Semarak Lebaran Tak Mampir di Pasar Kami
Jika tak ada tukang kredit, mungkin Pasar Baru Bekasi sudah tutup lantaran sepi pengunjung.
Seperti hari-hari sebelumnya, semangat Saadah (27) berkobar saat akan pergi ke pasar. Pakaiannya rapi dan modis, mulai dari celana jins biru gerau dengan ukuran pas yang membentuk tubuh, tunik merah muda, dan jilbab warna senada bermotif floral. Ia pun tak lupa merias wajah dengan gaya natural serta memulas bibir dengan warna merah muda.
Sekitar pukul 09.00, ia berangkat dari rumahnya di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Dengan mengendarai sepeda motor, Saadah menempuh jarak 10 kilometer menuju Pasar Baru Bekasi di Jalan Ir H Juanda, Kelurahan Duren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur. Dalam waktu 25 menit, ia sampai. Tak ada titik macet, kecuali di depan pintu pasar yang berseberangan dengan pintu Terminal Bekasi.
Saadah dan para pengunjung pasar yang lain mesti berdesakan dengan mikrolet serta bus-bus besar yang keluar masuk terminal. Belum lagi para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan di jalan. Jalan masuk ke pasar semakin sesak. Debu dan asap memenuhi jalan. Bau sampah dan sayuran busuk pun berembus.
Namun, hal itu tidak melunturkan semangat Saadah. Setelah parkir di halaman depan pasar dan membayar Rp 3.000 untuk retribusi parkir, ia segera mendatangi Toko Thira di lantai dasar pasar.
“Saya suka berbelanja di Toko Thira, karena model pakaian yang dijual bagus-bagus, tidak dijual di toko lain,” ujar Saadah tentang toko busana langganannya itu, Kamis (24/5/2018).
Di toko tersebut, ia bisa mendapatkan beragam pakaian perempuan kekinian. Mulai kaos bermotif pisang ala Andy Warhol, tunik bordir bunga, hingga kemeja bergaris vertikal yang elegan. Seluruhnya dibanderol Rp 70.000–Rp 150.000.
Selain atasan, aneka gamis juga jadi sasaran Saadah. Seperti gamis arab yang khas dengan warna gelap dan hiasan payet mengkilap, gamis warna salem yang dilengkapi kerudung panjang ala aktris Oki Setiana Dewi, dan gamis bermotif kotak-kotak dengan bahan flanel untuk remaja. Harganya pun terjangkau, Rp 170.000-Rp 350.000.
Tidak tanggung-tanggung, Saadah menghabiskan Rp 2 juta sekali belanja. Ia membeli hampir semua model pakaian. Bukan karena gila belanja, melainkan untuk dijual kembali dengan sistem kredit kepada para tetangganya di Desa Sriamur.
Profesi sebagai tukang kredit pakaian dan perabot rumah tangga telah ditekuni Saadah sejak 2012. Pelanggannya tak terhitung. Untuk memenuhi permintaan mereka, Saadah harus berbelanja ke Pasar Baru Bekasi setiap minggu.
Menjelang Lebaran, frekuensi belanja pakaian merapat, yaitu dua kali seminggu. Uang untuk belanja mencapai Rp 15 juta sepanjang bulan. Suaminya yang bekerja di perusahaan daerah air minum (PDAM) pun menemaninya di sela-sela waktu kerja.
Menurut Saadah, pelanggan menggemari pakaian yang ia jual karena modelnya yang kekinian, terutama untuk atasan perempuan. Orang-orang di desanya selalu ingin mengikuti tren busana dengan harga murah dan kemudahan pembayaran.
“Harga dari saya juga lebih murah dibandingkan mereka beli langsung di pasar, karena saya sudah langganan (di pasar) jadi dikasih harga jauh lebih murah dari harga jual biasanya,” kata Saadah.
Pemilik Toko Thira, Kusfiani (45), mengatakan, pakaian atasan perempuan memang laku keras. Model terbaru jadi andalan usahanya. Ia pun berusaha melek tren dan mengikuti perkembangan mode dari media sosial.
“Setiap ada model baru, saya langsung cari di Pasar Tanah Abang. Nggak tahu ya bahannya sama atau tidak dengan yang di gambar, yang penting bentuk dan motifnya sudah mirip-miriplah,” kata Kusfiani.
Selain Saadah, ada pula Nacih (43), tukang kredit pakaian asal Kelurahan Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur. Setahun menjajal profesi tersebut, respon pasar bagus. Banyak warga Margahayu, terutama yang tinggal di rumah kontrakan, menjadi pelanggannya. Seminggu pertama Ramadhan, ia sudah mengkreditkan 100 baju gamis dan belasan kulot dengan beragam model.
