Pungutan Mencurigakan di Lembaga Pendidikan
JAKARTA, KOMPAS — Orangtua dari anak yang dinyatakan lolos masuk Madrasah Tsanawiyah Negeri 21 Jakarta curiga pada pungutan Rp 2.350.000 yang dibayarkan ke koperasi madrasah saat mendaftar ulang karena tujuan pungutan tidak jelas.
Hal itu menambah panjang daftar dugaan pungutan liar di lembaga pendidikan. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama pun didesak memperketat pengawasan penerimaan siswa baru di madrasah.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri mengatakan, pungutan liar di sekolah-sekolah negeri di Jakarta relatif sudah menurun. Namun, di madrasah, lembaga pendidikan di bawah koordinasi Kementerian Agama, pungutan liar belum terkontrol.
”Itu karena Itjen (Inspektorat Jenderal) Kemenag tidak tegas. Madrasah-madrasah itu tidak terpantau,” ucapnya dari Banda Aceh, saat dihubungi pada Jumat (25/5/2018).
Pungutan mencurigakan baru-baru ini ditemukan dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) MTsN 21, di Duren Sawit, Jakarta Timur. Daftar ulang bagi peserta yang dinyatakan lolos tes PPDB madrasah setingkat sekolah menengah pertama itu berlangsung pada Senin-Rabu, 21-23 Mei. Orangtua siswa yang datang mendaftar ulang diminta membayar Rp 2.350.000 sebelum menyerahkan berkas.
Nisya, ibu seorang siswa berinisial AHM, baru tahu ada pungutan sebesar itu ketika datang mendaftarkan ulang anaknya pada Senin (21/5/2018). Tidak ada pengumuman sama sekali sebelumnya, bahkan termasuk pada kertas yang ditempel di depan ruang daftar ulang di MTsN 21. Dari laman https://www.mtsn21jkt.sch.id/, informasi bagi peserta yang dinyatakan lolos seleksi PPDB hanyalah jenis-jenis berkas yang wajib dibawa saat daftar ulang. Tidak ada keterangan biaya.
Kejanggalan lainnya, petugas daftar ulang PPDB tidak memberikan kuitansi pembayaran kepada Nisya setelah menyerahkan jumlah uang yang diminta. ”Satu-satunya yang dikasih panitia adalah form pemesanan seragam lewat koperasi,” ujarnya.
Kompas pun mencoba menelusuri informasi tersebut ke MTsN 21 Jakarta pada Rabu atau hari terakhir daftar ulang. Kompas menanyakan ruang untuk daftar ulang peserta yang lolos seleksi PPDB. Sampai di salah satu ruang daftar ulang, Kompas diminta masuk terlebih dulu ke ruang sebelah, yaitu ruang bagian koperasi.
Kompas lantas diterima seorang petugas laki-laki yang menjelaskan, di ruang ini, peserta menyerahkan uang seragam terlebih dulu, baru ke ruang pertama yang didatangi Kompas untuk menyerahkan berkas. ”Rp 2.350.000, itu untuk seragam, untuk psikotes juga di situ,” ucap petugas tersebut.
Uang Rp 2,35 juta tersebut tergolong terlampau besar jika hanya untuk membayar seragam dan psikotes. Penelusuran Kompas di satu toko busana di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, harga kemeja putih lengan panjang Rp 63.000, celana panjang biru Rp 71.500, kemeja pramuka lengan panjang Rp 74.000, dan celana panjang pramuka Rp 69.500. Jika ditotal, biayanya Rp 278.000. ADapun biaya psikotes dari pencarian di dunia maya berkisar Rp 100.000-Rp 500.000 per siswa.
Kepala Sekolah MTsN 21 Mahmudah, di Jakarta, Jumat, membantah adanya pungutan liar terhadap siswa baru tahun pelajaran 2018/2019. ”Tidak benar ada pungutan liar di sekolah kami,” ujarnya.
Meski demikian, Mahmudah membenarkan, sekolah mengoordinasikan pembelian seragam sekolah melalui koperasi sekolah. Namun, dia enggan membenarkan bahwa jumlah uang yang ditarik sebesar Rp 2.350.000 atau bukan. Dia tidak berkenan pula merinci penggunaannya.
Menurut Mahmudah, pembelian seragam lewat koperasi sekolah tidak diwajibkan. Orangtua siswa boleh membeli pakaian di luar sekolah. Namun, seragam yang digunakan siswa identik dengan identitas sekolah.
Pembelian seragam lewat koperasi sekolah tidak diwajibkan. Orangtua siswa boleh membeli pakaian di luar sekolah.
