Dua remaja bunuh diri di Blitar dalam waktu berdekatan. Masalah keluarga diduga menjadi penyebab. Orangtua perlu mendampingi anak agar mampu menyelesaikan masalah.
BLITAR, KOMPAS -Dalam empat hari terjadi dua kasus bunuh diri di Blitar, Jawa Timur, yang pelakunya semua remaja. Satu korban nekat mengakhiri hidup diduga karena persoalan keluarga, korban lain depresi karena tidak lagi mendapat kepercayaan dari orangtua setelah sering minta uang dan menghabiskannya.
Korban BI (15), warga Desa Kanigoro, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, yang baru lulus SMP, ditemukan ayahnya, Imam Muhson (45), tergantung di kamar, Kamis (31/5/2018) sore. Sebelumnya, EPA (16), siswi yang juga baru lulus SMP di Kota Blitar, ditemukan meninggal di kamar kosnya, di Kelurahan Sananwetan, Selasa (29/5).
Kepala Kepolisian Sektor Kanigoro Ajun Komisaris Purdyanto, Jumat (1/6), menuturkan dugaan yang melatarbelakangi BI bunuh diri. Siswi itu sering meminta uang kepada orangtua dan habis dalam waktu singkat. Kondisi ekonomi orangtua, sebagai petani, pas-pasan.
” Orangtuanya menduga uang itu dihabiskan untuk macam- macam (hal tidak baik) sehingga orangtua kecewa. Orangtua sering mengatakan anak ini pembohong dan sebagainya. Selain itu, BI ingin dibelikan orangtua sepeda motor trail,” ujarnya.
Dalam buku hariannya, korban menulis pesan yang mengatakan bahwa dirinya anak nakal dan sering menyakiti hati orangtua. Korban mengaku depresi, ingin bunuh diri, dan meminta maaf kepada teman-temannya.
Terkait EPA, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Blitar Kota Ajun Komisaris Heri Sugiono mengatakan, masalah keluarga diduga melatarbelakangi tindakan itu. Namun, Heri enggan merinci masalah keluarga yang dimaksud. Pihak kepolisian belum bisa mengorek keterangan dari pihak keluarga karena pihak keluarga masih dalam suasana duka.
Bukan karena zonasi
Heri membantah kabar yang beredar sebelumnya tentang zonasi sekolah (masuk SMA) sebagai penyebab EPA bunuh diri. Korban merasa khawatir tidak diterima di sekolah favorit lantaran sekolah itu berada di luar wilayah domisili (zonasi).
”Sementara ini, kami belum bisa mengungkap penyebab (bunuh diri) lebih jauh. Namun, dari keterangan keluarga, ada masalah keluarga. Soal zonasi sekolah, dari 10 surat yang ditinggalkan korban, tidak ada yang menyebut hal itu,” kata Heri, Jumat siang.
Sosiolog Universitas Brawijaya, Malang, Dhanny S Sutopo, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, referensi untuk mengisi ruang hidup remaja zaman sekarang sangat bergantung pada internet. Mereka menjadikan dunia maya sebagai referensi hidup, referensi moral dan nilai-nilai.
Di sisi lain, hubungan dengan orangtua dan keluarga kian berkurang. Akibatnya, begitu remaja memiliki masalah, mereka tidak berbagi dengan keluarga. Mereka tidak lagi menjadikan keluarga sebagai tempat untuk mencari solusi dan pemecahan persoalan. ”Akhirnya saat tidak mampu memecahkan masalah, tidak sanggup menahan beban mental, mereka mengakhiri hidup yang dianggap sebagai jalan keluar,” ujarnya.
Karena itu, orangtua harus lebih memberikan perhatian dan mendampingi anak-anaknya agar mereka tidak merasa sendirian dan mampu menghadapi persoalan dengan lebih tegar.