Jokowi dan Angka 5 Persen
Pertumbuhan ekonomi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo cenderung stagnan di angka 5 persen. Ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,88 persen tahun 2015, 5,02 persen tahun 2016, dan 5,07 persen tahun 2017.
Pertumbuhan itu lebih rendah jika dibandingkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencapai kisaran angka 6 persen, yang dinilai sebagai pemerintahan pertama yang paling stabil pascareformasi.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi era Jokowi jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi masa pemerintahan Presiden Soeharto yang dapat mencapai angka rata-rata 8 persen.
Pengajar ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/5/2018), menyatakan, terdapat dua masalah utama yang menyebabkan perekonomian Indonesia tumbuh melambat pada masa pemerintahan Jokowi. Ia menjabarkan, faktor pertama adalah kredit perbankan yang disalurkan ke dalam negeri masih sangat rendah.
Berdasarkan data Bank Dunia, kredit domestik oleh sektor keuangan yang disalurkan tahun 2016 hanya 48 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Angka itu sangat rendah jika dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 169 persen, Malaysia 145 persen, Vietnam 140 persen, Filipina, Kamboja 59 persen.
Faktor kedua adalah semakin rendahnya penyerapan pajak sekalipun jumlah PDB terus meningkat. Data Kementerian Keuangan menyebutkan, penerimaan pajak tertinggi berada pada tahun 2008 yaitu Rp 13.300 triliun. Selama tiga tahun terakhir, penerimaan pajak turun drastis, yakni sekitar Rp 10.800 triliun tahun 2015, Rp 10.400 tahun 2016, dan Rp 9.900 triliun tahun 2017.
”Dua sumber masalah itu masih belum disentuh pemerintah,” tuturnya. Padahal, menurut dia, keduanya merupakan jantung yang memompa pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berbagai faktor lainnya juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi, baik dari internal maupun eksternal. Namun, pada dasarnya, kebijakan yang tepat dan sinergi antarlembaga menjadi kunci untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa.
Terdapat beberapa contoh di zaman pemerintahan Jokowi, di mana kebijakan dan sinergi antarlembaga masih belum tepat. Kebijakan mengimpor garam menjadi salah satu yang contoh terbaru yang diberikan oleh Faisal.
Indonesia rata-rata membutuhkan 4 juta ton garam dan hanya mampu menghasilkan 1,8 juta ton. Sisa kebutuhan diimpor dan diatur dalam peraturan pemerintah. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, jumlah garam impor yang diatur pemerintah mencapai 2,37 juta ton.
Namun, karena kebutuhan yang meningkat, jumlah garam yang diimpor akan menjadi 3,7 juta ton. Jumlah tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam karena mengancam kesejahteraan petani garam.
Selain itu, PP tersebut membuat penentu pengaturan impor garam berubah. Jika Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mengatur impor dalam UU, kini Kementerian Perindustrian yang mengatur impor dalam PP itu.
Secara umum, Faisal menilai, pemerintahan Jokowi berupaya membawa negara ke arah yang lebih baik. Namun, beberapa bidang masih perlu dibenahi, terutama ekonomi.
Berdasarkan catatan Litbang Kompas, kepuasan masyarakat pada pemerintahan Jokowi per Oktober 2017 tertinggi berada pada bidang politik dan keamanan (76,4 persen), kesejahteraan sosial (72,8 persen), dan penegakan hukum (61 persen). Adapun bidang ekonomi baru mencapai 55,2 persen.
”Kesenjangan sosial pun mulai menurun,” tuturnya. Data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) menyatakan, berdasarkan indeks gini, kesenjangan sosial tertinggi terjadi selama 2011-2014 (poin 0,41). Namun, Jokowi menurunkannya menjadi poin 0,4 tahun 2015, poin 0,39 tahun 2016-2017.
Ia membandingkan, pertumbuhan ekonomi zaman Presiden SBY terjadi dengan pesat akibat pelunasan utang negara melalui konsolidasi yang dilakukan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi pascareformasi berkisar di angka 1-5 persen.
Ditambah lagi, masa pemerintahan SBY diuntungkan dengan peningkatan harga komoditas ekspor secara global, seperti batubara dan kelapa sawit. Pendapatan Indonesia pun bertambah.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, tim yang mengatur kebijakan ekonomi bangsa termasuk solid. ”Saat itu, hanya satu partai besar yang berkuasa sehingga kebijakan yang dibuat lebih mudah diimplementasikan,” ujarnya. Kendati demikian, pengerucutan kekuasaan yang terjadi juga membuat rentan pemerintah untuk menyalahgunakan kuasa.
Konsumsi dan inflasi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menambahkan, terdapat beberapa masalah yang dapat segera dibenahi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.
Salah satu penggerak ekonomi adalah konsumsi rumah tangga. ”Sumbangannya terhadap PDB turun 4,95 persen. Seharusnya, dengan ukuran populasi kita pertumbuhan alaminya di atas 5 persen,” ujarnya ketika dihubungi.
Menurut dia, konsumsi tidak bertumbuh karena tak cukupnya lapangan kerja untuk menyerap tenaga kerja. Sekalipun ada, pekerja Indonesia masuk ke sektor informal sehingga menghasilkan pendapatan yang tak cukup dan berkelanjutan.
Inflasi yang rendah selama ini dinyatakan bukan sebagai sebagai satu-satunya indikasi melimpahnya pasokan barang. Namun, tren tersebut juga dapat mengindikasikan tidak adanya permintaan karena daya beli rendah. Akibatnya, investasi di sektor riil ikut rendah.
”Solusi yang bisa diberikan sekarang adalah tetap mengendalikan harga barang pokok dan energi,” tuturnya. Di saat yang bersamaan, pemerintah juga perlu menyediakan lapangan kerja yang bersifat berkelanjutan. Pendapatan yang cukup dan berkelanjutan secara langsung akan meningkatkan daya beli masyarakat.
Ekspor
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menambahkan, salah satu pertumbuhan ekonomi Indonesia juga bergantung pada ekspor. Data BPS menyebutkan, secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-April 2018 sebesar 58,74 miliar dollar AS atau naik 8,77 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017.
”Sudah saatnya ekspor kita melakukan diversifikasi produk dan pasar,” ujarnya. Ia mencontohkan, bahan produksi kerajinan tangan (kriya) Indonesia diminati oleh banyak negara asing. Barang tersebut dapat dibuat semakin beragam karena setiap negara memiliki ketertarikan jenis produk yang berbeda.
Selain itu, pasar ekspor nonmigas Indonesia menjadi lebih beragam. Nilai transaksi Indonesia meningkat, walaupun tidak signifikan, selama beberapa bulan terakhir ke negara Bangladesh, Filipina, Malaysia, Korea Selatan, Taiwan, dan Australia.
Hanya saja, peningkatan ekspor juga diikuti dengan bertambahnya nilai impor migas dan nonmigas. Secara kumulatif, nilai impor Januari-April 2018 naik 23,65 persen menjadi 60.053 juta dollar AS dibandingkan periode yang sama tahun 2017.
Kondisi tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia pada Januari-April 2018 defisit sebesar 1,31 miliar dollar AS. Suhariyanto menilai, hal itu perlu menjadi perhatian pemerintah.