PEKANBARU, KOMPAS – Jajaran Kepolisian Daerah Riau bekerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau berhasil mengambil 44 ekor satwa langka yang dipelihara oleh warga. Rencananya, setelah pemeriksaan kondisi kesehatan, beberapa satwa dimaksud akan segera dilepasliarkan di hutan.
“Pengembalian satwa langka ini merupakan hasil Operasi Tumbuhan dan Satwa Langka yang dilakukan tim dari Polda Riau dan BBKSDA Riau yang dimulai sejak 14 Mei lalu. Seluruh satwa ini diserahkan pemiliknya secara sukarela setelah tim melakukan sosialisasi ke rumah pemilik,” kata Wakil Kepala Polda Riau, Brigadir Jenderal Permadi, dalam ekspose kepada media di Pekanbaru, Rabu (30/5/2018).
Permadi menambahkan, satwa itu berasal dari tiga daerah di Riau, yaitu Siak, Kuantan Singingi dan Kepulauan Meranti.
Pemilik seluruh satwa itu berjumlah 13 orang. Enam orang menyerahkan satwanya kepada tim dari BBKSDA Riau dan tujuh lainnya kepada tim Polda Riau.
Direktur Reserse Kriminaal Umum Polda Riau, Komisaris Besar Gidion Arif Setiawan menambahkan, pada tahap awal operasi itu, polisi hanya melakukan sosialisasi kepada pemilik. Hasilnya, seluruh pemilik langsung menyadari bahwa memelihara satwa langka adalah perbuatan melawan hukum.
“Setelah tahapan sosialisasi, kalau masih ada warga yang kedapatan memelihara satwa langka akan kami teruskan dengan tindakan hukum,” ujar Gidion.
Keberadaan satwa langka itu di tangan warga, kata Gidion, berasal dari berbagai cara. Sebagian besar hewan itu ditangkap di hutan oleh pemburu, kemudian dijual kepada warga.
Namun upaya polisi untuk menemukan pemburu sulit dilakukan, karena pemilik satwa tidak mengenal penjualnya. Bahkan, waktu pembelian relatif sudah lama.
Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, M Mahfud mengungkapkan, 44 jenis satwa langka yang dikembalikan itu terdiri dari hewan mamalia, reptilia dan burung. Hewan itu antara lain, rusa sambar, beruang madu, elang, kakatua, kucing hutan, ungko (owa), siamang, buaya sinyulong, kura-kura gading, kukang dan lutung kuning.
“Hampir seluruh hewan itu merupakan satwa endemik hutan Sumatera, khususnya Riau, kecuali kakatua jambul kuning,” tambah Mahfud.
Kepala Bidang I, BBKSDA Riau, Mulyo Hutomo yang ikut melakukan sosialisasi secara langsung di wilayah Kabupaten Kuantan Singingi mengungkapkan, timnya mengambil lima jenis satwa dari tiga orang pemilik. Salah seorang pemilik memiliki lima ekor anak buaya singulong, empat labi-labi dan lima kura-kura gading.
“Dari dua pemilik lain kami mengambil seekor ungko (owa) dan seekor lutung,” kata Mulyo.
Dari sejumlah burung yang dikembalikan pemiliknya, secara umum nampak sudah terbiasa dekat dengan manusia. Bahkan beberapa ekor diantaranya sudah jinak.
Selain burung dewasa, terdapat dua ekor elang yang masih tergolong bayi yang diletakkan dalam kotak kardus. Setiap kali kotak dibuka, mulut anak elang itu langsung terbuka, seolah ibunya datang membawa makanan. Ketika disodorkan jari tangan, anak elang itu langsung menggigit benda yang disangkanya makanan itu.
Salah satu burung yang menonjol adalah jenis elang hitam Sumatera Ictinaetus malayensis yang berukuran paling besar diantara elang-elang lainnya. Ukuran elang ini dapat mencapai 70 cm.
Adapun burung lainnya adalah jenis elang brontok (Spizaetus cirrhatus), yang berukuran lebih kecil dibandingkan elang hitam. Elang brontok, masih berkerabat dekat dengan elang jawa.
Satu-satunya hewan yang bukan berasal dari Riau adalah kakatua jambul kuning. Burung ini berbulu putih di seluruh tubuhnya kecuali pada bagian jambul di kepala. Hewan ini cantik dan terbilang pintar sehingga sering dijadikan hewan peliharaan. Namun di alam, kakatua jambul kuning sudah berada dalam kondisi kritis.
Dari jenis satwa mamalia, terdapat seekor ungko (Hylobates agilis) yang ditempatkan di dalam kandang berkuruan 100x100 cm. Satwa ini merupakan jenis monyet berwarna hitam dengan lingkaran putih pada bagian wajah. Di alam, keberadaan ungko sudah masuk dalam kondisi genting atau terancam punah.