JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menetapkan premium dengan kadar oktan bahan bakar atau RON 88 sebagai batas minimal yang dapat disalurkan kepada masyarakat. Kendati demikian, penetapan itu dipertanyakan sejumlah pihak sebab dinilai tidak sesuai standar yang aman bagi kendaraan.
Sebelumnya, pemerintah menambah alokasi bahan bakar minyak jenis premium tahun ini menjadi 11,8 juta kiloliter, naik 4,3 juta kiloliter. Jumlah itu ditambah akibat adanya laporan kekurangan pasokan premium di sejumlah daerah.
Keputusan itu tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No 1851 K/15/MEM/2018 sehingga Pertamina akan memasok dan menjual premium di wilayah Jawa dan Bali.
Ketua Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safruddin saat dihubungi di Jakarta, Selasa (5/6/2018), mengatakan, BBM jenis premium dengan RON 88 tidak cocok digunakan untuk mesin kendaraan keluaran terbaru. ”Premium dengan RON 88 digunakan untuk kendaraan standar emisi euro 1,” katanya.
Saat ini kendaraan sepeda motor Indonesia memiliki standar emisi euro 3 mulai tahun 2013, sedangkan kendaraan roda empat memiliki standar emisi euro 4 sejak 2017.
Dengan demikian, rata-rata kendaraan saat ini membutuhkan BBM dengan RON 92. Hal itu karena RON 92 memiliki kadar belerang maksimal 50 part per million (ppm).
Ahmad mengatakan, kendaraan yang diisi BBM tidak sesuai standar mengakibatkan mesin akan mengelitik (knocking). Knocking terjadi akibat pembakaran di dalam mesin tidak sempurna.
Wahyu (27), salah seorang pengendara sepeda motor yang juga karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta Barat, mengatakan, ia pernah menggunakan premium untuk sepeda motornya selama empat bulan pada 2013. ”Premium membuat mesin jadi kasar. Tarikan gas motor menjadi tidak nyaman,” katanya.
Ia memutuskan untuk menggunakan pertalite sejak itu. Selama lima tahun, ia merasa pertalite sedikit lebih baik untuk menjaga mesin motor. Ia mengakui, pertamax adalah jenis BBM terbaik untuk sepeda motornya, tetapi memiliki harga yang mahal.
Ahmad membandingkan BBM dengan RON 95 yang memiliki kadar belerang 50 ppm, benzena mencapai maksimal 1 persen, aromatik maksimal 35 persen, dan olefin maksimal 18 persen.
Sementara, premium dengan RON 88 memiliki kadar belerang 200 ppm, benzena maksimal 5 persen, aromatik maksimal 50 persen, dan olefin maksimal 35 persen. ”Perbedaannya bisa mencapai empat kali lipat,” ujarnya.
Selain membuat mesin tidak bertenaga akibat pembakaran yang tidak sempurna, kendaraan yang menggunakan premium RON 88 membuat sisa BBM terbuang dan menjadi emisi karbon. Emisi itu mencemari udara yang kemudian mengganggu pernapasan.
Dengan demikian, kata Ahmad, masyarakat justru menjadi lebih boros karena harus membeli BBM dan mengeluarkan biaya perawatan kendaraan lebih banyak. Ditambah lagi kesehatan terganggu dan lingkungan tercemar. Pemerintah dinilai sebaiknya membeli BBM dengan RON yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto secara terpisah, kemarin, mengatakan, premium dengan RON 88 merupakan batasan minimal. Jika pemerintah mendapatkan BBM dengan RON 90, itulah yang akan dijual. Begitu pula jika pemerintah mendapatkan BBM dengan RON 92.
Ia menegaskan, status Indonesia saat ini adalah sebagai negara pengimpor BBM. Dengan demikian, kemungkinan Indonesia untuk menjual premium RON 88 tetap ada. ”Dapat berapa itu yang kita jual,” kata Djoko.
Pragmatis
Ahmad meyakini, melihat budaya dan keadaan ekonomi saat ini, masyarakat Indonesia akan cenderung membeli BBM dengan harga yang lebih murah, seperti premium.
Pertamina, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian ESDM diharapkan dapat terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait jenis BBM serta kelebihan dan kekurangan setiap jenis BBM.
Djoko mengatakan, pemerintah berharap agar masyarakat yang telah menggunakan jenis BBM di atas pertalite tidak beralih menggunakan premium. Namun, ia meyakini masyarakat yang telah menggunakan pertamax tidak akan beralih ke premium karena memiliki daya beli yang kuat.