Memperhitungkan Kekuatan K9
Sekecil apa pun bau yang terbawa angin, cukup menjadi petunjuk bagi anjing pelacak canine atau K9 untuk mencari benda yang membahayakan hingga korban bencana alam. Kemampuannya telah terbukti dan diandalkan. Namun, jika dibandingkan dengan letak geografis Indonesia yang luas, keberadaannya belum diperhitungkan secara memadai.
Pada awal 2016, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Budi Waseso mengeluhkan, penyidik BNN kewalahan saat harus membuka satu per satu peti bermuatan 194 generator set (genset) dari gudang mebel di Jepara, Jawa Tengah. Pekerjaan itu untuk mengungkap penyelundupan sabu asal China.
Setelah kerja keras membongkar satu per satu unit genset di gudang itu, penyidik baru memperoleh 100 kilogram sabu yang diincarnya. Sabu itu dibagi menjadi lebih dari 50 paket, masing-masing seberat 1,5 kilogram hingga 2 kilogram. Setiap paket disisipkan di dalam unit genset. Setidaknya ada 94 genset yang disisipkan paket sabu itu.
Baca juga: Melacak Itu Bermain...
Saat itu, Waseso mengungkapkan, jika pekerjaan melacak keberadaan sabu itu dilakukan anjing pelacak, pekerjaan tersebut tentu akan berjalan lebih efektif. Penyidik tak perlu membongkar semua genset yang ada di gudang tersebut. Saat itu BNN belum memiliki Unit K9.
Baru pada akhir 2016, BNN mulai membentuk Unit K9. Untuk memperkuat unit itu, sebanyak 50 anjing ras yang umumnya jenis anjing gembala diimpor dari sejumlah negara di Eropa, terutama Belanda. Namun, tiga ekor di antaranya mati saat proses penyesuaian sehingga tinggal 47 ekor. Hingga kini, unit K9 BNN bermarkas di Lido, Jawa Barat, dengan menempati lahan 3,5 hektar.
Di Polri, penggunaan anjing K9 bukan hal baru. Unit K9 Polri telah banyak melakukan operasi dan pengungkapan kasus yang mengandalkan kecakapan anjing ini dalam mengendus keberadaan narkotika, bahan peledak, pelacakan pelaku pencurian ataupun pembunuhan, hingga pencarian korban bencana. Sebanyak 600 anjing pelacak Polri tersebar di sejumlah polda di Indonesia.
Demikian pula di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang sudah lama mengandalkan anjing K9 untuk melacak penyelundupan narkoba di perbatasan, bandara, atau pelabuhan. Unit ini diperkuat 73 anjing pelacak serta tersebar di Jakarta dan sejumlah daerah perbatasan dan jalur rawan penyelundupan narkoba di Sumatera, Kalimantan, Jawa, juga Bali.
Hanya, Unit K9 yang ada di Polri, Ditjen Bea dan Cukai, atau BNN belum benar-benar memadai. Lihat saja dari segi jumlah, total anjing K9 di tiga institusi itu baru tersedia 720 ekor untuk menjaga Indonesia yang begitu luas dengan 17.000 pulau, panjang garis pantai hingga 100.000 kilometer, 130 pelabuhan resmi, dan ribuan pelabuhan tikus. Dengan ancaman mulai dari penyelundupan narkoba, terorisme, bencana alam, termasuk kriminal.
Andro, anjing labrador retriever yang khusus melacak narkoba milik Ditjen Bea dan Cukai, merupakan satu contoh peran anjing K9 menjaga kedaulatan negara dari penyelundupan narkoba. Dengan penciumannya yang tajam, anjing berusia 4 tahun itu dapat mengendus 1,6 ton sabu yang disembunyikan di bawah timbunan barang ataupun tangkapan ikan di dalam kapal berbendera Singapura, KM 61870 MV Min Liang Yuyun, di perairan Batam, Februari lalu.
