Bahasa Damai dari Kaki Mo Salah
Di dunia ini hanya ada dua bahasa internasional, sepak bola dan musik. Dan, apabila ada yang benar-benar fasih menggunakan dua bahasa tersebut sekaligus, dia adalah Liverpool.
Begitu dikatakan Fritz Pleitgen, koresponden olahraga majalah Die Zeit (12/5/2017). Kata-kata itu diperolehnya dari rekannya, Neil Peterson, yang mengantar dia keliling melihat kota Liverpool dan kegiatan sepak bolanya.
Memang dari Liverpool lahirlah bahasa musik yang indah pada tahun 1960. John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr membentuk band The Beatles. Musik mereka segera membahana menjadi bahasa dunia, yang dicintai dan dinyanyikan di mana-mana. Kelak, bersama Yoko Ono, Lennon mencipta lagi lagu ”Imagine” yang menggetarkan dunia untuk mencintai perdamaian.
”Imagine” mengajak orang untuk membayangkan sebuah dunia di mana hanya kedamaian yang bertakhta. Tiada lagi di sana pembatas atau penghalang, entah agama entah nasionalisme, yang memisahkan manusia. Tak ada lagi saling membunuh. Keserakahan dan kelaparan sirna. Semua orang hanya ingin saling berbagi agar hanya damailah yang ada di dunia ini.
Mungkin itu hanyalah mimpi. Namun, Lennon percaya, kelak akan banyak manusia yang mau bergabung dalam
dunia yang satu dan damai itu.
Menjelang final Liga Champions 2018 di Kiev, dari Liverpool lahir lagi a big hit yang mendunia. Kali ini hit tersebut tidak mengenai musik, tapi mengenai bola. Dan, hit itu adalah Mohamed Salah. Seperti hit musik ”Imagine”, hit bola Mo Salah juga menggetarkan orang untuk merasa dunia ini sesungguhnya bisa menjadi satu dan damai.
Seakan bukan sebuah kebetulan, final Liga Champions kali ini jatuh pada bulan suci Ramadhan, saat umat Islam menjalani penyucian diri dan bertobat, agar nanti bisa merayakan hari kemenangan dengan bahagia, damai dan gembira.
Islam-Salah is great. Inilah frasa yang memuja Islam dan Salah sekaligus. Karena prestasinya di dunia bola, Salah telah menjadi hero tidak hanya di negeri asalnya, Mesir, tetapi juga di seluruh dunia Arab.
Salah memang amat mencintai agamanya. Setiap kali berhasil membuat gol, ia selalu bersyukur kepada Allah. Allah selalu melimpahkan kebaikan-Nya, juga di lapangan bola, begitulah keyakinannya. Salah adalah Muslim yang taat. Di sela-sela latihan, betapa pun beratnya, setiap hari Jumat, Salah bersama Sadio Mane selalu menyempatkan diri untuk ”Jumatan” di masjid lokal Liverpool.
Waktu merintis kariernya di Mesir, ia harus menempuh perjalanan berjam-jam lamanya, pulang balik ke Kairo untuk berlatih bola. Maka, anak-anak muda di dunia Arab menganggap Salah telah memberikan contoh bahwa dengan disiplin dan kemauan keras, semuanya menjadi mungkin.
Setelah Liverpool menang atas AS Roma, jurnalis BBC, Rabiya Limbada, menulis, figur seperti Salah sungguh perlu bagi anak-anak Muslim. Bagi mereka, Salah telah menjadi contoh islami dari seorang popkultur ”Dengan mendengar atau melihat berita tentang Salah, anak-anak Muslim berpikir bahwa mereka juga perlu menunjukkan secara terbuka asal-usul dan agamanya. Tak mengherankan, pemain seperti Salah sungguh menyulut semangat hati mereka.”
”Salah seperti David Beckham dari Islam,” kata Akmed Musleh, seorang fans setia Liverpool. Menurut Musleh, Salah jauh dari isu-isu yang biasa menimpa seorang bintang. Salah tak mencari publikasi, ia tampil apa
adanya.
”Salah tidak menyembunyikan dirinya. Ia bangga atas asal-usul dan agamanya. Dan, ini memberikan pandangan yang lain tentang Islam. Saat orang dilanda oleh fobia terhadap Islam, Salah berjasa untuk melunakkan fobia itu,” kata Musleh.
Fans Liverpool jelas amat menghormati dan mencintai Salah. Sampai di tribune fans fanatik Liverpool mendengungkan lagu, ”If he scores another few I’ll be a Muslim/ He’s sitting in the mosque/ That’s where I want to be”. ”Jika dia membuat gol lagi, aku akan menjadi Muslim. Dia duduk di masjid. Di sana pula aku ingin berada”.
Seperti lagu-lagu fans lainnya, tentu itu hanyalah humor. Namun, menurut Musleh, saat di Barat orang dicekam ketakutan dan kecurigaan terhadap Islam, lagu tersebut terdengar menghibur: Islam masuk ke stadion dan dinyanyikan dengan begitu gembira serta bersemangat oleh orang yang mungkin dulu takut dan kurang mengenalnya.
Filsafat bola
Mampukah Salah membuat gol lagi dan membawa Liverpool menang? Inilah tugas berat Salah dan kawan-kawannya di Kiev nanti. Lawan mereka, Real Madrid, tidak peduli dengan euforia di sekitar Salah. Mereka hanya mau menang dan memburu rekor tiga kali berturut-turut juara Liga Champions.
”Ini final. Tak ada kata lain bagi kalian, kecuali menderita,” kata Zinedine Zidane kepada anak-anaknya. Ronaldo dan kawan-kawannya sudah tahu dan mengalami apa penderitaan itu. Dengan susah payah tak terkira, mereka sanggup melampaui PSG, Juventus, dan Bayern Muenchen dalam pertandingan yang amat mendebarkan.
Mereka boleh ketinggalan, tapi ketinggalan itu justru membuat mereka menemukan ”filsafat bola babak kedua”. Setelah jeda, mereka tiba-tiba menemukan permainannya secara baru untuk menggasak lawannya dengan tak terduga. Teguran keras dan kemarahan pelatih Zizou di kabin waktu jeda seakan menjadi api dan agresi bagi mereka untuk membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Waktu itulah seruan Zizou ”menderitalah” menjadi kerja tak kenal lelah yang berbuah pada kemenangan mereka.
Pelatih Liverpool Jurgen Klopp sadar bahwa ”kemenangan Liga Champions ada dalam DNA Real Madrid”. Real sudah 12 kali juara. ”Tak ada kesebelasan yang lebih berpengalaman dalam Liga Champions daripada Real Madrid. Mereka berpengalaman dan kami tidak. Tapi, kami siap,” kata Klopp. Real memang hebat, tapi Klopp bilang, mereka pun mempunyai titik lemah untuk ditaklukkan.
Liverpool memang underdog. Mereka tentu bahagia jika menang dan Salah membuat gol. Namun, andaikan tidak, fenomena Mo Salah di dunia bola tahun ini sudah sempat menyebarkan sesuatu: warta tentang Islam yang terbuka, membanggakan, tawadu, mau berbagi, dan dicinta.
Kadang bola memang bisa lebih memberikan warta tentang kedamaian, lebih daripada politik dan agama.