JAKARTA, KOMPAS — Gubernur Bank Indonesia periode 2018-2023, Perry Warjiyo, mengatakan akan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia akan terus berkoordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan pelaku usaha perbankan untuk menjaga perekonomian Indonesia.
Seusai pelantikannya sebagai Gubernur BI yang baru, Perry menegaskan, BI akan menggunakan satu dari lima instrumen yang dimiliki untuk menjaga stabilitas perekonomian bangsa, yaitu kebijakan moneter. ”Prioritas saya dalam jangka pendek adalah menstabilkan nilai tukar rupiah,” kata Perry di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) masih melemah terhadap dollar AS selama beberapa hari terakhir. Pada 24 Mei 2018, nilai tukar rupiah Rp 14.205 per dollar AS. Nilai itu lebih tinggi dibandingkan pada 23 Mei 2018 Rp 14.192 per dollar AS dan 22 Mei 2018 pada Rp 14.178 per dollar AS.
Langkah yang akan Perry lakukan adalah mengombinasikan kebijakan suku bunga acuan dan intervensi ganda. BI dinyatakan akan lebih mengantisipasi dan maju dalam kebijakan suku bunga yang berikutnya.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menyatakan, BI seharusnya menaikkan suku bunga acuan segera ketika The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menaikkan suku bunga pada Maret lalu (Kompas, 22/5/2018).
Sebelumnya, BI menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,50 persen, suku bunga penempatan dana rupiah (deposit facility/DF) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah (lending facility/LF) sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen per 18 Mei 2018.
Perry pun menegaskan, suku bunga acuan ketika dinaikkan hasilnya tidak dapat langsung dilihat seketika. Perubahan baru akan muncul dalam waktu sekitar satu tahun.
Selain itu, intervensi ganda juga akan dilakukan melalui penambahan pasokan valuta asing dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. “Kami sudah membeli hampir Rp 50 triliun SBN yang dijual asing,” ujarnya.
Perry menyatakan, salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah adalah peningkatan nilai US treasury yields atau obligasi Pemerintah Amerika Serikat diluar perkiraan. BI memperkirakan nilai obligasi tersebut hanya naik 2,75 persen, tetapi justru telah lebih dari 3 persen.
Peningkatan obligasi itu berawal dari Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan federal menjadi kisaran 1,5 persen dan 1,75 persen. Perry melanjutkan, The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun ini.
Penyebab lainnya adalah defisit fiskal AS yang lebih tinggi hingga mencapai 4 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal itu juga membuat keluarnya arus modal asing (capital outflow) dari seluruh negara emerging.
”Tetapi, inflasi sekarang tidak lebih dari 3,5 persen dan akhir tahun kita perkirakan 3,6 persen, itu cukup bagus. Stabilitas harga tetap terjaga,” kata Perry.