Murid kelas VIII MTsN 21 mengatakan, mereka menggunakan pakaian berbeda dari Senin hingga Jumat. Pada Senin, siswa mengenakan atasan dan bawahan putih dilengkapi rompi khas sekolah. Selasa, seragam yang dikenakan berupa atasan putih dan bawahan biru dengan sebuah rompi.
Hari Rabu, siswa akan mengenakan pakaian pramuka, sedangkan pada Kamis, seragam yang dikenakan batik sekolah dengan bawahan putih. Sementara itu, pada Jumat, siswa mengenakan setelan pakaian muslim hijau toska.
Pada 2017, murid wajib membayar pakaian seragam seharga Rp 1,7 juta. Dari sejumlah uang tersebut, siswa mendapatkan antara lain rompi, satu set pakaian pramuka, satu set pakaian muslim, dan satu set pakaian olahraga. Atribut lain yang didapatkan antara lain emblem lambang sekolah, topi, dasi, dan ikat pinggang. Adapun atasan putih, bawahan putih, serta bawahan biru harus mereka beli secara mandiri.
Selain membayar uang seragam, murid juga membayar Rp 100.000 untuk mengikuti psikotes. Psikotes diadakan secara massal di sekolah.
Mahmudah mengatakan, menurut rencana, psikotes serupa akan dilaksanakan tahun ini. Tes tersebut dibutuhkan untuk memetakan minat dan bakat siswa serta menentukan pola ajar terhadap mereka. Keberagaman kecenderungan siswa dalam belajar mengharuskan guru mengetahuinya sejak dini agar pembelajaran berlangsung optimal.
”Sekolah bermaksud mengoordinasikan penyelenggaraan psikotes agar lebih mudah dan murah,” ujarnya.
Akan tetapi, menyusul keberatan dari salah satu orangtua siswa, penyelenggaraan psikotes akan dievaluasi kembali. Menurut Mahmudah, siswa diperbolehkan mengikuti psikotes di mana saja dan sekolah akan menerima hasilnya.
Tidak prosedural
Kepala Subdirektorat Kesiswaan Direktorat Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Abdullah Faqih menyatakan, pungutan pada masa daftar ulang peserta yang lolos PPDB tersebut tidak sesuai prosedur.
Menurut Faqih, pembelian seragam mestinya masuk ke pengeluaran personal tiap orangtua siswa dan tidak ada pemaksaan. Urusan pembelian seragam seharusnya dibahas setelah daftar ulang dengan disertai kesepakatan dari orangtua dan transparansi biaya dari madrasah.
”Untuk psikotes, sebenarnya bisa dimasukkan dalam DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) agar ditanggung APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ucapnya.
Untuk pelaksanaan PPDB, lanjut Faqih, madrasah tidak boleh menarik pungutan dari orangtua siswa, termasuk untuk kebutuhan honor panitia. Sebab, biaya PPDB sepenuhnya ditanggung negara lewat APBN.
Meski demikian, madrasah memang boleh menarik dana masyarakat karena tidak semua anggaran peningkatan mutu madrasah bisa ditanggung APBN. Namun, Faqih mengingatkan, caranya tidak bisa dengan ”tembak langsung” ke orangtua saat daftar ulang.
Untuk pelaksanaan PPDB, madrasah tidak boleh menarik pungutan dari orangtua siswa, termasuk untuk kebutuhan honor panitia. Sebab, biaya PPDB sepenuhnya ditanggung negara lewat APBN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 2016, dana dari masyarakat harus dikelola oleh komite madrasah, bukan kepala madrasah. Pada sisi lain, besar dana yang ditarik harus sesuai dengan jumlah dana yang tidak ditanggung APBN.
Faqih mengatakan, jika ingin menarik dana dari orangtua murid, madrasah harus menjelaskan dulu dalam rapat komite bersama orangtua tentang besar anggaran yang diterima dan kekurangan dana untuk menjalankan program-program. Program yang butuh dana tambahan tersebut pun harus disepakati dulu dengan orangtua, apakah program dibutuhkan atau tidak.
Ajakan melapor
Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dari 400 aduan yang diterima seusai PPDB 2017 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, sebanyak 17 persen terkait pungutan liar.
Koordinator Bidang Advokasi dan Investigasi JPPI Nailul Faruq mengatakan, data aduan untuk PPDB 2018 masih dalam pengumpulan mengingat PPDB tahun ini belum berjalan serentak.
Nailul mendorong partisipasi publik untuk memantau langsung PPDB. Pelaporan bisa melalui laman www.laporpendidikan.com. ”Masyarakat kami minta berani melapor, untuk meminimalkan kasus-kasus seperti tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya. (KYR)