JAKARTA, KOMPAS — Salah satu alasan pelibatan anggota keluarga dalam aksi terorisme, yaitu untuk mempermudah perekrutan. Keluarga dianggap dapat dipercaya dan memiliki komitmen untuk mendukung satu sama lain.
Pada kasus pengeboman tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, 13 Mei 2018, aksi terorisme dilakukan Dita Oepriarto bersama dengan istri dan keempat anaknya. Hal itu juga terjadi pada bom Bali pada 2002, para pelaku merupakan kakak beradik, yaitu Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron.
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina Ihsan Ali Fauzi, Jumat (18/5/2018) di Jakarta, mengatakan, penggunaan anggota keluarga dalam aksi terorisme karena semakin tingginya pengawasan dari aparat keamanan.
”Penggunaan anggota keluarga dalam aksi terorisme karena setiap anggota keluarga dipercaya tidak akan saling menjatuhkan,” kata Ihsan dalam diskusi tentang keterlibatan keluarga dalam terorisme, Jumat (18/5/2018).
Di sisi lain, salah satu keluarga biasanya akan mengikuti jejak anggota keluarga lainnya. Ihsan mengambil contoh pada kasus bom Bali. Mantan kepala instruktur perakitan bom Jemaah Islamiyah (JI) Jawa Timur tertarik masuk dalam jaringan teroris karena melihat sosok kakaknya, Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron.
Ihsan mengatakan, proses radikalisasi dan deradikalisasi sangat cepat berkembang di dalam keluarga. Lebih buruknya lagi, ketika salah satu anggota keluarga ingin keluar dari jaringan tersebut, ia akan dianggap sebagai musuh.
Director of the Center for Religious and Cross Cultural Studies Universitas Gadjah Mada Zainal Abidin Bagir mengatakan, kepercayaan pada seseorang memiliki pengaruh besar dalam pola pikir manusia. Ia menjelaskan, seseorang akan mengikuti jejak orang yang telah berpengaruh dalam hidupnya.
Peneliti Pusad Paramadina Dyah Ayu Kartika mengatakan, salah satu cara yang dilakukan teroris untuk memperkuat jaringan adalah dengan pernikahan. Ikatan pernikahan tersebut dapat berguna untuk menghindari perbedaan pandangan. Selain itu, ikatan keluarga juga dapat memperkokoh hubungan yang sudah terjalin.
Adapun mekanisme radikalisasi keluarga, yaitu setiap anggota keluarga memiliki keyakinan yang sama dan membentuk identitas kolektif. Keluarga juga dapat berguna untuk meminimalisasi resistensi dan pengkhianatan.
”Dalam proses radikalisasi keluarga dibutuhkan rasa percaya dan komitmen,” kata Dyah.
Ia menjelaskan, proses perekrutan kelompok yang sudah terbentuk sebelumnya akan lebih mudah karena ada tekanan sosial. Di dalam sebuah keluarga ada ikatan yang membuat seseorang khawatir ditinggalkan dan keinginan untuk terus menjaga relasi.
Perempuan
Ihsan mengatakan, seiring dengan ketatnya pengawasan aparat keamanan terhadap aksi terorisme, penggunaan perempuan dan anak juga berfungsi untuk mempermudah proses perekrutan. Apalagi, perempuan dan anak dapat mengelabui aparat keamanan.
”Ada satu pandangan di dalam masyarakat, tidak etis memeriksa seluruh bagian tubuh perempuan,” kata Ihsan.
Dalam aksi terorisme, mereka ingin menarik perhatian orang. Salah satu cara untuk meningkatkan perhatian tersebut adalah dengan melibatkan perempuan yang dipandang sebagai makhluk yang lemah.
Ihsan mengatakan, semakin muda dan cantik perempuan tersebut, akan semakin menarik perhatian orang untuk terlibat dalam aksi terorisme.