Perpres Harus Dibicarakan dengan Dewan
Pembuatan perpres tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus dikonsultasikan dengan Komisi I dan Komisi III DPR. Konsultasi itu tercantum di bagian penjelasan UU Antiterorisme, dan bersifat mengikat.
JAKARTA, KOMPAS - Dewan Perwakilan Rakyat menginginkan konsultasi pembuatan peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme itu bersifat mengikat. Alasannya, parlemen ingin memantau rumusan aturan pelibatan TNI tak keluar dari skema yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Pemerintah dan Dewan rencananya mulai membahas rancangan perpres itu pada Juli mendatang. Draf perpres saat ini masih disusun oleh Kementerian Pertahanan dan TNI. Draf itu akan dikonsultasikan dengan DPR melalui Komisi I yang membidangi pertahanan dan Komisi III yang membidangi keamanan dalam kurun waktu satu tahun setelah revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan di rapat paripurna DPR, Jumat lalu.
Dengan UU yang baru, Kepolisian dan TNI bisa melakukan segala langkah yang dibutuhkan untuk mencegah teroris beraksi, dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Ini termasuk menindak warga negara Indonesia sepulang ke Tanah Air, setelah bergabung kelompok teroris di luar negeri.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul di Jakarta, Sabtu (26/5/2018) menjelaskan, meskipun pembuatan Perpres tentang Pelibatan TNI diserahkan pada pemerintah, substansinya tetap akan terpantau dan tidak akan keluar dari koridor UU TNI yang kini berlaku.
“Tak akan sewenang-wenang, sebab nanti dikonsultasikan dengan DPR. Konsultasi itu harus dimaknai mengikat,” katanya.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, pekan depan akan diadakan rapat gabungan Komisi I dan Komisi III DPR dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Jaksa Agung HM Prasetyo, dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Rapat itu untuk membahas dan mensosialisasikan implementasi serta aplikasi dari revisi UU Antiterorisme di semua lini, termasuk dalam konteks teknis keterlibatan TNI dalam memberantas terorisme.
Tak menutup kemungkinan, rapat itu juga akan membahas penyusunan rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI yang perlu dikonsultasikan dengan DPR terlebih dahulu.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pembuatan Perpres akan melibatkan beberapa pihak di pemerintah serta lewat berkonsultasi dengan DPR. Namun, sifat konsultasi antara DPR dan pemerintah itu belum diperjelas mengikat atau tidak.
“Setelah ini segera kami bahas Perpresnya. Kemungkinan setelah Hari Raya Lebaran (Juli). Tentu nanti pembuatannya akan melibatkan beberapa stakeholder,” kata Yasonna.
Revisi UU TNI
Keterlibatan TNI dalam penanggulangan dan pemberantasan terorisme disepakati dalam Pasal 43I UU Antiterorisme. Disebutkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, teknis keterlibatan itu akan diatur lebih detail dalam Perpres dengan tetap mengacu pada tugas pokok dan fungsi di UU TNI dan UU Pertahanan Negara. Adapun dalam bagian penjelasan UU Antiterorisme, diatur pembentukan Perpres dilakukan setelah berkonsultasi dengan DPR.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU TNI, tugas pokok TNI termasuk OMSP yang mencakup mengatasi aksi terorisme. Namun, UU TNI tak mengatur lebih lanjut mengenai teknis keterlibatan TNI, selain menyatakan TNI diturunkan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Arsul mengatakan, tafsir pelibatan TNI dalam memberantas terorisme di Perpres seharusnya tidak melenceng jauh. Aturan itu harus tetap mengacu pada koridor OMSP.
“Selama UU TNI tak berubah, seharusnya daerah dan mekanisme pelibatan TNI tetap di koridor itu-itu saja,” katanya.
Selama UU TNI tak berubah, seharusnya daerah dan mekanisme pelibatan TNI tetap di koridor itu-itu saja
Meski demikian, belakangan muncul wacana dari kalangan pemerintah untuk merevisi UU TNI. Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemenhan Muhammad Nakir mengatakan, pembahasan revisi UU TNI saat ini sedang berjalan. Draf perubahan disiapkan dan sedang digodok.
Nakir enggan mengungkapkan detil draf dalam revisi UU TNI tersebut. Namun, ia menjelaskan, revisi dilakukan karena UU TNI yang ada belum mampu menjawab ancaman yang ada saat ini. "Jadi, sangat tergantung pada dinamika yang akan kita hadapi bersama," ujar Nakir.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Rabu (23/5/2018) lalu juga mengakui pihaknya saat ini tengah menginisiasi revisi UU TNI. Namun, revisi itu dilakukan agar perwira TNI Angkatan Laut bisa masuk dan membantu Kemenko Maritim.
Skema pelibatan
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih mengatakan, opsi skema pelibatan TNI yang sedang digodok saat ini terdiri atas dua opsi. Pertama, diatur berdasarkan skala ancaman (militer diturunkan saat ancaman memasuki skala kritis) dan kedua, berdasarkan wilayah atau situasi terjadinya aksi teror. Misalnya, TNI hanya turun tangan ketika suatu aksi teror terjadi di batas-batas perairan internasional, obyek vital negara, atau di negara lain. Di luar itu, tetap polisi yang menjadi leading sector pemberantasan terorisme.
Satya Wira menambahkan, konteks keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tetap harus berdasarkan konteks perbantuan terhadap Polri. Perpres itu nantinya harus mengatur lebih jelas dalam wilayah atau situasi apa TNI dapat turun.
“Dalam konteks terorisme ini, polisi tetap harus di depan dan pelibatan TNI itu tetap harus melalui permintaan dari Kapolri. Namun, untuk titik-titik yang memang dinilai di luar wilayah Polri, di situ TNI diturunkan,” katanya.