Melukis Harapan di RSJ Lawang
Menggambar atau melukis merupakan salah satu metode terapi bagi orang dengan gangguan jiwa. Dengan menggambar, orang dengan gangguan jiwa mendapat medium untuk bebas berekspresi.
“Ketika mimpimu yang begitu indah,tak pernah terwujud...ya sudahlah. Saat kau berlari mengejar anganmu, dan tak pernah sampai...ya sudahlah.
Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu. Janganlah kau bersedih, cause everything’s gonna be okay…”
Lagu Fade2Black Bondan Prakoso mengalun dari sebuah telepon selular di taman Gedung Adiyuswa Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang, Selasa (29/5/2018) pagi. Tanpa diberi aba-aba, Angga Setyawan Nugroho (18), Frengki Subandi (22), dan Mariatul (26) langsung menyanyi bersama.
Begitu masuk ke bagian lirik rap, ketiganya spontan menyahut: “Yo... Satu dari sekian kemungkinan, kau jatuh tanpa ada harapan. Saat itu raga kupersembahkan. Bersama jiwa, cita, cinta dan harapan…”
Suasana penuh keakraban mewarnai wajah-wajah anak-anak muda pasien RSJ Lawang. Sembari menyanyi bersama, mereka menorehkan cat-cat akrilik ke atas kertas putih, membuat gambar apapun yang mereka suka.
Angga tiba-tiba bertanya kepada Mariatul yang kebetulan ruang perawatan dengannya. “Mbak umurmu piro? (Mbak usiamu berapa?) Mariatul pun menjawab..26 tahun.
Frengki pun menimpali, ”Lapo nang kene? (Terus ngapain ke sini?). “Kareben waras (Biar sembuh),” jawab Mariatul.
“Iyo dilakoni ae kareben kabeh waras. Sing penting ikhlas atine rek (Iya, dijalani saja agar semua sembuh. Yang penting hatinya ikhlas),” tambah Angga.
Merekapun kemudian melanjutkan nyanyian mereka. “Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu. Janganlah kau bersedih, cause everything’s gonna be okay…”
Aktivitas melukis bareng-bareng itu terasa penuh akrab dan ceria. Keguyuban Angga, Frengki, dan Maria bersama teman-temannya pagi itu mematahkan persepsi kebanyakan orang yang menganggap RSJ sebagai tempat sunyi dan menyeramkan.
Ini adalah hari kedua mereka mengikuti lokakarya menggambar yang digelar Direktorat Kesenian Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama dua kurator, Hendromasto serta Sudjud Dartanto. Di RSJ Lawang, ada sekitar 25 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang mengikuti pelatihan yang merupakan rangkaian dari Festival Bebas Batas ini.
Isi hati
Seperti tajuknya “Bebas Batas”, seluruh ODGJ pesera lokakarya dibebaskan menggambar apapun. Kepada para peserta, panitia hanya menyiapkan kuas, cat air, dan kertas untuk belajar menggambar tahap awal. Setelah menyelesaikan gambar pertama, beberapa ODGJ yang menurut kurator dinilai konsisten dan berbakat kemudian diberi kesempatan melukis di atas kanvas menggunakan cat akrilik.
Frengki, ODGJ asal Blitar tampak sangat antusias. Di atas kertas ia menggambar seekor banteng yang tengah meronta-ronta. Ia memberi judul lukisannya "Banteng Ketaton” atau Banteng Marah. “Bantengnya marah menanduk-nanduk, ingin lepas,” kata Frengki yang sudah sebulan tinggal di RSJ Lawang.
Frangki sudah dua kali berobat ke RSJ Lawang. “Pengennya ya cepat sembuh. Sudah kangen pulang,” ujarnya. Lukisan banteng dengan mata dan ekor merah seolah-olah menggambarkan isi hati Frengki yang ingin segera lepas dari sebuah tekanan.
Sementara itu, Ali S (38), ODGJ asal Tuban, memilih menggambar pola vigyet berbentuk lilin menyala dengan hiasan dan sulur-sulur serta hati di bagian bawah. Berbeda dengan rekan-rekannya yang lebih agresif menggoreskan kanvas, Ali tampak fokus dan berhati-hati.
