JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia dinilai terlambat menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan tersebut dinilai seharusnya segera berlaku ketika The Fed, bank sentral Amerika Serikat, menaikkan suku bunga pada Maret lalu. Akibatnya, nilai tukar rupiah masih terus melemah.
Bank Indonesia memutuskan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,50 persen, suku bunga penempatan dana rupiah atau deposit facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah atau lending facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen. Kebijakan tersebut berlaku efektif per 18 Mei 2018.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, pada 17 Mei 2018, kebijakan itu adalah upaya menjaga stabilitas perekonomian akibat ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global. Rupiah diharapkan tidak akan kembali melemah.
Kendati demikian, nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) justru melemah terhadap dollar AS selama lima hari terakhir. Pada 22 Mei 2018, nilai tukar rupiah Rp 14.178 per dollar AS naik secara bertahap sejak 18 Mei 2018 (Rp 14.107 per dollar) dan 21 Mei 2018 (Rp 14.176 per dollar).
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono mengungkapkan, terdapat beberapa kemungkinan BI terlambat menaikkan suku bunga. BI bisa saja merasa yakin cadangan devisa cukup, tidak membandingkan inflasi diferensial antarsuku bunga domestik dengan luar negeri, dan tidak memperhitungkan kasus terorisme terjadi.
”Kalau melihat perkembangan rupiah, kenaikan 25 basis poin itu pun masih kurang,” kata Tony, saat ditemui, di Jakarta, Selasa (22/5/2018).
BI setidaknya harus menaikkan suku bunga acuan minimal sekali lagi sebesar 25 bps sehingga menjadi 4,75 bps. Taktik itu perlu dilakukan guna mengimbangi potensi peningkatan suku bunga The Fed yang berikutnya. Peningkatan suku bunga harus dilakukan secara perlahan agar pasar tidak panik.
Anggota Komisi XI Fraksi PDI-P Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hendrawan Supratikno, menambahkan, ekspektasi pasar yang DPR ketahui adalah kenaikan justru mencapai 75 basis poin. ”Namun, kenaikannya juga tidak serta-merta,” katanya.
”Kita hanya harus hati-hati agar suku bunga tidak ketinggalan dengan The Fed,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Anton Hermanto Gunawan. Adapun evaluasi dampak peningkatan suku bunga acuan ia nilai baru dapat dilakukan ketika keadaan ekonomi Indonesia mulai tenang, yakni pada Juni 2018 ataupun di kuartal berikutnya.
Hal itu karena rupiah terus melemah akibat arus dividen dan repatriasi masih terus berjalan. Peningkatan suku bunga acuan sebesar 100 bps pun tidak akan memberikan dampak apa-apa terhadap arus investasi yang telanjur mengalir keluar.
Ditambah lagi, saat ini sedang memasuki masa Lebaran dan libur panjang sehingga permintaan terhadap dollar AS meningkat.
”Jangan ikuti investor yang ketakutan. Justru kita harus menjaga investor yang berorientasi jangka panjang di Indonesia,” ujar Anton. Ia menyatakan, investor yang bertahan di Indonesia dapat diarahkan untuk melakukan transaksi lindung nilai (hedging) nilai tukar.
Tidak terpengaruh
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum tidak akan terpengaruh dengan peningkatan suku bunga acuan. Ia mencontohkan, pertumbuhan ekonomi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo cenderung stagnan di angka 5 persen.
Padahal, data BI menunjukkan, suku acuan bunga pernah mencapai 5,50 persen pada April 2016, 5,00 persen pada September 2016, dan 4,75 persen pada Juli 2017.
Adapun BI tetap optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan berkisar di angka 5,1 persen-5,5 persen pada tahun 2018.
Hendrawan mengingatkan, pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat membaik jika BI juga menaikkan bunga Surat Utang Negara (SUN), yang terdiri dari obligasi dan Surat Perbendaharaan Negara. Investor juga mengacu pada bunga SUN ketika akan berinvestasi.
”Eksportir juga perlu diberi insentif agar neraca perdagangan kita tidak lagi defisit,” kata Hendrawan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, selama empat bulan pertama tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit mencapai 1,32 miliar dollar AS.