JAKARTA, KOMPAS – Kemampuan Indonesia dalam mengembangkan dan memproduksi vaksin juga produk biologi diakui dunia. Hal itu menyusul ditetapkannya Indonesia sebagai pusat unggulan atau Center of Excellence untuk vaksin dan produk bioteknologi oleh negara-negara Organisasi Kerjasama Islam atau OKI. Harapannya, kemandirian vaksin di negara-negara Islam bisa dicapai.
Penetapan Indonesia sebagai Center of Excellence (CoE) tersebut merupakan tindak lanjut resolusi pertemuan Islamic Conference of Health Ministers (ICHM) ke-6 di Jeddah, Arab Saudi, 6-7 Desember 2017. Salah satu isi resolusi itu adalah, menunjuk Indonesia sebagai CoE produk vaksin dan produk bioteknologi. Adapun peluncuran Indonesia sebagai Center of Excellence (CoE) dilakukan Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Nila mengapresiasi pencapaian ini karena tak mudah untuk dipercaya sebagai CoE. “Sebelumnya CoE dipegang Malaysia. Padahal kita memiliki PT Biofarma, kenapa bukan kita. Kita berjuang untuk itu dan akhirnya dipercaya sebagai CoE,” ujarnya usai peluncuran.
Direktur Utama PT Biofarma Rahman Roestan, menjelaskan, Indonesia merupakan negara paling maju dalam pengembangan vaksin di antara negara-negara OKI. Ada 14 produk vaksin imunisasi dasar buatan Biofarma yang diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Produk vaksin Biofarma sudah digunakan di 130 negara di dunia.
Sebenarnya, di negara anggota OKI ada Senegal yang juga diakui WHO. Namun, produk vaksin dari Senegal yang diakui WHO hanya satu, yakni vaksin untuk penyakit demam kuning (yellow fever). Vaksin ini untuk memenuhi kebutuhan negara-negara di kawasan Afrika Barat.
Saat ini, pengembangan vaksin didominasi negara-negara dari Eropa dan Amerika. Hanya ada dua negara di Asia di luar OKI yang maju dalam pengembangan vaksin, yakni China dan India. Melalui penetapan Indonesia sebagai CoE, negara-negara OKI berharap Indonesia berperan mewujudkan kemandirian vaksin bagi negara-negara Islam. “Nilai strategisnya bagi Biofarma ialah kami mengibarkan Merah Putih di tingkat global,” ujar Rahman.
Selain itu, negara-negara OKI berharap dengan adanya CoE maka respons pada kebutuhan pengembangan vaksin baru akibat munculnya wabah penyakit baru (emerging disease) dan penyakit lama yang muncul kembali (reemerging disease), seperti sindrom pernapasan Timur Tengah akibat virus korona (MERS-CoV) dan ebola, bisa lebih cepat dilakukan. “Kalau Indonesia bekerja sendiri prosesnya pasti lama. Namun kalau kita bekerja bersama para ahli dari negara lain bisa lebih cepat,” kata Rahman.
Saat ini Biofarma mengembangkan antara lain vaksin untuk diare yang disebabkan rotavirus, vaksin polio (Inactivated Polio Vaccine/ IPV) pengganti vaksin polio oral (OPV). Setelah menjadi CoE, maka ke depan kebutuhan pengembangan vaksin-vaksin penyakit MERS-CoV dan Ebola yang muncul negara OKI semakin nyata.
Kolaborasi
Oleh karena itu, Rahman berharap, ke depan terwujud kolaborasi penelitian dan pengembangan antarnegara OKI untuk menghasilkan vaksin dan produk bioteknologi. Biofarma menyiapkan ahli untuk memberi pelatihan ke negara yang ingin mempelajari proses produksi vaksin.
Selama ini laju pengembangan dan penelitian dan teknologi kesehatan lebih lambat dan tidak bisa mengikuti cepatnya perkembangan penyakit yang ada. Dampaknya dirasakan negara dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah yang masih mengalami masalah kesehatan.
Negara seperti ini akan lebih rentan terhadap wabah penyakit. Itu bisa terjadi karena kapasitas respons tak memadai selain karena kepadatan dan pertumbuhan penduduk yang tinggi serta iklim tropis menyebabkan penyebaran penyakit menular tidak dapat dihindari.
Setelah kebutuhan nasional terpenuhi Biofarma bisa membantu melatih negara Islam yang ingin belajar proses produksi vaksin. Selain itu, akan ada ketergantungan bahan setengah jadi dari Indonesia untuk diproduksi negara Islam lain. Ini berpotensi menghasilkan devisa untuk negara.
Menurut Rahman, tantangannya adalah ketersediaan basis data periset potensial yang diperlukan. Biofarma sudah berupaya mengidentifikasi mereka melalui organisasi produsen vaksin dan kementerian kesehatan setiap negara.
Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Togi Hutadjulu, menyampaikan, ditetapkannya Indonesia sebagai CoE membukakan peluang bagi Indonesia juga negara-negara OKI untuk menghasilkan produk bioteknologi yang selama ini bergantung pada produk impor. “Produk-produk ini menjadi perhatian khusus karena merupakan potensi masa depan. BPOM antusias untuk memberikan konsultasi pengembangan obat sehingga Indonesia dan negara-negara OKI bisa mandiri dalam produk bioteknologinya,” katanya.
Selama ini, menurut Rahman, OKI baru menerapkan sertifikasi halal pada produk makanan dan minuman, belum pada produk vaksin atau obat. Negara-negara anggota OKI tak mempersoalkan ada tidaknya sertifikat halal pada produk vaksin. Jika ada tuntutan tinggi terhadap sertifikasi halal pada produk vaksin dari umat Islam, maka harmonisasi standar di antara negara OKI perlu dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan lebih luas.