STOVIA dalam Lintasan Zaman
Dari masa ke masa, mahasiswa menjadi agen perubahan sosial bangsa ini. Kampus tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu, tetapi juga berdiskusi tentang kondisi bangsa sekaligus basis pergerakan kepemudaan. Dengan ilmu yang dimilikinya, mahasiswa mendorong setiap perubahan bangsa ini dengan mengabdikan diri dan berpihak kepada masyarakat.
Masyarakat kedokteran merupakan kelas menengah yang menjadi bagian bahkan memotori perubahan. Di luar negeri, kebanyakan perubahan tatanan sosial budaya diinisiasi oleh kalangan profesi hukum. Namun, di Indonesia, tidak saja dalam perintisan kemerdekaan 1908-1945, kalangan kedokteran juga berperan besar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949.
Tercatat sejumlah nama dari kalangan kedokteran yang aktif pada masa perjuangan militer ataupun diplomasi, misalnya Dr AK Gani, Dr Leimena, Dr Abdurachman Saleh, Dr Tjoa Sek In, Dr Kariadi, Dr Muwardi, Dr Rajiman Wediodiningrat, Dr Cipto Mangunkusumo, juga Dr Sitanala.
Selain itu, ada pula nama mahasiswa kedokteran School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) yang tak menyelesaikan pendidikannya karena aktif berjuang di tengah masyarakat. Mereka adalah Suardi Surjaningrat, Tirto Adhisurjo, dan Abdul Muis.
Para mahasiswa STOVIA tersebut ikut mewarnai perjalanan bangsa ini memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan. Ketika tahun 1927 STOVIA ditutup dan kegiatan pendidikan kedokteran beralih pada Geneeskundig Hoogeschool (GHS) atau sekolah dokter tinggi, sejumlah mahasiswa kedokteran yang tidak melanjutkan diri ditawari melanjutkan di bidang lain.
Beberapa dari mereka kemudian menjadi ahli hukum, antara lain Mohamad Roem, Assaat, dan Sudiman Kartohadikusumo. Roem kemudian terkenal sebagai perunding kondang dengan Belanda, pernah beberapa kali menjadi menteri serta Komisaris Agung saat Republik Indonesia Serikat (RIS). Sudiman adalah tokoh aktif pendiri sekolah hukum dan fakultas hukum Universitas Indonesia (UI).
Pada awal abad ke-20, Pemerintah Belanda memberlakukan apa yang disebut politik etis di Hindia Belanda sebagai bentuk utang budi kepada daerah koloninya. Politik etis ini mencakup berbagai program, seperti pendidikan, sistem pertanian dengan sistem irigasinya, dan pemerataan penduduk.
Dalam makalahnya, ”Sejarah Kedokteran Tempat Saya Kuliah, FKUI” yang disampaikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rabu (2/5/2018), sejarawan Indonesia yang juga alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 1971, Rushdy Hoesein, menyampaikan, perlu disadari juga bahwa guru-guru di STOVIA merupakan akademisi yang mencintai kebebasan dan kebenaran. Paham liberalisme sebagai warisan Revolusi Perancis bukan tidak mungkin menjadi bahan diskusi para murid di STOVIA.
Hal itulah yang barangkali melatarbelakangi pergerakan mahasiswa kedokteran dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Di satu sisi, politik etis pun mendorong bermunculannya sekolah-sekolah dasar yang kemudian diperluas pada sekolah menengah dan perguruan tinggi. Perguruan tinggi inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya universitas di Indonesia.
Pendidikan kedokteran
Jika para murid STOVIA terlibat aktif dalam perjalanan dan pembentukan bangsa ini, STOVIA sebagai tempat mereka belajar pun memiliki peran yang besar dalam pembentukan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Pendidikan kedokteran di Indonesia berawal dari tahun 1849 ketika diterbitkannya Surat Keputusan Pemerintah Gubernemen Nomor 22 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran di Indonesia. Lulusan program pendidikan ini bergelar sebagai ”dokter djawa”.
Selang dua tahun kemudian, tepatnya pada Januari 1851, dibuka Sekolah Pendidikan Kedokteran di Weltevreden dengan lama pendidikan 2 tahun dan jumlah siswa 12 orang. Titik terang semakin terlihat ketika lulusan sekolah tersebut digelari dokter djawa melalui Surat Keputusan Gubernemen tanggal 5 Juni 1853 Nomor 10. Namun, sayangnya meski diberi gelar dokter, lulusan sekolah tersebut hanya dipekerjakan sebagai mantri cacar.
