Akhirnya, ada presiden yang mau menemui para peserta aksi Kamisan setelah lebih dari sepuluh tahun mereka berdiri di depan Istana Merdeka.
Setiap Kamis, para aktivis dan keluarga para korban pelanggaran HAM setia berdiri di depan Istana Merdeka memprotes tiadanya penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM. Berbaju hitam dan berpayung hitam. Perkabungan tak berkesudahan karena tak ada niat baik pemerintah untuk mengakui adanya pelanggaran-pelanggaran HAM, menindaklanjutinya dalam peradilan HAM ad hoc, dan menghukum para pelaku.
Nyonya Maria Catarina Sumarsih, ibunda Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, juga tetap berdiri di depan Istana Merdeka, Kamis (31/5/2018). Wawan adalah mahasiswa Universitas Atmajaya Jakarta yang tewas tertembak dalam Tragedi Semanggi I. Siapa yang menembak Wawan dan bertanggung jawab atas perbuatannya? Sampai sekarang masih gelap.
Setiap Kamis, Nyonya Sumarsih bersama sejumlah kerabat korban pelanggaran HAM lainnya setia menanti reaksi Istana akan janji penegakan hukum atas pelanggaran HAM berat ini. Nyonya Sumarsih berjuang bersama Nyonya Damaris Hutabarat, ibunda Ucok Munandar Siahaan, aktivis yang hilang dalam perjuangan melawan Orde Baru; Nyonya Maria Sanu, ibunda Stevanus Sanu, korban pembakaran di Pasar Klender; ataupun para keluarga korban pelanggaran HAM Talangsari Lampung, Trisakti, Semangi, Wamena, dan Tanjung Priok bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta.
Bersama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki, serta Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi SP, peserta aksi Kamisan ini ditemui Presiden Joko Widodo. Presiden menyambut sekitar 20 aktivis yang selama lebih dari 10 tahun menunggu reaksi pemerintah, menegakkan hukum dan mengusut secara serius para pelanggar HAM berat di Tanah Air.
Harapan aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM ini hanya satu. Presiden Joko Widodo mewujudkan janji kampanyenya, menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan menugaskan Jaksa Agung menindaklanjuti berkas yang diberikan Komisi Nasional HAM.
Sandyawan Sumardi yang mendampingi mereka mengatakan, harapan keluarga korban adalah Presiden mau mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang rendah hati dan bermartabat dengan mengakui adanya pelanggaran-pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pengakuan ini menjadi pintu masuk untuk penanganan dan penuntasan pelanggaran HAM berat tersebut.
Aksi akan terus digelar sampai negara mengakui dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Johan Budi menjelaskan, Presiden akan memanggil Jaksa Agung dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk membicarakan hal ini. Selain itu, Presiden juga akan memerintahkan Jaksa Agung untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM.
Presiden Joko Widodo, menurut Johan Budi, sejak lama ingin mendengar langsung dari aktivis Kamisan. Namun, dalam dua kali kesempatan, pertemuan gagal. Johan Budi mengatakan tak tahu di mana kebuntuan terjadi yang mengakibatkan pertemuan tak berlangsung lebih awal.
Sandyawan menambahkan, sebelum ini pernah disampaikan oleh staf Presiden bahwa Presiden Joko Widodo akan ikut hadir dalam Kamisan. Namun, kemudian hal itu diundur dan akhirnya para aktivis diminta ke Istana Bogor, padahal saat itu sudah berkumpul ribuan aktivis di depan Istana Merdeka, Jakarta. Akhirnya, para aktivis memilih tetap melakukan aksi di Jakarta dan kemudian menjenguk salah seorang ibu korban tragedi Trisakti.
Para aktivis pun tak puas hanya dengan bertemu Presiden Joko Widodo. Tindak lanjut yang lebih ditunggu. Nyonya Sumarsih pun menegaskan, keluarga korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) tidak pernah ikut dukung-mendukung capres-cawapres mana pun. Siapa pun presiden yang menjabat wajib menyelesaikan penanganan pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu dan masa kini. Sebab, tegas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa tak ada masa kedaluwarsa untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Sandyawan menambahkan, semua menyadari proses mungkin akan lama. Para aktivis dan keluarga korban pun terbiasa kecewa. Namun, semangat tak akan pernah padam. Tak hanya sampai di aksi ke-540 ini. Aksi akan terus digelar sampai negara mengakui dan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut.