JAKARTA, KOMPAS— Penerapan metode berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills harus diimbangi dengan kompetensi guru. Pelatihan rutin berkelanjutan bagi guru berguna untuk mengasah kemampuan praktik mengajar di kelas hingga sistem evaluasi belajar.
”Pelatihan yang dibutuhkan adalah yang konkret, bukan seminar dan presentasi materi saja,” kata Roslina Siregar, guru Biologi SMAN 1 Lubuk Dalam, Kabupaten Siak, Riau, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/5/2108).
Ia mengaku membutuhkan banyak waktu untuk mengevaluasi hasil pembelajaran siswa. Roslina mengajar Biologi di tujuh rombongan belajar yang masing-masing berisi 40 siswa. Setiap waktu luang, bahkan hingga larut malam, dia gunakan untuk mengevaluasi hasil kerja siswa dan mempersiapkan materi berikutnya.
Saat memberi tugas, Roslina meminta siswa menulis esai. Alasannya, melalui cara itu, ia bisa memetakan pemahaman siswa. Cara itu juga mencegah kemungkinan siswa mencontek. ”Kebetulan, Lubuk Dalam merupakan wilayah pertanian. Soal-soal Biologi dibuat agar mereka menganalisis masalah dengan memakai contoh fenomena di alam sekitar,” ujarnya.
Hal itu membuat siswa cepat menangkap materi. Meskipun begitu, Roslina mengatakan, pada tahap tertentu harus ditambah dengan praktik di laboratorium. Sekolah terkendala minimnya sarana laboratorium dan buku-buku.
”Buku-buku di perpustakaan sudah lama. Taman bacaan letaknya juga jauh di pusat kota,” katanya. Mengakses materi dari internet juga lamban. Maklum, lokasi sekolah sangat terpencil, berjarak 2 jam perjalanan dari ibu kota Kabupaten Siak.
Manfaatkan teknologi
Sena Okto Priankartino, guru Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi di SMAN 72 Jakarta Utara, memanfaatkan teknologi untuk melengkapi pembelajaran berbasis nalar. Ia membuat sistem dengan memanfaatkan gawai serta aplikasi telepon pintar untuk mengevaluasi hasil kerja siswa.
Di samping itu, ia juga mengemas latihan soal dalam bentuk kuis sehingga siswa tidak bosan. Sena menjelaskan, dalam pembelajaran sejarah sudah tak tepat lagi digunakan metode menghapal nama tokoh dan tanggal peristiwa. Siswa harus menganalisis terjadinya suatu kejadian bersejarah dan mengemukakan pendapat mereka. ”Latihan dalam bentuk kuis membuat siswa antusias membaca dan mencari sumber valid, selain buku teks,” tuturnya.
Pembina Matematika Yayasan Simetri Surya Wijaya—yayasan yang membina siswa SMA mengikuti olimpiade sains—menjelaskan, memberikan pembelajaran nalar tingkat tinggi masih dianggap sebagai beban oleh kebanyakan guru. Alasannya karena dalam satu rombongan belajar guru mengampu 36 hingga 40 siswa. Guru terpaku pada soal-soal Aritmatika yang rumusnya hanya satu macam agar mudah melakukan penilaian.
Misalnya, guru menanyakan cara menghitung luas persegi panjang. Rumusnya sudah baku, yakni panjang dikali lebar. ”Tingkat kesulitan ditambah dengan cara memperbesar jumlah panjang dan lebar menjadi ribuan meter ditambah bilangan pecahan. Padahal, hal ini bisa dihitung dengan kalkulator. Kalaupun dikerjakan secara manual, hanya kemampuan perkalian mendasar siswa yang terasah,” paparnya.
Namun, soal seperti ini mudah dievaluasi oleh guru karena rumusnya hanya satu dan hasil perhitungannya sudah pasti. Hal itu berbeda dengan soal penalaran.
Surya mengatakan, angka-angka dalam soal jenis itu sederhana. Misalnya, soal mengenai luas bidang 20 meter persegi. Siswa diminta mencari bentuk-bentuk bidang yang memungkinkan menghasilkan luas sebesar itu.
”Jawabannya bisa macam-macam, tergantung kreativitas siswa karena bangun bidang bisa berupa persegi panjang, bujur sangkar, lingkaran, setengah lingkaran, dan lain-lain. Yang penting siswa bisa memberi rumus perhitungan tepat untuk bidang-bidang tersebut,” tutur Surya.
Meskipun begitu, Ketua Yayasan Simetri Herry Kwee optimistis dengan pelatihan berkesinambungan, guru bisa menyadari bahwa pembelajaran berbasis nalar sebenarnya sederhana. "Intinya harus selalu dikaitkan dengan pemecahan persoalan di kehidupan sehari-hari," katanya.
Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Purwadi Sutanto mengatakan, pihaknya telah melakukan pelatihan higher order thinking skills (HOTS) secara berjenjang sejak 2016. Paling tidak sudah dilakukan di 650 SMA rujukan di berbagai wilayah. Apabila satu SMA memiliki 50 guru mata pelajaran, berarti menjangkau sekitar 32.500 guru. (DNE)