Sebuah film dokumenter yang diputar di hadapan para dokter di FKUI pada awal Mei 2018 memperlihatkan seorang dokter djawa berpakaian putih-putih memakai topi putih turun dari sebuah mobil menuju satu rumah. Di rumah tersebut telah mengantre warga yang membawa anak-anaknya untuk diimunisasi. Dokter djawa itu kemudian satu per satu memberikan vaksin cacar kepada anak-anak itu.
Nyaris 10 tahun lamanya dokter-dokter Indonesia harus menunggu untuk memperoleh wewenang lebih dari sekadar mantri cacar. Pada tahun 1864, lama pendidikan kedokteran diubah menjadi 3 tahun dan lulusan yang dihasilkan dapat menjadi dokter yang berdiri sendiri meskipun masih di bawah pengawasan dokter Belanda.
Nyaris 10 tahun lamanya dokter-dokter Indonesia harus menunggu untuk memperoleh wewenang lebih dari sekadar mantri cacar.
Sejarah kembali bergulir dan mencatat pertambahan waktu studi dokter Indonesia. Tahun 1875, lama pendidikan dokter menjadi 7 tahun termasuk pendidikan bahasa Belanda yang dijadikan sebagai bahasa pengantar.
Lebih dari 20 tahun kemudian, tepatnya tahun 1898, barulah berdiri sekolah pendidikan kedokteran yang disebut School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) dengan Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Soebroto) sebagai rumah sakit pendidikan. Alumni ketika itu disebut inlandse arts. Lama pendidikan kembali bertambah menjadi 9 tahun pada 1 Maret 1902, sekaligus mengiringi berdirinya gedung baru sekolah kedokteran di Hospitaalweg (sekarang Museum Kebangkitan Nasional di Jalan Dr Abdul Rahman Saleh 26). Masa pendidikan 9 tahun tersebut dibagi menjadi 2 tahun perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran.
Baru setahun berselang, waktu studi kedokteran kembali bertambah, kali ini menjadi 10 tahun, bersamaan dengan disempurnakannya organisasi STOVIA pada tahun 1913. Adapun 10 tahun masa studi ini terdiri dari 3 tahun perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran. Nama alumni juga berubah menjadi indische arts pada waktu itu. Masih pada tahun yang sama, dibuka sekolah kedokteran dengan nama Nederlands Indische Artsenschool (NIAS) di Surabaya.
Untuk memantapkan kualitas lulusan dalam praktik, pada akhir 1919, didirikan Rumah Sakit Pusat Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ) yang sekarang dikenal dengan RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang dipakai sebagai rumah sakit pendidikan oleh siswa STOVIA. Pada 5 Juli 1920, seluruh fasilitas pendidikan pun dipindahkan ke gedung pendidikan yang baru di Jalan Salemba 6 sekarang.
Prof Sjamsuhidajat, lulusan FKUI tahun 1959, bertutur, selama lebih dari 66 tahun dirinya bolak-balik gedung FKUI di Salemba Nomor 6. Baginya, gedung FKUI tersebut merupakan simbol bagaimana praktik pengobatan dibawa oleh bangsa Belanda karena saat itu Indonesia adalah negara jajahan. Di tengah perjuangan melawan kolonialisme, bangsa ini susah payah membangun pendidikan kedokterannya.
Pada 9 Agustus 1927, pendidikan dokter di STOVIA diresmikan menjadi pendidikan tinggi dengan nama Geneeskundige Hooge School (GHS). Menurut Rushdy, pendidikan dokter di GHS sudah lebih terstandar.
Yang menarik, sampai periode 1927, syarat pendidikan agar dapat mengikuti pendidikan dokter hanya setingkat sekolah dasar dengan masa pendidikan 10-11 tahun. Setelah GHS berdiri, syarat pendidikan berubah menjadi setingkat sekolah menengah atas (ketika itu disebut Algemene Middelbare School/ AMS dan Hogere Burger School/HBS) dengan masa studi 6 tahun.
