JAKARTA, KOMPAS — Pemimpin Jamaah Anshor Daulah Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman membantah keterlibatannya dalam empat aksi pada tahun 2016-2017. Menurut Aman, dirinya belum mengajari pengikutnya untuk melakukan penyerangan kepada aparat negara.
Aman menjelaskan, keterkaitannya dalam empat kasus teror tersebut baru diketahuinya selama menjalani masa persidangan. ”Adapun kasus yang dikaitkan lalu saya teliti. Kasus ini baru saya ketahui saat masa persidangan ini. Semua kasus itu terjadi pada tenggat November 2016 sampai September 2017. Padahal, saya diisolasi di LP Pasir Putih, Nusakambangan, sejak Februari 2016,” tuturnya dalam sidang pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (25/5/2018).
Sebelumnya, Jumat (18/5/2018), Aman dituntut hukuman mati oleh jaksa. Ia didakwa menjadi dasar terpidana terorisme dan pelaku teror melakukan empat aksi teror, yaitu bom Thamrin, Jakarta (Januari 2016); bom di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur (November 2016); bom Kampung Melayu, Jakarta (Mei 2017); serta penyerangan Markas Polda Sumatera Utara (Juni 2017).
Aman berpendapat, selama ditahan di LP Pasir Putih, dirinya tidak dapat berkomunikasi dengan pengikutnya. Semasa ditahan, Aman merasa tidak mengetahui berita apa pun terkait kasus teror bom yang terjadi dalam kurun waktu 2016-2017.
”Pada Desember 2017, ketika di dalam tahanan, saya sempat diajak untuk berkompromi dengan pemerintah. Bila saya mau berkompromi, saya dijanjikan akan dibebaskan, tetapi jika tidak, saya akan dipenjara seumur hidup. Namun, saya menolak tawaran kompromi tersebut,” ucapnya.
Menurut Aman, selama ini dirinya belum mengajarkan para pengikutnya untuk berjihad atau menyerang aparat. Aman menjelaskan, dirinya hanya mengajarkan para pengikutnya untuk berhijrah dan menganggap negara beserta para aparatnya sebagai kaum kafir.
Sesungguhnya mereka yang melakukan aksi tersebut merupakan orang-orang yang sakit jiwanya dan putus asa dalam kehidupan.
Dalam pembelaannya, Aman juga menjelaskan, sejumlah kasus teror bom yang terjadi di Surabaya tidak sesuai dengan ajaran Islam karena melibatkan anak-anak. ”Sesungguhnya mereka yang melakukan aksi tersebut merupakan orang-orang yang sakit jiwanya dan putus asa dalam kehidupan Islam,” ucapnya.
Ketika sidang berlangsung, terdengar bunyi dentuman dari luar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sekitar pukul 09.00. Anggota kepolisian langsung bersiaga setelah terjadinya dentuman tersebut. Ketua Majelis Hakim Akhmad Jaini menskors sidang selama beberapa menit.
Berdasarkan informasi dari pihak kepolisian, suara dentuman berasal dari pembangunan apartemen di depan PN Jakarta Selatan di Jalan Ampera Raya. Setelah dilakukan pemeriksaan di lokasi kejadian, suara tersebut bersumber dari satu drum yang berisi bahan kimia pengeras cor bangunan. Sebelum terdengar suara dentuman, pekerja bangunan tersebut ingin memotong drum dengan alat las. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut.
Permohonan kuasa hukum
Dalam persidangan kali ini, kuasa hukum Aman Abdurrahman, Asrudin Hatjani, meminta hakim untuk membebaskan terdakwa dari tuntutan hukuman mati.
”Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana terorisme dalam dakwaan pertama primer sebagaimana diatur dalam Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” tutur Asrudin.
Selain itu, Asrudin mengatakan, agar biaya perkara dibebankan kepada negara. ”Apabila majelis hakim berpendapat lain, mohon keadilan yang seadilnya dan hukuman yang seringan-ringannya,” lanjutnya.
Jaksa penuntut Mayasari menjelaskan, tim jaksa akan membuat keterangan tertulis terkait pembelaan Aman. Ketua Majelis Hakim Akhmad Jaini memutuskan untuk melakukan sidang lanjutan pada Rabu, 30 Mei 2018.