Menganalisis Isu di Masyarakat Lewat Seni
Seni harus memiliki konteks. Sebagai medium pembelajaran, siswa diajak mencermati apa yang ada di sekitar mereka dan menuangkannya dalam bentuk karya seni.
JAKARTA, KOMPAS — Seni selain untuk estetika juga mendidik siswa mengolah rasa. Pemanfaatan seni sebagai medium pembelajaran juga memberi alternatif pendidikan bagi sebagian anak untuk mengamati dan menganalisa permasalahan di sekitar mereka.
Hal tersebut tampak pada pameran hasil karya para siswa Sekolah Seni Erudio yang judul "Ngeh? Nggih" di Jakarta, Sabtu (26/5/2018). Pameran tersebut merupakan bagian dari tugas akhir dan syarat para siswa kelas X untuk naik ke kelas XI.
Manajer Urusan Eksternal Sekolah Seni Erudio Barlie Ve menjelaskan, judul "Ngeh? Nggih" dipilih untuk mengekspresikan tema mengenai hak asasi manusia (HAM). "Tema HAM sengaja dipilih untuk menantang siswa mencermati hal-hal yang terjadi di sekitar mereka. Siswa kemudian menganalisa di antara permasalahan yang mereka temui kira-kira adakah yang melanggar HAM," paparnya.
Barlie mengatakan, setiap karya harus dibuat berdasarkan data dan fakta. Untuk itu, setiap siswa diminta melakukan penelitian kecil-kecilan dan membaca beragam pustaka yang bisa dipertanggungjawabkan.
Umumnya mereka menggali materi dari pemberitaan di media arus utama dan mencari statistik di berbagai situs lembaga penelitian maupun lembaga swadya masyarakat. Semua itu dituangkan ke dalam proposal tugas akhir yang harus dipresentasikan di hadapan tujuh guru dan pakar seni untuk memastikan gagasan siswa relevan dengan isu saat ini. Apabila disetujui, siswa bisa mulai membuat karya.
Para siswa melalui karyanya mengulik berbagai permasalahan HAM, mulai dari pelanggaran HAM di masa lalu, hingga yang sering mereka temui di sekeliling mereka. Pemikiran tersebut dituangkan ke dalam berbagai bentuk karya antara lain maket, lukisan, animasi, hingga kartu permainan.
Para siswa melalui karyanya mengulik berbagai permasalahan HAM, mulai dari pelanggaran HAM di masa lalu, hingga yang sering mereka temui di sekeliling mereka.
Salah satu siswa kelas X, Fadhilah Arsynugraha (18), memilih topik dampak perlakuan orangtua yang otoriter kepada anak. "Pelanggaran HAM tidak hanya berupa peperangan, kemiskinan, dan konflik sosial. Ternyata di rumah juga bisa terjadi, meskipun banyak orang yang enggak menyadari," katanya.
Fadhilah mengumpulkan data melalui berbagai pemberitaan terkait penganiayaan anak dan membaca studi psikologis mengenai dampak negatif orangtua yang sangat mengendalikan anak. Akibatnya, temuan Fadhilah, bisa berupa anak yang tidak percaya diri, tidak mandiri, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, hingga akibat serius seperti anak yang depresi dan menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
Ia menampilkan hasil penelitiannya dalam bentuk animasi yang digambar manual. "Ini pertama kali saya bekerja memakai medium animasi. Saya sengaja memilihnya sebagai bentuk tantangan untuk diri sendiri," tutur Fadhilah.
Siswa lain ada yang mengambil topik soal polemik mengenai hukuman mati. Ada pula siswa yang membahas mengenai perundungan berbalut candaan yang dinilai sering luput dari perhatian masyarakat.
Di setiap instalasi karya siswa terdapat tumpukan kertas kosong tempat pengunjung bisa menulis kritik dan saran kepada siswa. Pendiri Sekolah Seni Erudio Monika Irayati mengatakan, menerima dan mencerna kritik merupakan bagian dari pendidikan.
Di setiap instalasi karya siswa terdapat tumpukan kertas kosong tempat pengunjung bisa menulis kritik dan saran kepada siswa. Menerima dan mencerna kritik merupakan bagian dari pendidikan.
"Masalah utama dari siswa ialah mereka sering merasa di dunia tidak ada masalah karena mereka hanya melihat dunia mereka yang sempit," ucap Monika.
Oleh karena itu, katanya, sekolah "memaksa" siswa melihat lebih luas dan mengasah kepekaan terhadap isu di masyarakat. Siswa juga ditantang menciptakan karya yang mengulas solusi yang bisa mereka tawarkan atas permasalahan tersebut.
Pendidikan alternatif
Monika memaparkan, Erudio merupakan lembaga pendidikan alternatif yang mendidik siswa melalui jalur berkesenian. "Seni bukan sekadar estetika. Seni harus memiliki konteks," tuturnya.
Di dalam proses menciptakan karya seni, siswa mempelajari ilmu-ilmu sosial, matematika, dan bahasa. Siswa juga diwajibkan terus mengamati permasalahan yang ada di masyarakat. Hal ini menciptakan kebulatan pemikiran selain juga mengasah siswa mengolah berbagai medium seni visual seperti kanvas, kaca, lempung, dan komputer.
Di dalam proses menciptakan karya seni, siswa mempelajari ilmu-ilmu sosial, matematika, dan bahasa. Siswa juga diwajibkan terus mengamati permasalahan yang ada di masyarakat.
Belajar dengan metode berkesenian, lanjut Monika, memberi alternatif bagi sebagian anak yang ingin menempuh pendidikan, tetapi merasa tidak cocok berada di lingkungan sekolah formal yang rigid.
"Mereka kemudian dididik dengan kurikulum kesetaraan dan kurikulum seni Pearson BTEC dari Inggris yang aplikatif dan bisa digunakan untuk menempuh pendidikan tinggi," ujar Monika.