Pada masa itu, STOVIA dan NIAS tetap ada, tetapi periode pendidikan kembali menjadi 7 tahun dengan penghapusan masa perkenalan selama 3 tahun. Konsekuensinya, lulusan yang dapat diterima di kedua sekolah tersebut tidak boleh lebih rendah dari tingkat Meer Uitgebreid Lager Onder-wijs (MULO) bagian B.
Pada 1942, perubahan politik secara global pun terjadi secara signifikan. Kolonialisme Belanda berakhir dan Indonesia memasuki babak baru, yaitu berada di bawah pendudukan Jepang.
Ketika itu, sebagian mahasiswa kedokteran menyambut Jepang, sementara sebagian lain menentang. Walaupun begitu, kedua kelompok itu tetap menghendaki adanya sekolah kedokteran. Komite pendidikan yang terdiri atas sejumlah guru besar pun terbentuk dan mulai mengembangkan kurikulum kedokteran. Pada saat bersamaan, komite mahasiswa dari Jakarta dan Surabaya pun terbentuk. Komite ini mengembangkan rencana menggabungkan eks GHS dan eks NIAS menjadi sekolah kedokteran dengan lama pendidikan 5 tahun.
Akhirnya, pada 29 April 1943, sekolah kedokteran bernama Ika Daigaku dibuka sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang untuk Indonesia dengan Prof Itagaki sebagai dekan fakultasnya.
Cikal bakal UI
Pada 17 Agustus 1945, Indonesia meraih kemerdekaannya. Nama sekolah kedokteran pada Februari 1946 berubah menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Setahun kemudian, yaitu Februari 1947, Belanda yang kembali menginvasi Indonesia melangsungkan kegiatan pendidikan kedokteran dengan memakai nama Genesskundige Faculteit, Nood-Universiteit van Indonesie. Namun, pendidikan kedokteran pada Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia tetap dilaksanakan.
Pada 2 Februari 1950, Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit Nood-Universiteit van Indonesie melebur menjadi satu dengan memakai nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Inilah fakultas kedokteran pertama di Indonesia yang sekaligus menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Indonesia. FKUI juga menjadi titik awal dibukanya fakultas kedokteran di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Pada era tersebut, terdapat 28 jenis mata pelajaran dan bagian di FKUI dengan jumlah mahasiswa 288 orang serta masih terdapat beberapa dosen Belanda. Sebagian besar mata pelajaran juga masih diberikan dalam bahasa Belanda. Pendidikan diselenggarakan di Kompleks Salemba 6, Pegangsaan Timur 16, serta Rumah Sakit Umum Pusat dan Rumah Sakit Raden Saleh.
Sjamsuhidajat menambahkan, tahun 1955 FKUI mengalami kekurangan tenaga pengajar karena banyak staf pengajar dari Belanda dipulangkan ke negeri asalnya pascakemerdekaan. FKUI pun bekerja sama dengan University of California San Francisco (UCSF). Pada saat itu, ia termasuk satu dari 101 mahasiswa FKUI yang dikirim ke UCSF untuk mengikuti kuliah kedokteran ”cara baru” di Amerika. Sebanyak 98 dari 101 mahasiswa itu berhasil lulus.
Harapannya, FKUI bisa menjawab setiap masalah kesehatan yang muncul di Tanah Air yang memiliki populasi besar dan geografis yang luas.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam, Rabu (2/5/2018), menginformasikan, saat ini terdapat sekitar 4.000 mahasiswa di FKUI yang berasal dari program sarjana hingga doktoral, profesi, spesialis, juga subspesialis. Ribuan hasil penelitian dan inovasi telah dihasilkan demi kemajuan ilmu kedokteran di Indonesia. Harapannya, FKUI bisa menjawab setiap masalah kesehatan yang muncul di Tanah Air yang memiliki populasi besar dan geografis yang luas.
Ari menambahkan, di era Revolusi Industri 4.0 saat ini, banyak hal telah berubah. Salah satunya adalah munculnya cara belajar daring. Siapa pun bisa mengikuti pendidikan apa pun sepanjang terkoneksi dengan jaringan data. Keterbukaan dan digitalisasi pun memungkinkan semua orang mendapatkan, juga menyebarkan, informasi tanpa batas ke seluruh dunia.
Bagi Ari, ini adalah peluang bagi dokter masa kini. Setiap dokter bisa memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanannya dan menyebarkan informasi bidang kesehatan yang benar guna menangkal informasi keliru dan sesat.