Kini Bahasa Cinta yang Lebih Bergaung di Surabaya
Barangkali, bahasa "cinta" pelaku teror bom, Minggu (13/5/2018) lalu di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, serta Senin (14/5/2018) di Polrestabes Surabaya, adalah kebencian untuk membunuh sesama.
Namun, penggalan lirik lagu rohani "Bahasa Cinta" itu", yang disuarakan lebih dari 1.000 peserta “Surabaya Guyub” di GKI, Jalan Diponegoro, Jumat (18/5/2018) malam, adalah pengampunan terhadap pelaku teror bom yang merenggut nyawa 13 umat, dan melukai hampir 50 jiwa. Seusai lagu rohani itu dilantunkan "Satu Nusa Satu Bangsa" karya Liberty Manik. Penggalan liriknya, Nusa Bangsa dan Bahasa. Kita Bela Bersama. Bahwa teror bom tidak akan mampu meruntuhkan persatuan dan kesatuan rakyat.
Teror bom pada Minggu oleh Dita Oeprianto (48)-Puji Iswati (43), melibatkan dua putra mereka yakni YF (18) dan FH (16) dan dua putri mereka yakni FS (12) dan FR (9). Sekeluarga ini tewas secara mengerikan dalam aksi horor berdarah sebelum pukul 08.00 WIB itu. Senin, dengan nekat, bom diledakkan oleh Tri Murtono (50)-Tri Ernawati (43) yang mengabaikan nalar kemanusiaan turut melibatkan dua putra mereka yakni DAM (18) dan DSM (14) serta putri tunggal AAP (7). Insiden menjelang pukul 09.00 WIB itu menewaskan sekeluarga dengan kondisi mengerikan, kecuali AAP yang secara ajaib selamat dan kini dirawat di RS Bhayangkara HS Samsoeri Mertojoso (RS Polda Jatim).
Teror bom meninggalkan ruang duka yang amat dalam terutama bagi para korban. Terorisme jelas perlu dilawan dengan cara tidak menyerah pada keadaan. Agar para korban tidak terus larut dalam nestapa, mereka perlu dikuatkan. Komunitas Kong Hu Cu, Pencak Silat NU Pagar Nusa, Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU, Kejawen, Forum Kerukunan Umat Beragama, Gusdurian, Bonek atau pendukung Persebaya Surabaya, relawan partai politik, dan akademisi kampus bergandengan tangan mendorong Surabaya Guyub.
“Teror juga meninggalkan kesan bias terhadap umat muslim yang dilihat dari cara berpakaian. Kami hadir dan meyakinkan seluruh saudara nasrani bahwa kejahatan tidak bisa dilihat dari cara berpakaian yang sama dengan pelaku teror bom. Ini cara kami untuk pemulihan trauma,” ujar Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi Aan Anshori, seusai Surabaya Guyub. Mereka mengecam dan mengutuk teror bom terhadap masyarakat. Negara tidak boleh kalah dengan terorisme, dan publik jangan menyerah untuk memeranginya.
Pengurus GKI Jalan Diponegoro Daniel HG mengatakan, Indonesia amat besar. Nusantara terlalu besar untuk dikalahkan terorisme. Sulit diterima akal jika muncul kebencian antarkelompok. “Warga disadarkan bahwa terorisme dilakukan segelintir orang sehingga tidak mewakili sikap seluruh umat dalam kelompok agama tertentu,” katanya.
Di Gereja SMTB, Jalan Ngagel Madya, pertemuan serupa digelar bertepatan dengan misa Sabtu (19/5/2018) malam. Pastor Kepala Paroki SMTB RD Alexius Kurdo Irianto, masih amat terpukul oleh teror bom yang menewaskan enam umat Gereja Katolik itu. Namun, ia sadar bahwa kesedihan tak boleh berlarut. Korban harus dikuatkan agar dapat tabah dan sabar menerima kenyataan dan bangkit untuk masa depan.
Memendam kekaguman
Saat bertemu para korban, Kurdo merasa nelangsa sekaligus memendam kekaguman luar biasa. Kurdo tak menyangka keluarga dan korban yang selamat, meski terluka parah bersedia mengampuni bahkan mendoakan pelaku teror bom. Padahal, mereka tentu terus bertanya dan menggugat, mengapa harus jadi korban kekejian pada Minggu yang cerah itu. Namun, umat berkekuatan hati yang agung untuk memaafkan dan mengampuni pelaku teror bom.
