Sekelompok warga mengajukan somasi terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas terus memburuknya kualitas udara Jakarta. Pengendalian pencemaran udara dinilai gagal.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin mengatakan, dalam sepekan terakhir, kualitas udara Jakarta dalam ambang sangat buruk untuk kesehatan manusia. Indeks partikel debu halus berukuran 2,5 mikron ke bawah (PM 2,5) sempat mencapai 136 mikron gram per meter kubik (ug/m3).
Sementara Pemerintah Indonesia menetapkan ambang batas sehat PM 2,5 maksimal 50 ug/m3. Dalam kategori internasional, PM 2,5 136 ug/m3 itu termasuk dalam kategori tidak sehat untuk kelompok rentan.
“Partikel debu halus ini tidak bisa lagi disaring, langsung masuk ke dalam tubuh manusia sehingga sangat berbahaya,” katanya saat mengajukan somasi dan klarifikasi ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Menurut Ahmad, selain PM 2,5, tingkat PM 10 atau partikel debu berukuran 10 mikron di udara Jakarta pun sangat tinggi. Rata-rata, PM 10 di Jakarta sebesar 65-70 ug/m3. Bahkan, bisa mencapai 125-130 mikron gram per meter kubik.
Somasi diberikan karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai belum efektif melaksanakan 36 peraturan untuk mengendalikan pencemaran udara, dari Undang-Undang hingga peraturan gubenur.
Penegakan hukum dinilai nyaris belum ada terkait pengendalian pencemaran udara. Aturan ambang batas emisi kendaraan bermotor serta kewajiban menjalani uji emisi juga belum dilaksanakan. “Setelah tiga kali somasi tidak ada tanggapan, kami akan ajukan gugatan,” kata kuasa hukum Lukmanul Hakim.
Kendaraan bermotor
Dari pantauan kualitas udara dunia, pada Kamis sore, kualitas udara DKI Jakarta sempat berada di peringkat 9 paling tidak sehat di dunia dengan PM 2,5 sebesar 98. Adapun peringkat pertama adalah Ankara, Turki dengan indeks PM 2,5 429. Indeks ini berubah setiap waktu, sesuai kondisi.
Ahmad mengatakan, polusi udara di Jakarta paling banyak disumbang kendaraan bermotor sebesar 47 persen, industri sebesar 23 persen, rumah tangga sebesar 11 persen, serta sisanya debu jalanan, pembakaran sampah dan konstruksi.
Industri yang paling banyak menyumbang pencemaran udara Jakarta adalah peleburan baja dan industri skala kecil seperti daur ulang kemasan alumunium dan aki bekas. “Ini menghasilkan pencemaran udara yang sangat tinggi,” katanya.
Dalam kurun waktu 2012-2017, warga Jakarta hanya bisa menikmati udara dalam kategori baik selama 26-76 hari saja tergantung dari lokasi. Kondisi lebih buruk dari daerah yang langganan terdampak kebakaran hutan di Sumatera maupun Kalimantan. Sebab, kebakaran hutan hanya berdampak sementara, sementara Jakarta hampir sepanjang tahun mengalami kualitas udara buruk.
Dampaknya, kata Ahmad, banyak warga Jakarta terpapar penyakit terkait pencemaran udara. Pada 2010 tercatat 57,8 persen warga DKI Jakarta terpapar penyakit terkait pencemaran udara dengan biaya kesehatan mencapai Rp 38,5 triliun.
“Pencemaran udara bisa berdampak seperti ISPA, asma, radang paru-paru, penyempitan saluran pernafasan hingga cacat mental karena paparan sejak kecil,” katanya.
Ramah lingkungan
Wakil Gubenur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, informasi bahwa kualitas udara Jakarta salah satu yang terburuk di dunia tengah berusaha diatasi dengan berbagai kebijakan.
Salah satunya adalah mendorong bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan yang diluncurkan dalam program Langit Biru yang dilaksanakan oleh PT Jakarta Propertindo.
Terdapat pula wacana untuk mengeluarkan peringatan kesehatan resmi terkait kualitas udara Jakarta, apakah masih aman untuk olahraga atau tidak. Pihaknya tengah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta untuk mengeluarkan peringatan kesehatan tersebut.
“Apakah kita harus mengeluarkan health advisory yaitu dengan kualitas udara yang buruk ini apakah masih dianjurkan untuk orang-orang seperti saya berolahraga di luar seperti lari pagi dan bersepeda. Kalau olahraga di luar ‘kan mengambil oksigen banyak sekali. Kalau jalan, mungkin tidak terpengaruh,” katanya.