JAKARTA, KOMPAS— Proses radikalisasi yang tumbuh dalam keluarga lebih sulit dipantau dan dikendalikan. Namun, itu bisa dicegah dengan proses deradikalisasi menyeluruh dan sejak dini, baik dari keluarga asal sebelum terbentuknya keluarga baru, lingkungan sekitar, hingga lembaga pendidikan.
Jika selama ini kampanye pembangunan keluarga bertumpu pada pembentukan keluarga yang terencana dan berketahanan, maka keluarga pelaku teror dalam dua kasus terorisme di Surabaya pada 13-14 Mei 2018 adalah contoh keluarga terencana dan tahan. Namun, arah mereka keliru.
"Pelibatan keluarga untuk melakukan teror menunjukkan proses ideologisasi (jihad) sudah tertanam secara intens dalam keluarga," kata dosen dan peneliti psikologi terorisme di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mirra Noor Milla di Jakarta, Rabu (16/5/2018). Tujuannya, agar seluruh anggota keluarga syahid bersama.
Bom bunuh diri pertama di Surabaya, Minggu (13/5/2018), dilakukan satu keluarga yang terdiri atas suami, istri dan empat anak. Sedang bom bunuh diri kedua, Senin (14/5/2018), dilakukan sepasang suami istri dengan tiga anak.
Menurut Mirra, pelibatan satu keluarga dalam aksi teror adalah sesutau yang baru. Selama ini, proses radikalisasi berlangsung dalam kelompok, bukan keluarga, dengan batasan jelas siapa yang wajib jihad. Dalam kelompok itu, umumnya perempuan dan anak tidak wajib jihad.
"Kemungkinan terjadi pergeseran ideologi terkait fatwa jihad bagi perempuan dan anak," katanya. Namun, fatwa itu bukan ijmak (kesepakatan) di kalangan pemimpin kelompok teror.
Pelibatan perempuan dan anak dalam melakukan teror itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ide jihad dengan dukungan faktor-faktor personal yang kuat, seperti suami-istri yang menikah karena keinginan jihad bersama dan keluarga yang memiliki relasi antaranggota keluarga kuat.
Bisa juga, keluarga dipilih untuk melakukan teror karena terbatasnya relasi dalam jaringan sehingga menggunakan sumber daya sendiri yang dikuasai, yaitu keluarga.
Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor, Diah Krisnatuti mengatakan keluarga pelaku teror merupakan contoh keluarga yang terencana dan berketahanan meski arahnya negatif. Mereka mampu menanamkan nilai jihad yang sama pada seluruh anggota keluarga dan menolak hal-hal dari lingkungan yang menurut mereka bisa mengganggu nilai-nilai keluarga mereka.
Di sisi lain, terbentuknya keluarga pelaku teror juga bisa terbentuk karena adanya peran ibu yang sangat kuat, bahkan mampu melakukan aksi teror sendiri bersama dua anaknya seperti dalam kasus teror pertama di Surabaya, Minggu (13/5/2018). Jika ibu tidak sepakat, maka keluarga teroris itu tidak akan terbentuk. "The power of emak-emak nyata dalam kasus ini," katanya.
Terbentuknya ibu sebagai pelaku teror bisa dengan berbagai macam cara, mulai dari karena pengaruh suaminya yang telah jadi radikal lebih dulu atau memang sejak awal calon ibu itu telah memiliki ideologi yang sama dengan calon suaminya alias menikah atau dinikahkan dengan sesama anggota jaringan teror. Namun, bisa pula calon istri yang jadi radikal terlebih dulu.
"Model pernikahan dengan tujuan jihad bersama itu hanya bisa dicegah jika kelompok-kelompok teror tersebut dihancurkan," tambah Mirra.
Selain itu, pemberdayaan perempuan perlu dilakukan lebih masif sehingga perempuan-perempuan pelaku teror lebih berdaya dan memiliki alternatif identitas untuk memenuhi kebermaknaannya sehingga tidak bergabung dalam kelompok-kelompok radikal. Pemberdayaan itu juga akan membuat perempuan memiliki akses untuk lebih mengembangkan otonomi diri hingga mampu membuat pertimbangan dan keputusan yang terbaik untuk dirinya.
Pengembangan otonomi diri perempuan itu dinilai Mirra lebih mungkin dilakukan daripada menuntut kesetaraan suami-istri dalam keluarga. Kesetaraan suami-istri itu sulit terwujud karena sudah ada pakemnya dalam ajaran agama bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan dalam keluarga.
Diah menambahkan, dalam lingkup budaya patriarki seperti di Indonesia, kesetaraan suami dan istri sulit diwujudkan. Dalam keluarga atau rumah tangga, suami adalah panutan dan penentu utama. Sedangkan ibu, sering diposisikan harus selalu mengikuti keinginan suami. "Orang Jawa punya filosofi, swarga nunut neraka katut (suami ke surga, istri ikut menumpang dan suami ke neraka, istri pun ikut," katanya.
Namun, kesetaraan suami-istri itu tetap perlu dicermati. Keluarga teroris pun bisa terbentuk jika suami dan istri memiliki kesetaraan karena mereka mempunyai ide yang sama tentang jihad dan bercita-cita ingin syahid bersama.
Kondisi itu membuat pencegahan terbentuknya keluarga teroris harus dilakukan sejak dari keluarga awal. Dengan demikian, deradikalisasi harus dilakukan sejak dini dengan penumbuhan kasih sayang dan perhatian orang tua secara terus menerus sesuai usia perkembangan anak.
Perhatian orangtua itu juga harus dilakukan ketika anak menginjak usia dewasa atau ketika akan menikah dengan memperhatikan calon menantu secara seksama, memperhatikan jejak rekamnya dengan baik, bukan sekedar calon menantu yang menunjukkan kesalehan semata. Hal ini perlu diperhatikan karena banyak orangtua tidak bisa berbuat banyak ketika anaknya sudah menikah karena anaknya berubah menjadi radikal mengikuti pasangannya. (MZW)