“Aku enggak jadi ke rumahmu ya, wedi (takut) ada bom-boman,” kata seorang teman melalui aplikasi pesan, Rabu (16/5/2018). Dia memutuskan, hari itu membatalkan semua kegiatan dan tinggal di rumah saja.
Pekan kemarin, tak pelak lagi seperti juga masyarakat di kota lainnya, nyali warga Ibu Kota digedor oleh aksi terorisme. Kejadian bom bunuh diri di tempat ibadah, penyerangan terhadap Markas Polres Kota Besar Surabaya, maupun Polda Riau menegangkan masyarakat.
Ketegangan bukan melulu dialami oleh mereka yang berada di sekitar kejadian. Akan tetapi juga bagi warga masyarakat lainnya. Pesan berantai di berbagai grup ngobrol (chatting room) Whatsapp pun penuh dengan gambar, video, maupun update kejadian tersebut. Pesan-pesan tersebut campur baur, entah berasal dari mana, serta tidak jelas kebenarannya karena seringkali tidak terkonfirmasi.
Aksi-aksi terorisme itu terasa sangat dekat bagi masyarakat. Apalagi siaran televisi pun terus menerus menayangkan kejadian menyeramkan secara langsung.
Seperti sebuah kebetulan, kejadian menegangkan urat syarat tersebut terjadi di bulan Mei. Bulan ini menjadi trauma bagi sebagian besar warga Jakarta mengingat kejadian 20 tahun lalu, sebuah peristiwa kerusuhan dan penjarahan di Ibu Kota yang kemudian dikenal dengan Kerusuhan Mei 1998. Kejadian itu merupakan puncak dari aksi massa yang menuntut penguasa Orde Baru, Soeharto, turun dari kursi kepresidenan. Pada 13-14 Mei 1998, aksi massa tak terkendali dan menjelma menjadi kerusuhan dan penjarahan di hampir semua kawasan Ibu Kota.
Saat itu pula, masyarakat di komplek-komplek perumahan bahu-membahu melakukan siskamling (sistem keamanan lingkungan). Mereka secara bergiliran berjaga untuk mengamankan kompleknya. Setiap tamu atau warga tak dikenal yang masuk ke perumahan ditanyai identitasnya.
Dalam perkembangannya, atas nama keamanan lingkungan, tumbuh perumahan-perumahan dengan sistem keamanan tersendiri. Pihak pengembang secara kreatif menjual perumahan cluster dengan pengamanan berlapis, yang konon menjamin rasa aman penghuninya. Sementara warga lainnya mencoba membentengi kompleknya dengan memasang portal maupun gerbang-gerbang pengaman.
Pengamanan secara fisik seperti itu rupanya dibarengi dengan semakin kuatnya gaya hidup individualistis. Para penghuni perumahan baru yang umumnya para pendatang itu melahirkan karakter yang berbeda dengan perkampungan atau komplek lama. Kehidupan bertetangga pun nyaris luntur dan hampir tidak ada. Bukan rahasia lagi jika antar tetangga tidak saling mengenal, karena menegur pun tidak. Jadi, berada di antara tetangga tanpa diketahui sebagai teroris, bukan hal aneh pula.
Terkait terorisme, tertanggal 17 Mei 2018, Mendagri Tjahjo Kumolo menerbitkan surat edaran agar siskamling kembali dihidupkan melalui ronda sampai tingkat RT/RW. Karena terkait terorisme, bisalah disebut "siskamlingter". "Serta mengaktifkan wajib lapor 1x24 jam bagi tamu kepada pengurus RT/RW di lingkungannya," kata surat edaran itu. Masalahnya, jangankan lapor, warga aja banyak yang tak kenal siapa ketua RT/RW-nya!