Konferensi pers tentang penerbitan aturan baru soal akreditasi jurnal ilmiah. Pengeloaan akreditasi kini satu pintu lewat Kemristek dan Dikti. Sebelumnya ada dua lembaga yang mengelola yakni LIPI dan Kemristek dan Dikti.
JAKARTA, KOMPAS — Publikasi ilmiah internasional terus didorong agar pada 2019 Indonesia bisa berada di peringkat teratas di kawasan Asia Tenggara. Namun, peningkatan jumlah publikasi ilmiah internasional dari para peneliti masih terkendala minimnya jumlah jurnal ilmiah terakreditasi internasional milik Indonesia.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dalam acara Peluncuran Permenristek dan Dikti Nomor 9 Tahun 2018 tentang Akreditasi Jurnal Ilmiah, di Jakarta, Kamis (17/5/2018), mengatakan, indikator jumlah publikasi ilmiah penting jika Indonesia hendak menjadi negara maju. Publikasi ilmiah ini sebagai bukti hasil riset yang diarahkan untuk melahirkan inovasi demi mendongkrak daya saing bangsa.
”Berbagai hambatan dalam riset terus kita atasi. Termasuk pula membenahi akreditasi jurnal ilmiah agar lebih banyak yang bereputasi internasional,” kata Nasir.
Menurut Nasir, jumlah jurnal ilmiah yang terindeks Scopus baru 37 buah dan itu hanya mampu menampung 1.100 publikasi. Padahal, publikasi internasional para peneliti Indonesia yang terindeks Scopus pada 8 Mei lalu sudah terdata sebanyak 8.269 publikasi. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Malaysia (8.721). Adapun Singapura di urutan ketiga dengan 6.825, publikasi, serta Vietnam di urutan ke-4 dengan (6.414 publikasi).
Dengan payung hukum soal akreditasi jurnal ilmiah, ujar Nasir, dualisme akreditasi tidak terjadi lagi. Sekarang sudah terpusat di bawah Kemristek dan Dikti. Akreditasi yang selama ini hanya dua peringkat (terakreditasi A/internasional dan B/nasional) dinaikkan jadi enam peringkat, yakni S1 (bereputasi internasional) dan S2-S6 bereputasi nasional.
”Pendekatan akreditasi juga dengan niat untuk pembinaan. Jadi, kita dorong agar yang terakreditasi di bawah S1 bisa semakin naik,” ujar Nasir.
Ketentuan baru mengatur lembaga akreditasi jurnal ada di bawah Kemristek dan Dikti, masa berlaku akreditasi 5 tahun, proses akreditasi menjadi enam kali per tahun dari yang awalnya dua kali. Selain itu, akreditasi jurnal menjadi instrumen pengukuran kinerja riset melalui Science and Technolgy Indeks (Sinta), disediakan cloud open journal systems (Rumah Jurnal Keilmuan-Rujukan).
Disediakan pula akses basis data e-jurnal berlangganan gratis, serta terdapat enam peringkat akreditasi (semula dua peringkat).
Timpang
Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemristek dan Dikti Muhammad Dimyati mengatakan, jumlah jurnal ilmiah yang memiliki ISSN (Nomor Seri Standar Internasional) sebanyak 51.158 jurnal. Namun, yang terakreditasi baru 1.682 jurnal. Padahal, kebutuhan jurnal terakreditasi dengan adanya kebijakan wajib publikasi bagi dosen ataupun mahasiswa pascasarjana sekitar 7.817 jurnal.
Kepala LIPI Bambang Subiyanto mengatakan, dengan ketentuan akreditasi yang baru, para dosen pun dapat mengisi jurnal ilmiah yang diterbitkan lembaga penelitian dan pengembangan. ”Dulu, Kemristek dan Dikti tidak memberikan pengakuan untuk publikasi dosen di jurnal yang diakreditasi LIPI,” kata Bambang. (ELN)