Meretas Dominasi Mesin Impor
Berbekal kreativitas, anak negeri melahirkan beragam mesin kopi inovatif. Karya cipta mereka menyemarakkan pasar Nusantara. Semua karena kegelisahan yang sama: mesin impor sangatlah mahal.
Kesal dengan mahalnya harga satu unit mesin espreso dari luar negeri, Irawan Halim, pensiunan teknisi mesin di jaringan kafe nasional, menciptakan mesin manual. Mesin itu diberi nama Redpresso. Caranya hanya memanfaatkan alat pemeras jeruk yang dimodifikasi bersistem tekanan.
Dengan tambahan tabung dan alat penekan, espreso manual itu beroperasi. Memasukkan bubuk kopi dalam tabung. Tambahkan air panas, lalu tekan. Dalam sekejap, seduhan espreso siap dinikmati. Di permukaan gelas, ”krema” (emulsi kopi) yang muncul cukup tebal.
Halim juga membuat busa (foaming) susu manual. Ia terinspirasi mocca pot yang biasa dipakai menyeduh kopi. Agar bisa berfungsi sebagai pembuat busa, mocca pot dimodifikasi dengan memakai tekanan. Corong pipa dibuat lebih panjang untuk memudahkan proses tuang.
Saat hendak menyajikan, mocca pot cukup dipanaskan sampai tekanannya cukup. Setelah itu, uap panas langsung diembuskan di cangkir susu sampai berbusa. Ketika busa sudah menebal, susu tinggal dituang ke espreso, jadilah capucino.
Meski sederhana, temuan Halim esensial dan murah. Alatnya tak perlu tersambung ke listrik karena dijalankan manual. Harganya Rp 6 jutaan sepasang, jauh lebih murah dibandingkan yang diimpor seharga Rp 100 juta.
Noor Asif (45), warga Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, juga membuat mesin espreso bernama Black Answerd. Selain beroperasi tanpa bertekanan tinggi, mesin ini juga berfungsi sebagai pemanas susu(milk steamer). ”Dengan punya satu alat, bisa mendapatkan dua fungsi sekaligus,” ujar Asif.
Berkat media sosial, alatnya dikenal. Peminat pun datang. Satu unit Black Answerd dihargai Rp 3 juta, sudah termasuk penyaring dan alat pemadat bubuk kopi. Sejak awal 2017, hampir 200 unit terjual ke seluruh Indonesia. Black Answerd juga ditawar sejumlah investor dari Amerika Serikat dan Australia.
Mesin lebih canggih dikreasikan Franky Angkawijaya. Pemilik sekolah barista ini mempunyai bisnis mesin kopi espreso dengan merek Asterion. Asterion merupakan mesin espreso yang menggabungkan konsep dua tipe mesin, berpiston manual dan semi-otomatis. Dengan sejumlah rangkaian fitur, mesin itu dapat menghasilkan kekentalan espreso yang konsisten. Inovasi penggabungan konsep dalam satu mesin ini diklaim sebagai yang pertama di dunia.
Mesin sangrai
Inovasi tidak hanya mewarnai mesin espreso. Di mesin sangrai, dua produsen lokal kini melempar jejak karyanya ke sejumlah daerah, bahkan di sejumlah negara. Lewat mesin sangrai, Johny Rahadi dan William Edison telah membawa nama Indonesia mendunia. Ini pun karena mahalnya harga mesin sangrai impor.
Dari hasil mesin berlabel Uncle John, Johny mematok harga lebih murah 50 persen daripada produk impor ternama. Soal kualitas, tak main-main. ”Silakan disandingkan dengan mesin impor. Bandingkan hasil uji cita rasa kopinya. Tidak kalah,” ujarnya.
Sementara William yang memulai usahanya sejak 2010 menamai mesin sangrainya W600. ”Awalnya saya ingin membuka coffee shop, tetapi kekurangan modal. Mau punya roaster harganya mahal karena barangnya impor,” kata lulusan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (Stikom) Bali itu.
William lalu mengajak Andryas alias Apang, sepupunya yang memiliki bengkel di Jakarta. Mereka membuat purwarupa mesin sangrai. Dia merancang mesin berbahan bakar elpiji.
Setelah berkali-kali eksperimen, jadilah dua jenis mesin sangrai berkapasitas 300 gram dan 1 kilogram. Saat dipajang lewat media sosial, akhir 2012, banyak orang memesannya. Kini William juga membuat mesin berkapasitas 3 kilogram, 6 kilogram, dan 12 kilogram. ”Saya pernah mengirim pesanan mesin mini coffee roaster ini ke Swiss, beberapa negara Eropa, juga ke Malaysia dan Singapura,” katanya.
Keberhasilan William dan Johny menembus pasar luar negeri mematahkan mitos Indonesia yang dikenal sekadar produsen kopi mentah. Mereka hadir menciptakan teknologi yang selama ini didominasi negara-negara industri maju, di Eropa maupun Asia Timur.
Tak hanya itu, negeri ini juga miliki desa penghasil mesin kupas (huller) biji kopi. Usaha itu telah bertahan tiga generasi. Edi Sarbin (49) adalah generasi ketiga usaha produksi mesin kupas di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Ia mewarisi kemampuan sang kakek, Kamid, selaku mekanik andalan Belanda pada perkebunan di Pagar Alam.
Perputaran uang di sentra pembuatan huller kopi ini pun terbilang besar. Dalam sebulan, nilai transaksi mencapai Rp 500 juta. Satu unit mesin huller kopi berukuran 5 PK berkapasitas 100 kilogram per jam dijual dengan harga Rp 4,2 juta adapun untuk huller tanpa mesin berkapasitas 30 PK dijual Rp 18 juta per unit.
Karya anak bangsa ini meretas dominasi mesin impor. Menciptakan karya yang diminati pasar tentu membanggakan. Mesin-mesin itu jadi bagian revolusi teknologi yang mengubah peradaban kopi di negeri ini.