Jaringan Teroris Mulai Menyasar ke Timur Indonesia
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaringan terorisme di Indonesia kini tidak hanya fokus berkembang di Jawa dan Sumatera, tetapi juga sudah mulai menyebar ke daerah lain, seperti wilayah Indonesia timur. Adanya seruan serta tertangkapnya tokoh-tokoh penting dari kelompok ini membuat teroris semakin aktif untuk mengembangkan jaringannya.
Hal itu dikatakan Direktur Penegakan Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Martinus Hukom dalam forum diskusi ”Dinamika Ancaman Terorisme: Ideologi, Jejaring dan Strategi” yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (21/5/2018).
Ia menyebutkan, saat ini BNPT mulai banyak mendeteksi dan menemukan jaringan teroris di wilayah Indonesia timur.
Saat ini BNPT mulai banyak mendeteksi dan menemukan jaringan teroris di wilayah Indonesia timur.
”Beberapa bulan lalu kami tidak menemukan jaringan teroris di Papua. Namun, sekarang mereka mulai membangun jaringan di Papua dan daerah timur lainnya. Berkembangnya jaringan teroris tidak terlepas dari penangkapan pemimpin-pemimpin kelompoknya,” ujar Hukom.
Jaringan teroris yang ada di Indonesia berawal dari kelompok Darul Islam atau Negara Islam Indonesia. Pada 1 Januari 1993, kelompok Darul Islam terpecah dan mulai berkembang jaringan-jaringan teroris seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), dan Jamaah Anshorut Syariah (JAS).
Menurut Hukom, terdapat 13 tokoh JAD yang berada di dalam penjara, termasuk pemimpin atau Amir JAD Indonesia Aman Abdurrahman. Tim Densus 88 Antiteror juga telah menangkap pemimpin JAD wilayah Indonesia timur, antara lain Iskandar yang merupakan Amir JAD Nusa Tenggara dan Abu Taubah, Amir JAD Papua.
Ditangkapnya para pemimpin kelompok JAD ini juga menjadi pemicu serangan bom beruntun di Surabaya, Jawa Timur. Pascainsiden tersebut, sebanyak 58 terduga teroris dari wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera, DKI, dan Banten ditangkap.
Saat ini, jumlah total teroris yang ditangkap tim Densus 88 Antiteror dalam rangka pencegahan mencapai 368 orang.
Seruan NIIS
Hukom menyatakan, selain penangkapan para pemimpin kelompok tersebut, merebaknya aksi teror di Indonesia saat ini didorong oleh seruan dari pimpinan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Hal ini karena mayoritas jaringan teroris di Indonesia telah berbaiat (bersumpah) kepada NIIS.
”Kami terus mengamati setiap WNI (warga negara Indonesia) yang pergi atau pulang dari Suriah. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah WNI melakukan aksi terorisme di luar negeri atau menjadi foreign terrorist fighter,” tuturnya.
Menurut catatan BNPT, sebanyak 590 WNI saat ini masih berada di Suriah dan Irak. Adapun 539 WNI telah dideportasi oleh pemerintah luar negeri karena terkait foreign terrorist fighter atau melakukan aksi terorisme, sedangkan WNI yang tewas di Suriah dan Irak berjumlah 103 orang.
Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib mengatakan, setiap orang atau jaringan teroris yang telah berbaiat kepada NIIS akan sangat berbahaya karena dapat memberikan pengaruh kuat kepada sel-sel terorisme di Indonesia.
”Salah satu contoh bahaya orang yang telah berbaiat kepada NIIS ialah Aman Abdurrahman. Dia tetap dapat memengaruhi teroris-teroris lain untuk melakukan perekrutan ataupun penyerangan bahkan pada saat dia dipenjara dan dalam pengawasan polisi,” tutur Habib.
Oleh karena itu, menurut Habib, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan layak menuntut Aman dengan hukuman mati. Hal ini bertujuan agar pengaruh NIIS yang dibawa Aman tidak semakin menyebar dan mengkhawatirkan masyarakat.
Keterlibatan perempuan
Kepala tim peneliti intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan Indonesia pada CSIS, Fitriani, mengatakan, pengaruh NIIS tidak hanya merambah ke kaum laki-laki, tetapi juga perempuan.
”Pola jaringan teroris di Indonesia saat ini sudah berubah dan susah diprediksi. Kini perempuan tidak hanya berperan sebagai mediator, tetapi juga sebagai eksekutor. Contohnya, penusukan oleh dua perempuan di Mako Brimob dan pengeboman di Surabaya,” ujar Fitriani.
Menurut Fitriani, aksi teror atau radikalisme yang dilakukan perempuan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat sejak 2009 hingga 2018 sudah terjadi 16 insiden atau aksi teror yang dilakukan perempuan.
Fitriani menyebutkan, pola jaringan yang sudah berubah dan susah diprediksi membuat aparat kepolisian, intelijen, dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi teror khususnya pada bulan Ramadhan.
Pola jaringan yang sudah berubah dan susah diprediksi membuat aparat kepolisian, intelijen, dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap aksi teror khususnya pada bulan Ramadhan.
Hal ini karena teroris menganggap pengeboman atau penyerangan menjelang dan saat bulan Ramadhan merupakan tindakan amaliyah dengan balasan kebaikan yang sangat besar.