Tingkat Pengenalan Masih Jadi Masalah bagi Sudirman-Ida
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil survei terbaru Litbang Kompas pada Mei 2018 menunjukkan, meski mengalami kenaikan, elektabilitas pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah masih jauh tertinggal dibandingkan pesaingnya, Ganjar Pranowo-Taj Yasin. Tingkat pengenalan yang belum optimal dari Sudirman-Ida masih menjadi permasalahan utama elektabilitas pasangan ini belum bisa mendekati tingginya elektabilitas Ganjar-Yasin.
Survei Litbang Kompas dilakukan terhadap 800 responden di Jawa Tengah pada 10-15 Mei 2018 dengan margin of error +/- 3,46 persen. Survei dilakukan menggunakan model responden panel sehingga perubahan perilaku memilih pada responden yang sama dengan survei sebelumnya dapat diketahui dengan jelas.
Manajer Litbang Kompas Toto Suryaningtyas di Jakarta, Rabu (30/5/2018), mengatakan, dengan model ini diketahui jejak peralihan dukungan dari responden yang semula memilih Ganjar-Yasin kini sebanyak 6,1 persen beralih dukungan kepada Sudirman-Ida. Sementara 88,9 persen tak berubah, tetap memilih pasangan itu.
Berdasarkan hasil survei terbaru, elektabilitas pasangan Sudirman-Ida mengalami peningkatan 15 persen. Pada survei Maret lalu, elektabilitas pasangan yang diusung Partai Gerindra, PKS, PAN, dan PKB ini 11,8 persen.
Di sisi lain, meningkatnya elektabilitas Sudirman-Ida membuat pesaingnya, Ganjar-Yasin, mengalami penurunan elektabilitas. Ganjar-Yasin yang diusung PDI-P dan PPP ini mengalami penurunan elektabilitas dari 79 persen menjadi 76,6 persen.
Menurut Toto, berdasarkan hasil survei, naiknya elektabilitas Sudirman-Ida merupakan imbas dari kian solidnya dukungan massa partai pengusungnya. Dukungan dari massa Partai Gerindra yang dua bulan lalu tercatat 23,1 persen kini menjadi 41,5 persen. Massa PKS yang sebelumnya hanya 40 persen mendukungnya kini meningkat ke angka 52 persen.
Demikian juga dengan dukungan massa PAN yang sebelumnya tercatat 31,3 persen, kini persentasenya meningkat menjadi 44 persen. Sementara itu, massa PKB cenderung tak berubah, solid mendukung Ganjar-Yasin dengan angka sekitar 81 persen.
Tingkat pengenalan
Namun, meski mengalami kenaikan, elektabilitas pasangan Sudirman-Ida masih jauh tertinggal dari pesaingnya, Ganjar-Yasin. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, tingkat pengenalan menjadi masalah utama dari pasangan Sudirman-Ida.
Hal ini juga dibuktikan dari hasil survei yang menyatakan bahwa tingkat pengenalan dan popularitas Sudirman-Ida masih di bawah Ganjar-Yasin.
Pengetahuan orang terhadap Sudirman Said meningkat hampir dua kali lipat selama dua bulan ini, dari 26 persen menjadi 43,8 persen. Demikian juga dengan pasangannya, Ida Fauziyah, meningkat lebih dari dua kali lipat dari 12,4 persen menjadi 27,9 persen.
Meski demikian, popularitas Ganjar saat ini telah mencapai 91,8 persen sehingga dapat dikatakan hampir semua calon pemilih Jateng mengenalnya. Dua bulan lalu, popularitasnya ada di angka 78,4 persen. Kenaikan popularitas Ganjar, yang juga diikuti oleh meningkatnya pengenalan masyarakat terhadap pasangannya, Taj Yasin, dari 16,3 persen menjadi 29,9 persen.
”Angka pengenalan Sudirman-Ida belum mencukupi untuk dikatakan layak bersaing di level pilkada. Minimal standar pengenalan orang dalam mengikuti pilkada sekitar 60 persen. Sementara angka layak menang tingkat pengenalan minimal 80 persen,” ujar Yunarto.
Menurut dia, dengan keterbatasan waktu dan popularitas yang ada, Sudirman-Ida hanya bisa menambah pundi-pundi suara dari daerah yang menjadi wilayah pengenalannya. Sudirman-Ida akan cukup sulit mengambil sebagian porsi suara di daerah tempur ataupun daerah lawan.
Dengan keterbatasan waktu dan popularitas yang ada, Sudirman-Ida hanya bisa menambah pundi-pundi suara dari daerah yang menjadi wilayah pengenalannya.
Strategi pengenalan Sudirman-Ida yang menyasar perdesaan juga dinilai belum mampu memberikan banyak kontribusi karena tidak dilakukan secara masif.
”Saya melihat pengenalan di perdesaan dilakukan secara sporadis, sementara Jawa Tengah merupakan daerah yang besar. Jika tidak dilakukan secara masif juga, implikasinya tidak akan ada,” kata Yunarto.
Pengaruh pada pilpres
Yunarto menilai, melihat dari besarnya elektabilitas pasangan Ganjar-Yasin, bukan tidak mungkin Jateng dapat menjadi provinsi dengan lumbung suara terbesar PDI-P pada Pilpres 2019 nanti.
”Kalau kita lihat suara yang diraih Ganjar-Yasin, hampir di atas 40 persen di semua survei. Ditambah lagi Jokowi dianggap sebagai perwakilan orang Jawa Tengah,” tutur Yunarto.
PDI-P sebagai partai pengusung Ganjar-Yasin akan mendapatkan momentum psikologis seandainya pasangan tersebut dapat memenangi Pilkada Jateng dengan angka telak.
PDI-P sebagai partai pengusung Ganjar-Yasin akan mendapatkan momentum psikologis seandainya pasangan tersebut dapat memenangi Pilkada Jateng dengan angka telak. Ganjar yang merupakan kader partai akan dinilai sebagai simbol kedua dari PDI-P setelah Jokowi bagi masyarakat Jateng.
Namun, Yunarto juga meyakini bahwa pilkada tidak pernah berkorelasi linier dengan pilpres. Seandainya Ganjar-Yasin menang, hal tersebut belum tentu dapat menguntungkan dan menarik partai untuk berkoalisi di pilpres. Hal inilah yang membuat tidak adanya koalisi permanen setiap partai antara pilkada dan pilpres.
Koalisi antara PKB, Gerindra, PAN, dan PKS dalam Pilkada Jateng tidak akan berefek pada koalisi dalam pilpres nanti.
Salah satu contohnya adalah masuknya PKB dalam jajaran partai pengusung Sudirman-Ida. Koalisi antara PKB, Gerindra, PAN, dan PKS dalam Pilkada Jateng tidak akan berefek pada koalisi dalam pilpres nanti.
”PKB dalam Pilkada Jateng saya rasa sudah mengetahui tidak akan menang. Namun, PKB tetap mendukung Sudirman-Ida hanya dalam konteks memantapkan konsolidasi atau memanaskan mesin politik,” ungkap Yunarto.