Komnas HAM Tetap Tolak Pelibatan TNI dalam Tindak Pidana Terorisme
Oleh
MADINA NUSRAT
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tetap bersikap menolak pelibatan TNI dalam tindak pidana terorisme. Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa TNI terlibat dalam operasi militer selain perang dengan memperhatikan obyek vital, skala ancaman, dan waktu.
Sikap itu disampaikan komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, Senin (14/5/2018) di Jakarta, mencermati kebijakan Presiden RI yang berkeinginan agar DPR dapat segera menuntaskan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Mei 2018 ini.
”Komnas HAM tak setuju dengan pelibatan TNI di bawah tindak pidana terorisme. Keterlibatan TNI hanya dapat dilakukan dalam kerangka UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur operasi militer selain perang, dengan memperhatikan obyek vital, skala ancaman, dan waktu,” katanya.
Komnas HAM tak setuju dengan pelibatan TNI di bawah tindak pidana terorisme. Keterlibatan TNI hanya dapat dilakukan dalam kerangka UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur operasi militer selain perang, dengan memperhatikan obyek vital, skala ancaman, dan waktu.
Setelah teror bom di sejumlah tempat di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan 25 orang dan melukai lebih dari 40 orang, Presiden tak hanya meminta DPR mempercepat pembahasan RUU Terorisme. Presiden juga mengancam jika pembahasan RUU itu tak juga dituntaskan, pihaknya akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU No 15/2003.
Anam menyampaikan bahwa Komnas HAM pada prinsipnya setuju terhadap RUU Terorisme sepanjang dilaksanakan sesuai prinsip, norma, dan instrumen HAM. Dalam proses revisi itu, lanjutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya penguatan paradigma criminal justicesystem atau sistem peradilan pidana dalam penanganan tindak pidana terorisme.
Menurut Anam, dalam paradigma, sistem peradilan pidana terkait terorisme itu perlu mengedepankan proses hukum yang akuntabel dan menjunjung tinggi HAM. Pentingnya harmonisasi ketentuan dalam RUU Terorisme dengan berbagai peraturan perundang-undangan, terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal itu terutama terkait tindakan perencanaan, percobaan, turut serta, dan penghasutan.
Perlu ada pengaturan intersepsi atau penyadapan yang hingga saat ini belum sepenuhnya jelas antara konsep upaya penegakan hukum dan intelijen. Hal itu mengingat, penyadapan tersebut dapat dilakukan penyidik kepolisian dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.
Jika penyadapan dimaknai dalam proses penegakan hukum, jangka 1 tahun dan diperpanjang 1 tahun kembali itu sangat tidak rasional dan bertentangan dengan asas hukum cepat, sederhana, dan biaya ringan. Sebaliknya, jika penyadapan itu untuk intelijen, perlu dikembalikan pada ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang intelijen negara.
Selanjutnya, untuk penangkapan dan penahanan terduga teroris, Anam menjelaskan, dengan ketentuan penangkapan terduga teroris itu harus memenuhi bukti permulaan, yakni memenuhi dua aspek terkait lokasi penangkapan dan jangka waktu.
Terkait ketentuan yang mengatur jangka waktu penangkapan 14 hari dan diperpanjang selama 7 hari, atau total 21 hari, Komnas HAM menilai hal tersebut sangat rawan terjadi pelanggaran HAM. Oleh karena itu, Komnas HAM mendorong agar revisi UU tentang terorisme itu dapat diselaraskan dengan semangat hukum pidana, yakni sesingkat-singkatnya 7 hari sesuai UU Nomor 15 Tahun 2003, dengan memperhatikan kompleksitas perkara, tingkah laku terdakwa, dan ketekunan aparat penegak hukum.
”Komnas HAM mendorong agar diatur pula mengenai kewajiban aparat kepolisian yang melakukan penangkapan dan pemeriksaan untuk menetapkan atau memberitahukan lokasi penahanan. Hal itu untuk menghindari potensi pelanggaran HAM dan memastikan akuntabilitas dan pengawasan, serta akses keluarga ataupun kuasa hukumnya,” kata Anam.
Komnas HAM, ujar Anam, juga sepakat dengan keinginan Presiden bahwa pembahasan RUU Terorisme harus segera dituntaskan pada akhir Mei ini. Namun, Komnas HAM, imbuhnya, sekaligus menolak ancaman Presiden yang berniat akan menerbitkan perppu jika pembahasan RUU Terorisme tak juga rampung.
Menurut Anam, ada dua alasan Komnas HAM mendukung ataupun menolak keinginan Presiden. Alasan pertama, lanjutnya, pengaturan perlindungan terhadap korban itu sudah diatur dalam revisi, terutama bagi korban terorisme langsung, dan juga korban terorisme tak langsung. Walaupun korban terorisme sekunder dan korban terorisme yang potensial itu belum diatur, seperti aparat Polri.
”Revisi dalam RUU sudah bersifat komprehensif, mulai dari upaya pencegahan, penindakan, pemulihan hak korban, hingga upaya deradikalisasi dalam koordinasi sebuah badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,” katanya.