“Wenny Angelina, umat kita yang kehilangan dua putranya dan terluka parah akibat teror bom itu telah memaafkan para pelaku. Ini benar-benar merupakan peristiwa iman,” ujar Kurdo dalam khotbah ekaristi perayaan Pentakosta. Misa itu juga dipersembahkan untuk memperingati sepekan teror bom yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional.
Di samping altar dipajang enam foto korban tewas yakni koordinator relawan keamanan Aloysius Bayu Rendra Wardana, dua anak lelaki yakni Vincentius Evan Hudoyo dan Nathanael Ethan Hudoyo (putra Wenny Angelina), Mayawati, Liem Gwat Nie, dan Ciska Eddy Handoko.
Misa itu dihadiri secara penuh oleh umat. Bahkan, umat disambut kalangan warga komunitas lintas agama. Rahadi (26) dari Akar Teki Surabaya berdiri di depan pintu gereja dengan bersarung cokelat, berbaju koko, dan bersongkok putih. Dengan senyum dan keramahan, Rahadi membantu petugas gereja membagikan buku panduan misa kepada umat sebelum ekaristi. “Saya sengaja berpakaian seperti ini untuk menunjukkan bahwa saya Islam. Hari ini saya hadir, menyambut, dan menjaga saudara-saudara saya umat Katolik yang akan beribadah,” katanya.
Tak kuasa minta maaf
Di akhir misa, Haris Teguh dari komunitas Gusdurian berbicara di depan umat. Di depan altar dan dilihat ratusan mata termasuk keluarga korban yang duduk di barisan kursi terdepan, perempuan berkurudung itu menyampaikan pengakuan.
Dengan terisak, Haris bilang teror bom membuatnya amat terpukul. Ia merasa rumahnya sendiri yang dibom. Gereja Katolik di Jalan Ngagel Madya itu bukan tempat yang asing baginya. Di sanalah Haris kerap bercengkerama dengan para pemuka dan pemuda gereja tentang keragaman dan toleransi, bahkan sekadar menumpang makan jika perut kosong.
“Saya malu. Saya tidak kuat lagi untuk meminta maaf. Lagi-lagi atribut agama yang digunakan untuk melukai dan menyakiti umat lain. Di satu sisi, saya dan teman-teman sedang giat mengajak pemuda Islam untuk berelasi dengan umat lain. Namun, di sisi lain …,” ujarnya, yang gagal melanjutkan kalimat karena sedih.
Haris kemudian meneruskan, kehadirannya dan rekan-rekan Muslim untuk menguatkan dan mendoakan para korban. Semoga tidak muncul stigma negatif terhadap kelompok masyarakat beragama dari cara berpakaian. Mereka amat kagum dengan kekuatan iman umat yang berusaha dan bersedia memaafkan dan mendoakan pelaku teror bom. Bisa diyakini bahwa pengampunan adalah bahasa cinta agar manusia dekat dengan Sang Pencipta.
Semangat serupa juga muncul di Malang. Ratusan warga dari sejumlah organisasi kepemudaan, mahasiswa, tokoh agama, pemerintah daerah, dan TNI-Polri di Kota Malang, Minggu, mengikuti Apel Kesiapsiagaan dan Deklarasi Menjaga Malang Kondusif dari Radikalisme dan Terorisme.
Dalam deklarasi yang dibacakan bersama, mereka menyatakan rasa bela sungkawa kepada para korban serangan teroris di Mako Brimob, Surabaya, dan Polda Riau. Mereka juga mengutuk keras segala bentuk terorisme, dan menolak berkembangnya radikalisme.
Peserta apel juga menyatakan dukungannya kepada pemerintah, TNI, dan Polri, dalam menanggulangi radikalisme, dan pencegahan terorisme. Siap melaksanakan pilkada secara aman, serta siap memertahankan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
“Para pendiri bangsa, kiai, ulama, dan cendekiawan bangsa sepakat menempatkan nilai Ketuhanan menjadi sila pertama Pancasila dan kemanusiaan pada sila kedua karena nilai agama selalu berdampingan dengan kemanusiaan,” ujar Pejabat Sementara Wali Kota Malang, Wahid Wahyudi yang menjadi pembina apel.