JAKARTA, KOMPAS — Dalam kurun waktu tiga tahun penyelenggaraan ujian nasional berbasis komputer, capaian nilai ujian nasional siswa terkoreksi setiap tahun. Meski hasil ujian nasional menurun tiap tahun, hasil ini diyakini semakin kredibel dan menggambarkan capaian kompetensi lulusan siswa yang sesungguhnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno di Jakarta, Senin (28/5/2018), mengatakan, dengan pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang semakin masif, memang terjadi penurunan nilai UN siswa. Sebab, potensi kecurangan semakin sulit dilakukan jika dibandingkan dengan yang berbasis kertas.
Hasil ujian nasional jenjang SMP sederajat tahun 2018 juga secara nasional menurun seiring bertambahnya peserta UNBK. Tahun ini, peserta yang ikut UNBK hampir 63 persen atau sekitar 1,9 juta siswa.
Totok mengatakan, istilah penurunan nilai UN lebih tepatnya dengan sebutan koreksi. Pada sekolah yang beralih dari ujian berbasis kertas ke UNBK yang indeks integritasnya rendah, koreksi nilai cukup signifikan. Ada yang terkoreksi hingga -28.
Pada sekolah yang beralih dari ujian berbasis kertas ke UNBK yang indeks integritasnya rendah, koreksi nilai cukup signifikan. Ada yang terkoreksi hingga -28.
Di tingkat SMA ada yang terkoreksi hingga -39 poin. Adapun yang bermodal UNBK dan memiliki integritas yang baik, hasil UN-nya dari tahun ke tahun relatif stabil.
Pada tahun 2016, rata-rata nilai UN SMP 58,61, sedangkan tahun berikutnya menjadi 54,25. Adapun di tahun 2018 turun lagi menjadi 51,08.
Menjadi refleksi
Totok mengatakan, penurunan hasil UN ini diharapkan jadi refleksi bagi sekolah, guru, dan daerah untuk memperbaiki proses pembelajaran di sekolah.
”Penyelenggaraan UNBK memang meningkat, tetapi diiringi dengan risiko menurunnya nilai UN. Sebenarnya bukan menurun, lebih tepatnya terkoreksi. Kita yakin, dengan koreksi ini, hasil UN lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya,” kata Totok.
Menurut Totok, hasil UN ini menggambarkan proses pembelajaran oleh guru di ruang kelas ternyata secara umum belum memenuhi standar. Guru dinilai belum mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam kurikulum,” kata Totok.
Hasil UN ini menggambarkan proses pembelajaran oleh guru di ruang kelas ternyata secara umum belum memenuhi standar. Guru dinilai belum mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam kurikulum.
Terlihat dari hasil UN Matematika, kata Totok, siswa bahkan belum mampu menyelesaikan soal-soal dengan tingkat kesulitan sedang. ”Dari hasil UN ini, bisa tahu topik apa yang tidak dikuasai siswa. Ini bisa jadi feedback untuk guru. Bisa jadi guru memang lemah dalam topik tersebut ataupun proses belajar yang tidak dipahami siswa,” ujar Totok.
Menurut Totok, dari hasil UN ini menjadi deteksi awal bagi semua pihak tentang kelemahan sistem pembelajaran yang terjadi, terutama prosesnya. Hal ini juga dipengaruhi kemampuan guru. Dengan demikian, perlu ada perbaikan serius dalam peningkatan mutu guru, salah satunya dengan berefleksi dari hasil UN.
”Inti dari evaluasi itu bukan hanya untuk mengetahui hasilnya baik-buruk atau naik-turun. Yang penting, hasilnya bisa dipercaya dan dipakai untuk mendapatkan feedback sehingga bisa dilakukan perbaikan,” kata Totok.
”Hasil UN jadi alat diagnosa untuk merekomendasikan upaya perbaikan kualitas proses belajar. Bagi pemerintah daerah juga jadi tahu investasi untuk standar pendidikan mana yang harus diprioritaskan,” ujar Totok.
Perbaikan proses belajar
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sekaligus Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Hamid Muhammad mengatakan, hasil UN juga berguna untuk perbaikan proses belajar yang dilakukan guru. Hal ini terkit juga dengan perbaikan pelatihan guru yang tidak bisa dilakukan secara seragam.
”Pelatihan guru yang seragam tidak akan efektif memperbaiki permasalahan yang beragam di setiap sekolah,” kata Hamid.
Menurut Hamid, nanti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dapat lebih dioptimalkan dalam merancang model dan melaksanakan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan. Dinas pendidikan perlu mendorong dan memfasilitasi tumbuh kembangnya atmosfer profesional di setiap MGMP dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) agar dapat menjadi wahana peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan.
Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suryadi mengatakan, pembelajaran yang baik seharusnya dilakukan di semua sekolah. Ada delapan standar nasional pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat seharusnya jadi acuan bagi penyelenggara pendidikan di tingkat sekolah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas.
Menurut Bambang, ada empat standar nasional pendidikan yang harusnya diprioritaskan, yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar penilaian, dan standar proses.
”Inti kuncinya ada di guru. Artinya, kita harus serius membenahi kondisi guru yang perannya berdampak penting pada standar nasional lainnya,” kata Bambang.