Glodok, Dahulu dan Sekarang
27 Mei 1998
Pusat perdagangan elektronik Glodok di Jakarta Barat memiliki kisah panjang, sejak zaman VOC hingga ketika reformasi bergulir 20 tahun lalu. Bahkan, hingga kini. Pada Selasa, 26 Mei 1998, Presiden BJ Habibie menyempatkan berkunjung ke Glodok, yang beberapa hari sebelumnya terbakar dan toko-tokonya dijarah. Berita kunjungan Habibie itu dimuat di Kompas pada Rabu, 27 Mei 1998, dengan judul ”Habibie Temui Pedagang”.
Sejarah Glodok tidak terpisahkan dari pembagunan kota Batavia. Gubernur Jenderal Batavia pertama, JP Coen, memerlukan orang untuk membangun kotanya. Batavia, kala itu, diproyeksikan untuk menjadi kota perdagangan yang mendukung bisnis VOC di kawasan Asia.
Baca juga: Jejak-jejak ”Hantu” Kerusuhan Mei
Glodok, pecinan di kawasan Jakarta Barat, dikenal sebagai pusat ekonomi sejak Batavia didirikan oleh perserikatan dagang Belanda, Vereenigde Ootstindische Compagne (VOC). Batavia menarik banyak orang, termasuk orang China. Komunitas orang China yang diyakini merupakan pekerja keras dan ulet tinggal di selatan benteng Belanda di Batavia.
Komunitas China di Batavia semakin lama semakin banyak dan menimbulkan gesekan sosial, termasuk dengan penguasa. Gubernur Jenderal saat itu, Adriaan Valckenier, menilai, mereka memberontak dan terjadilah pembunuhan orang China besar-besaran pada 1740. Sebagian dari mereka dijebloskan ke penjara.
Valckenierdipecat dan dipenjara satu tahun sesudahnya. Gubernur Jenderal selanjutnya, Baron van Imhoff, melokalisasi komunitas Tionghoa di kawasan Glodok, tidak boleh lagi tinggal di dalam tembok kota Batavia.
Komunitas China berdagang di Glodok, sebenarnya sudah ada kawasan perniagaan lain yang sudah lebih dulu didirikan, yaitu Tanah Abang dan Pasar Baru. Glodok semakin ramai. Barang yang dijual lebih bervariasi. Sebagian didatangkan dari luar Batavia, dari China, bahkan dari Eropa.
Kawasan Glodok terus berkembang. Hingga pada akhirnya dikenal sebagai tempat penjualan barang elektronik. Berbagai macam kulkas, televisi, radio, dan cakram padat (CD) bajakan dijual di Glodok. Komunitas China di kawasan itu terus berdagang. Tidak hanya orang Jakarta dan sekitarnya yang berbelanja di Glodok. Pembeli juga banyak berdatangan dari luar Pulau Jawa demi mendapatkan barang elektronik keluaran terbaru.
Baca juga: Amuk Massa yang ”Menyebar” di Jabotabek
Tidak hanya barang elektronik, Glodok juga dikenal sebagai sentra garmen walaupun tidak sebesar Tanah Abang. Berbagai produk dari China bisa didapatkan di Glodok. Kawasan ini juga dikenal sebagai tempat untuk berbelanja barang grosir yang dapat dijual kembali dengan keuntungan lumayan.
20 tahun lalu
Pada pertegangan 1997, kurs rupiah mulai melemah. Dari Rp 2.450 per dollar AS menjadi Rp 13.000-an pada akhir Januari 1998. Ada 16 bank yang ditutup tahun 1997 dan Dana Moneter Internasional turun tangan dengan memberikan pinjaman. Pada 11 Maret 1998, Presiden Soeharto kembali terpilih menjadi Presiden RI.
Suara-suara ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto terus bergulir. Demonstrasi digelar mahasiswa di mana-mana, termasuk oleh mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Beberapa mahasiswa tewas tertembak.
Situasi terus memburuk. Demonstrasi dan kerusuhan yang semula hanya terjadi di kawasan Universitas Trisakti, pada 14 Mei 1998, semakin menjalar ke berbagai penjuru kota. Massa merusak, menjarah, dan membakar toko-toko di pusat perdagangan yang dikuasai komunitas China, termasuk di Glodok dan Orient Plaza.
Massa yang bergerombol sejak pagi di seputar Stasiun Kereta Api Kota, Beos, berjalan ke berbagai arah. Sebagian ke Mangga Dua, Jembatan Lima, juga ke pasar Glodok. Mereka melempari toko yang ada di sepanjang jalan Gadjah Mada. Aparat keamanan sulit mengatasi keadaan karena jumlah massa yang lebih banyak.
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Beberapa ruko terbakar di kawasan Glodok menjadi sasaran amuk massa. Para pedagang yang jauh dari hingar-bingar politik harus mengalami trauma dan ketakutan.
Glodok merupakan salah satu pusat perputaran uang di Jakarta. Sepekan setelah kerusuhan, Presiden BJ Habibie menyempatkan berkunjung ke Glodok. Tujuannya tidak lain adalah ikut menenangkan para pedagang. Salah seorang pedagang mengaku rugi Rp 4 miliar pada saat terjadi penjarahan itu.
Semakin sepi
Setelah kerusuhan, Glodok sempat vakum selama dua tahun dalam masa merestorasi pasar tersebut. Perlahan, Glodok kembali mencoba bangkit dari traumanya.
Awal 2013, kembali Glodok menjadi sasaran aksi teror. Sekelompok teroris mencoba meledakkan bom, tetapi tidak ada bom yang dapat meledak.
Kegiatan perekonomian di Glodok terus berjalan. Sayangnya, dalam 15 tahun terakhir ini terjadi penurunan jumlah uang di kawasan tersebut. Meskipun demikian, sumbangan perputaran uang di Glodok masih cukup tinggi. Dari nilai transaksi harian sebesar Rp 6 triliun, sekitar 30 persen berasal dari transaksi di Glodok.
Data dari Perwakilan Bank Indonesia DKI menunjukkan, peredaran uang di Jakarta menurun karena transaksi ekonomi mulai merata (Kompas, 3/10/2017). Sebelum tahun 2000, sekitar 60 persen peredaran uang terjadi di Jakarta dan putaran uang dari Glodok mencapai 60 persen dari total perputaran uang di DKI.
Lesunya transaksi di Glodok disebabkan oleh berbagai macam hal. Dalam 20 tahun terakhir banyak dibangun pusat perdagangan di pinggiran Jakarta. Toko-toko itu pun menjual pakaian, barang elektronik, mainan anak, dan alat tulis kantor, komoditas andalan dari kawasan Glodok.
Baca juga: Hari-hari Berat Menuju Klimaks Presiden Berhenti
Orang Bekasi saat ini tidak perlu lagi datang ke Glodok untuk membeli barang yang diperlukan. Tidak hanya itu, perdagangan secara daring, walaupun masih kecil, juga membuat orang tidak berbelanja ke Glodok lagi.
Denyut Glodok masih terasa walaupun tampaknya semakin melemah. Kawasan niaga itu menyimpan cerita panjang, naik dan turun sesuai dengan roda zaman. Beberapa pasti masih akan bertahan dari gerusan zaman, seperti yang pernah dilakukan para nenek moyang mereka.