Freeport Harus Turunkan Endapan Limbah
Pemerintah Indonesia menginstruksikan agar PT Freeport Indonesia menurunkan total zat padat di limbah tambang.
JAKARTA, KOMPAS—PT Freeport Indonesia diperintahkan menurunkan total zat padat dalam limbah tambangnya dari 9.000 miligram per liter menjadi 200 miligram per liter pada buangan tailingnya. Pemerintah memberi dukungan agar perusahaan tambang itu memenuhi baku mutu emisi sesuai aturan.
Dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 175 Tahun 2018 yang diterbitkan 9 April 2018, pengawasan pengelolaan tailing dilakukan minimal satu kali dalam setahun. Untuk itu, Freeport diminta menerbitkan rencana operasi pengelolaan limbah tambangnya. Pada Oktober nanti (6 bulan sejak SK 175), zat padat dalam limbah tambang ditargetkan 200 miligram per liter.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Kamis (24/5/2018), di Jakarta, mengatakan, jajarannya dalam Tim Pengendalian Penyelesaian Permasalahan Lingkungan PT Freeport Indonesia, bersama tim perusahaan tambang raksasa itu, sedang menuntaskan prakondisi. Salah satunya, KLHK menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dituntaskan bulan depan dan Freeport mencari teknologi serta contoh pengelolaan tailing untuk diadopsi.
Selama ini, Freeport membuang limbah dengan kandungan TSS 9.000 mg/L. Itu difasilitasi SK Menteri Lingkungan Hidup No 431/2008 tentang Persyaratan Pengelolaan Tailing PT FI di Daerah Pengendapan Ajkwa atau Modified Ajkawa Deposition Area (ModADA) di Kabupaten Mimika, Papua.
Angka baku mutu pada SK 431 itu jauh di atas SK Menteri Lingkungan Hidup No 202/2004 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga. Akibatnya, sekitar 4.000 hektar hutan mangrove di Mimika terendam lumpur.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas limbah tailing PT FI tahun lalu merekomendasikan agar pemerintah mencabut SK 431 melalui SK No 172/2018 (5 April 2018) tentang langkah penyelesaian masalah lingkungan PT FI. Lalu, Menteri LHK menerbitkan SK No 175/2018 tentang Pengelolaan Tailing PT FI di Daerah Penimbunan Ajkwa atau ModADA di Mimika, Papua.
Menteri Siti mengakui surat ini memicu reaksi dari CEO PT FI Richard Akerson. Siti meyakinkan, surat itu murni alasan lingkungan yang juga didasarkan pada hasil audit BPK. Jadi, itu bukan didorong alasan politis.
Perubahan paradigma
”Ada perubahan paradigma pemerintahan saat ini yang berbeda dari pemerintahan lalu, antara lain governance. Jadi, tak bisa dilakukan pembiaran SK 431 yang tak sesuai peraturan perundangan RI dan telah berdampak pada lingkungan,” ungkapnya.
Ia dan Richard beserta jajaran mereka bertemu pada 17 Mei 2018 di Jakarta untuk membedah soal serta persiapan pelaksanaan SK 172 dan SK 175. Dalam pertemuan itu, pemerintah mendukung perbaikan akan dilakukan PT FI dari sisi kebijakan.
Salah satu opsinya ialah pemanfaatan tailing sebagai bahan pembangunan jalan. Secara parsial, itu dilakukan PT FI di Papua. Siti mengajak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan terkait rencana ini.
Terkait langkah yang dilakukan, Siti melaporkannya ke Presiden. ”Bapak Presiden mengatakan agar jalankan saja yang sudah dipersiapkan,” ujarnya.
Koordinator AEER Pius Ginting mengatakan SK Menlhk no 175 berpotensi menyisakan masalah. Ini karena syarat kandungan logam berat lebih tinggi dibandingkan SK 431. Baku mutu arsen dari 0,2 mg/L menjadi 0,5 mg/L, tembaga dari 1 mg/L menjadi 2 mg/L, timbal 0,1 menjadi 1 mg/L, seng 2 mg/L menjadi 5 mg/L, merkuri 0,003mg/L menjadi 0,005mg/L, dan Cadmium 0,09 mg/L menjadi 0,1 mg/L. Baku mutu pada SK 175 ini mengikuti SK 202/2004 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga.
”Hal ini berbahaya bagi ekosistem di sekitar pengendapan tailing, terlebih nelayan setempat menangkap ikan tak jauh ke tengah laut, hanya di sekitar area pembuangan tailing karena perahu mereka sederhana,” ujarnya.
Hal ini berbahaya bagi ekosistem di sekitar pengendapan tailing, terlebih nelayan setempat menangkap ikan tak jauh ke tengah laut, hanya di sekitar area pembuangan tailing karena perahu mereka sederhana.
Terkait SK KLHK, Juru Bicara PT FI Riza Pratama menyatakan masih berdiskusi dengan KLHK. ”Ini bukan hal gampang. Kalau diimplementasikan, akan tutup tambang kita,” ucapnya.
Hal itu terkait dengan retensi tailing 95 persen di darat dan 5 persen di muara. Itu tak bisa dilakukan dengan metode tambang PT FI saat ini.