“Judulnya Habis Gelap Terbitlah Terang,” katanya sembari tertawa. Penjelasan Ali benar-benar di luar dugaan.
Dalam suasana penuh rileks dan gembira, Frengki, Ali, Angga, Mariatul, dan teman-temannya ternyata bisa diajak berkomunikasi dengan mudah. Mereka bertutur secara jujur dan lugas. Nyaris sebagian besar jawaban mereka tepat dan logis.
Dari 25 ODGJ yang mengikuti lokakarya ini, hampir seluruhnya mau menggambar. Begitu panitia membagi kuas, cat, dan media gambar, mereka langsung menggambar.
Lokakarya menggambar di RSJ Lawang digelar pada 28-30 Mei 2018 di bawah bimbingan dua kurator, yaitu Hendromasto dan Sudjud Dartanto. Kegiatan pertama digelar di Ruang Rehabilitasi dan keesokan harinya dilanjutkan di Gedung Adiyuswo.
“Mereka bebas mau menggambar apapun. Tidak ada batasan waktu. Pelan-pelan saja yang penting mereka menikmati,” kata Hendromasto.
Evy (35) salah satu ODGJ yang telah bertahun-tahun bergantian tinggal di RSJ Lawang dan Dinas Sosial Pasuruan serta Lingkungan Pondok Sosial Surabaya sangat menikmati kegiatan ini. Pada hari kedua berlatih, Evy memperpanjang waktu menggambar satu setengah jam lebih lama daripada teman-temannya, mulai pukul 09.00 hingga 13.30.
Direktur Kesenian Ditjen Kebudayaan Kemdikbud Restu Gunawan mengatakan, dengan berlatih menggambar, ODGJ mendapat medium untuk bebas berekspresi. “Seni sangat penting untuk mengolah pikiran, mengolah hati, dan mengolah rasa,” paparnya.
Bagian terapi
Sejak puluhan tahun lalu, kegiatan melukis telah menjadi salah satu bagian dalam proses rehabilitasi ODGJ di rumah sakit yang berdiri sejak 1884 ini.
Sebanyak 12 piagam penghargaan terpampang di ruang Rehabilitasi RSJ Lawang. Periode 1998-1999, ODGJ rumah sakit ini pernah mengikuti 12 kali lomba lukis karya pasien Skizofrenia di Jakarta.
“Dulu, setiap tahun selalu ada lomba lukis untuk teman-teman ODGJ. Tapi, beberapa tahun ini tidak ada lagi lomba,” kata Mahfud salah satu karyawan RSJ Lawang.
Kegiatan melukis sebagai bagian dari terapi ODGJ masih dilakukan di RSJ Lawang meski jumlah pesertanya masih terbatas. Salah satu kendalanya adalah, rumah sakit ini belum memiliki tenaga ahli terapis seni yang profesional mendampingi pasien dalam berkesenian, khususnya melukis.
Karena itulah, program Kemdikbud menggelar lokakarya menggambar langsung disambut baik oleh pihak RSJ Lawang. Selain di Malang, lokakarya serupa juga digelar di empat RSJ lain di Surakarta, Bali, Lampung dan Jakarta.
Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Lawang, dr Yuniar mengungkapkan, dukungan dari berbagai pihak untuk membantu terapi ODGJ di RSJ Lawang yang jumlahnya mencapai 550 pasien sangat dibutuhkan. Saat ini, para pasien rumah sakit ini dilayani 400 perawat, 29 dokter, dan 7 psikolog.
“Idealnya, setiap ODGJ dilayani masing-masing oleh satu perawat. Akan tetapi, jumlah perawat kami masih terbatas. Kegiatan-kegiatan terapi seperti menggambar sangat membantu ODGJ di tempat kami. Apalagi, dari total seluruh pasien sekitar 40 persen di antaranya jarang dikunjungi oleh keluarganya,” ungkap Yuniar.
Hingga lokakarya berakhir, Selasa (29/5/2018) siang, Frengki, Angga, Mariatul dan teman-temannya tetap terlihat ceria. Setelah karya-karya mereka diamati, ternyata goresan-goresan kuas itu tidak jauh dari isi hati dan harapan yang berulangkali mereka ungkapkan.