengusaha Sofjan Wanandi, dalam bukunya, Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden, yang ditulis Robert Adhi Kusumaputra (Penerbit Kompas, 2018), juga memberi kesaksian atas pembubaran Aspri tersebut.
”Saya termasuk orang yang dikritik teman-teman aktivis, salah satunya Hariman Siregar dari UI. Mereka meneriakkan ’Ganyang Aspri-aspri Presiden’...Setelah Peristiwa Malari 1974, Soeharto menghapus jabatan Aspri...”. Demikian kesaksian Sofjan di halaman 80 bukunya.
Soeharto memang menuruti tuntutan mahasiswa dengan membubarkan Aspri, seperti diberitakan harian Kompas 29 Januari 1974 halaman 1 dengan judul ”Presiden Sendiri Sekarang Pangkopkamtib dan Aspri Ditiadakan”.
Keputusan presiden itu diambil setelah pertemuan di Istana Merdeka dengan sejumlah menteri terkait. Menteri Negara/Sekretaris Negara Sudharmono SH mengumumkan keputusan tersebut. Aspri Bidang Khusus Mayjen Ali Murtopo tetap menjadi Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Aspri Ekonomi Sudjono Humardani menjadi anggota MPR/DPR, Aspri Keuangan Letjen Soerjo menjadi Direktur Utama PT Hotel Indonesia International, dan Aspri Pengamanan Kepresidenan Tjokropranolo menjadi Sekretaris Militer Presiden.
Presiden Soeharto membahas kembali soal desakan pembubaran Aspri tersebut dalam Sidang Kabinet Paripurna di Gedung Sekretariat Kabinet, Selasa, 30 April 1974. Harian Kompas memberitakannya pada 1 Mei 1974 di halaman 1 dengan judul ”Presiden: Aspri dan Kopkamtib Hanya Sasaran Antara”. Pernyataan Soeharto tersebut disampaikan Menteri Penerangan Mashuri yang melanjutkan, ”sasaran utamanya adalah Presiden Soeharto sendiri...”.
Setelah gejolak Malari 1974, pemerintahan Presiden Soeharto stabil secara politik sehingga Kabinet Pembangunan berlanjut hingga Kabinet Pembangunan VII. Namun, puncak masa keemasan pemerintahan Presiden Soeharto adalah Kabinet Pembangunan IV tahun 1983-1988.
Pandangan itu antara lain dikemukakan Yoga Sugomo dalam bukunya, Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar, karya Bambang Wiwoho dan Banjar Chaeruddin (Penerbit Buku Kompas, 2018).
Dalam halaman 292 buku itu disebutkan, ”Dalam suatu pertemuan rutin mingguan di bulan Mei 1985, Yoga (Kepala Bakin Yoga Sugomo) menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto, antara lain (1) Pak Harto sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum 1988 dan secara realitas sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun. Dikhawatirkan akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. (2) Periode kepemimpinan 1983-1988 menurut Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto. Sesudah itu dikhawatirkan akan mulai melemah”.
Dalam halaman 290 buku itu disebutkan, Yoga Sugomo dan Ali Murtopo coba mengingatkan Soeharto dengan ”cara Jawa”, yaitu ”memangku” Soeharto agar cukup merasa puas untuk menjadi tokoh senior dan bapak bangsa yang dimuliakan. Cara ”memangku” Soeharto adalah dengan menggulirkan pemberian gelar ”Bapak Pembangunan” sebagai puncak prestasi, pengabdian, dan sekaligus penghargaan rakyat.
”Pak Harto senang dengan pemberian gelar tersebut dan tetap maju kembali untuk menjadi Presiden...”, tulis buku tersebut.
Itulah pelajaran yang dapat ditarik dari 50 tahun Kabinet Pembangunan bagi siapa pun yang ingin menjadi Presiden dalam Pemilu 2019.