Belum lama ini, anjing labrador retriever Sam dan anjing pointer Emma dapat menemukan lima korban tewas yang tertimbun tanah longsor di Cijeruk, Jawa Barat. Kedua anjing milik Unit K9 Search and Rescue Direktorat Polisi Satwa Korps Sabhara Baharkam Polri itu menemukan kelima korban hanya dalam hitungan 20 menit.
Kepala Subdirektorat Pelacakan dan Penangkalan Direktorat Polisi Satwa Korps Sabhara Baharkam Polri Komisaris Besar Ahmad Dyanaputra, Senin (21/5/2018), menyampaikan, peran anjing itu vital dalam pelacakan karena memiliki kemampuan mengendus yang sangat baik. Waktu yang digunakan untuk pelacakan pun dapat efektif. Selain itu, penggunaan anjing dalam operasi itu juga dapat meminimalkan korban manusia.
”Untuk melacak, kita juga bisa pakai alat. Namun, penciuman anjing jauh lebih sensitif. Sementara alat bisa rusak. Orang juga bisa disuap, tetapi anjing tidak. Karenanya, anjing sangat diandalkan,” ujarnya.
Namun, dengan Indonesia yang begitu luas, Dyanaputra mengakui, kekuatan anjing pelacak yang ada di seluruh Polda di Indonesia itu belum memadai. Sejauh ini, pengadaan anjing di daerah berangkat dari usulan setiap polda. Sementara ada polda yang aktif meminta tambahan anjing pelacak, tetapi ada yang tidak.
Polda Bali dan Jawa Tengah adalah beberapa yang memiliki banyak anjing pelacak. Polda Bali memiliki 32 ekor dan Polda Jateng memiliki 30 anjing pelacak. Sementara Aceh yang selama ini dikenal sebagai area peredaran narkoba dan ladang ganja hanya memiliki 2 anjing pelacak.
”Seperti di Aceh dan Kalimantan Selatan, ada benturan kultur. Padahal, di sana kami sudah terjunkan pawang anjing,” lanjutnya.
Sementara dalam pelatihan, menurut Dyanaputra, masih terus dibutuhkan peningkatan karena ancaman keamanan yang semakin beragam. Sebab, anjing melacak berdasarkan bau yang pernah diperkenalkan dan ada dalam memorinya. Contoh teror bom, belakangan bahan peledak yang digunakan kelompok teroris untuk menebar teror juga berbeda dari sebelumnya. Begitu pula untuk narkoba, jenisnya juga semakin beragam.
”Narkoba sudah berbeda-beda, kita harus latih dulu. Anjing itu hafalan dari baunya. Bahan peledak juga sekarang beragam. Bentuknya sekarang ada yang terbaru, mother of satan,” jelasnya.
Pengerahan anjing pelacak di bandara juga belum sepenuhnya optimal. Ditjen Bea dan Cukai baru menerjunkan anjing pelacak pada saat tertentu, terutama saat ada penerbangan dari negara-negara produsen ataupun bandar narkoba datang ke Indonesia.
Kepala Seksi Humas Ditjen Bea dan Cukai Devid YM menyampaikan, pihaknya pernah menempatkan 2-3 anjing pelacak di Bandara Soekarno-Hatta. Namun, ketiga anjing itu mengalami gangguan karena kandang yang tersedia berdekatan dengan aktivitas pekerja dan berisik sehingga tak baik bagi anjing.
”Sejak itu, anjing kami tarik, ditaruh di kantor Ditjen Bea dan Cukai. Anjing-anjing itu baru akan dikerahkan untuk melacak jika pihak bandara memberitahukan ada negara sumber narkotika yang datang,” katanya.
Selain bandara, menurut Devid, anjing Unit K9 Ditjen Bea dan Cukai juga digunakan untuk melacak paket dari luar negeri yang melalui kargo di Bandara Halim Perdanakusuma, Bandara Soekarno-Hatta, ataupun Kantor Pos Pasar Baru.