Menurut Nacih, usahanya semakin mudah karena bantuan pedagang. Pemilik Toko Abelia, langganannya, memberikan kepercayaan untuk membawa barang tanpa perlu membayar lunas terlebih dulu. Nacih boleh membayarnya setelah pelanggan mulai mencicil.
Kepala Unit Pasar Baru Bekasi Aan Hardian, yang sudah lebih dari 20 tahun bekerja di pasar tersebut, mengatakan, roda ekonomi di pasar ini memang lebih banyak bergerak berkat aktivitas tukang kredit. “Walaupun jumlah mereka sedikit, namun selalu berbelanja secara rutin,” kata Aan.
Berkat tukang kredit pula, kata Aan, selalu ada pembeli di setiap toko. Sebab, tukang kreditlah yang selalu mencari barang sesuai pesanan pelanggan. Jika tidak ada stok di satu toko, mereka pergi ke toko lainnya.
Sepi
Pascakebakaran yang menghanguskan 800 kios pada 2004, Pasar Baru Bekasi telah dibangun kembali dan diresmikan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada 2012. Selain bangunan yang masih baik dan terawat, pasar ini memiliki fasilitas parkir yang luas, mushala, dan kamar mandi.
Di pasar seluas hampir 2 hektare itu terdapat sekitar 900 pedagang pakaian yang berjualan di lantai bawah tanah (basement) dan lantai dasar. Selain itu, ada pula pedagang sepatu, jam tangan, perhiasan, serta berbagai aksesoris. Kios dan los yang buka pukul 08.00-17.00 itu dibuat senyaman mungkin. Ruangan bersih, lampu serta kipas angin di tiap kios dinyalakan. Secara umum, pasar dua lantai itu rapi.
Namun, pasar itu sepi. Sepanjang hari, hanya tampak satu atau dua pembeli ke setiap kios.
Syafinar (52), pemilik Toko Nanda yang menjual pakaian anak hingga dewasa, mengatakan, musim Lebaran tahun ini, jumlah pembeli menurun drastis. Setidaknya, ia memiliki 20 pelanggan yang biasa membeli pakaian dalam jumlah besar, namun saat ini baru lima pelanggan yang datang.
Tahun lalu, Syafinar yang memiliki dua kios itu sudah merekrut pegawai tambahan sejak tiga bulan sebelum Ramadan. Kini, tak satu pun pegawai ia rekrut. “Sekarang zaman makin susah. Tahun 1990-an, hasil dagang saya di bulan puasa bisa untuk membayar sewa kios selama dua tahun. Sekarang tidak sama sekali,” kata Syafinar.
Menurut dia, penghasilan dari berjualan pakaian berangsur menurun sejak tahun 2000.
Pemilik Toko Abelia, Elmawati (56), mengatakan, pada 2017, tokonya mulai ramai dikunjungi pembeli sejak minggu pertama Ramadan. Ia menduga, momen yang bertepatan dengan masa akhir sekolah membuat masyarakat lebih fokus untuk membiayai keperluan sekolah ketimbang Lebaran.
Selain itu, Pasar Baru Bekasi bukan satu-satunya tempat untuk membeli pakaian. Di sekitarnya, terdapat tujuh toko busana yang menawarkan konsep modern : ruangan lebih luas dengan fasilitas penyejuk udara. Pembeli pun lebih nyaman karena melayani dirinya sendiri.
Ketujuh toko busana itu juga lebih mudah diakses karena pembeli tidak perlu melewati pintu terminal yang macet untuk menjangkaunya.
Meski demikian, Kusfiani optimistis para pedagang akan ikut menikmati keuntungan dari semarak Lebaran. Biasanya, puncak kedatangan pengunjung dimulai dua pekan sebelum hari raya. Menurut dia, masyarakat masih menyukai pola transaksi di pasar yang memungkinkan tawar-menawar harga.
Salah satunya Muthmainah (36), pemilik warung tegal dari Kelurahan Marga Mulya, Kecamatan Bekasi Utara. Sudah 5 tahun terakhir, ia membeli baju koko dan kain sarung untuk hadiah lebaran para pegawainya. “Saya senang beli di Pasar Baru Bekasi, harga baju koko murah dan masih bisa ditawar.”
Seiring perkembangan zaman, pasar tradisional mulai ditinggalkan. Namun, ikatannya dengan masyarakat tidak bisa dilepaskan. Pasar andil dalam membentuk budaya serta terus bertahan berkat budaya masyarakat. Termasuk budaya kredit.
Kredit, kredit...