Anjing Unit K9 Ditjen Bea dan Cukai juga tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, terutama daerah perbatasan dan perairan yang kerap menjadi pelintasan antarnegara. Batam, salah satunya, adalah daerah yang diperkuat Ditjen Bea dan Cukai dengan anjing pelacak.
Kemampuan anjing pelacak yang dipekerjakan di perairan, kata Devid, membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang baik. Tak sedikit mereka harus masuk ke ruangan dingin tempat penyimpanan ikan, sementara kemampuan pengendusan anjing menjadi berkurang jika berada di suhu yang terlampau dingin.
”Dengan ombak besar, kami harus lompat ke kapal. Pas anjing, mengalami kesulitan. Anjing, kan, milik negara. Ini yang perlu hati-hati,” ucapnya.
Iman Fransiskus, pelatih anjing pekerja untuk klub Internationale Prufungsordnung (IPO), mengungkapkan, jika pemerintah serius ingin menjaga bandara, pelabuhan, dan perbatasan dari penyelundupan narkoba, setiap bandara dan pelabuhan harus dilengkapi anjing pelacak yang memadai.
”Di Asia Tenggara, baru Bandara Singapura yang benar-benar menggunakan anjing pelacak untuk mengendus barang berbahaya. Anjing tersebut tak digunakan satu hari penuh, tetapi dilakukan rotasi dengan anjing lain. Kemampuan anjing mengendus terbatas 30 menit sampai 1 jam,” tuturnya.
Baca juga: K9 Dibutuhkan untuk Bantu Aparat Keamanan
Instruktur pawang anjing Direktorat Polisi Satwa Korps Baharkam Polri, Brigadir Didin Rosidin, pun mengungkapkan, kemampuan anjing pelacak dalam mengendus maksimal 1 jam. Anjing tak dapat dipaksa mengendus terus-terusan karena kemampuannya terbatas. Saat bekerja, pengerahan anjing pelacak harus dilakukan secara bergantian dengan anjing lain. ”Harus dilakukan rotasi,” ucapnya.
Didin mengungkapkan, wajar jika usia anjing pelacak jarang sekali yang lebih dari 10 tahun karena stres yang dialami anjing pelacak atau anjing pekerja jauh lebih tinggi dibandingkan anjing peliharaan.
”Anjing pekerja, kan, terus dilatih, diberikan pekerjaan untuk melacak. Itu juga menimbulkan stres bagi anjing pelacak, dan itu membuat usianya lebih singkat dibandingkan anjing peliharaan,” ujarnya.
Pengadaan anjing pelacak setiap ekor, seperti di Polri, menghabiskan biaya lebih dari Rp 100 juta untuk setiap ekor. Anjing-anjing itu dipenuhi dari pasar anjing pelacak di Belanda. Umumnya anjing-anjing itu juga telah dikebiri sehingga tak bisa diternakkan di Indonesia.
Pelaksana Tugas Kepala Unit K9 BNN Doni T Handono menyampaikan, dengan kondisi geografis Indonesia yang luas, dipastikan dibutuhkan banyak anjing pelacak. Pemerintah tak bisa selamanya menggantungkan suplai anjing pelacak kepada luar negeri karena kebutuhan di dalam negeri terus bertambah.
BNN, lanjut Doni, telah menawarkan kepada Kementerian Keuangan agar nantinya dapat dilakukan pengembangan anjing pelacak yang terpadu, khususnya untuk peternakan anjing pelacak. Untuk itu dibutuhkan sinergi dari tiap pihak penegak hukum karena beberapa medan pekerjaannya juga hampir sama.
”Sinergi ini dibutuhkan untuk pengembangan ke depan. Kami, BNN, menginginkan agar pengembangan anjing pelacak dapat dijalankan secara terpadu. Walaupun nantinya, untuk pelatihan dan spesifikasi anjing, akan kembali ke institusi masing-masing. Seperti BNN, anjing pelacak hanya untuk melacak narkoba, tetapi polisi jauh lebih beragam,” tuturnya.