Pemuka Lintas Agama Serukan Masyarakat Bantu Pemerintah Lawan Terorisme
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemuka lintas agama di Indonesia, Minggu (13/5/2018), menyerukan seluruh masyarakat agar bahu-membahu bersama pemerintah melawan kejahatan terorisme. Gerakan terorisme yang sudah merajalela itu memerlukan penanganan khusus dari berbagai pihak karena negara wajib hadir untuk menjamin keamanan hidup setiap warganya.
Selain itu, para pemuka agama dari umat Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha juga mengajak seluruh warga negara Indonesia bersatu padu dan menahan diri. Umat diharap tidak terprovokasi serta terus menggalang solidaritas kemanusiaan sekaligus menolak segala bentuk kekerasan. Apabila mendapati peristiwa sekecil apa pun yang menjurus pada radikalisme dan terorisme, umat diminta segera melapor kepada aparat keamanan.
Apabila mendapati peristiwa sekecil apa pun yang menjurus pada radikalisme dan terorisme, umat diminta segera melapor kepada aparat keamanan.
Ketua Pengurus Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Yenny Wahid meminta masyarakat luas tidak memberikan ruang tumbuh bagi aksi terorisme. Langkah konkretnya, masyarakat tidak mengeluarkan pernyataan yang justru mengonfirmasi dan mendukung gerakan radikal.
Di samping itu, benih-benih aksi teror juga tidak boleh diberikan ruang untuk mengembangkan retorika yang berkaitan dengan kebencian, utamanya di masjid. Yenny mengatakan, semakin seseorang terekspos dengan materi kebencian, baik itu ceramah agama maupun konten media, dia akan mudah menjadi teradikalisasi.
”Jadi kita semua berharap masyarakat melakukan tindakan yang diperlukan agar konten ini tidak berkembang luas,” ujar Yenny dalam kegiatan pernyataan sikap bersama seluruh pemuka agama di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta.
Penyedia layanan konten dalam jaringan atau daring juga diharapkan turut membantu upaya untuk meminimalisasi konten yang bernada kebencian. Persoalan terorisme, menurut Yenny, tidak bisa hanya mengandalkan tindakan pemerintah. Namun, memerlukan kerja sama dengan masyarakat luas.
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menyampaikan, terus berulangnya insiden teror di sejumlah daerah di Indonesia menandakan pemerintah dan aparat keamanan tidak hanya kecolongan, tetapi juga sangat lemah dalam mengantisipasi aksi teror. Oleh sebab itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat dan entitas agama untuk mendukung pemerintah dan aparat keamanan.
Helmy mengatakan, upaya melawan terorisme bukan hanya dengan jalan mendorong DPR secepatnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Terorisme, tetapi juga mengoptimalkan perangkat hukum yang ada saat ini untuk menindak pelaku teror. Selain itu, pemerintah juga harus tegas dalam menertibkan gerakan penyebaran kebencian di sejumlah masjid.
Kami bersepakat membentuk posko-posko kemanusiaan, di mana kami menghimpun informasi yang ada di masyarakat untuk membantu pemerintah.
”Kami bersepakat membentuk posko-posko kemanusiaan, di mana kami menghimpun informasi yang ada di masyarakat untuk membantu pemerintah,” ujarnya.
Perwakilan Lembaga Persahabatan Ormas Islam, Marsudi Syuhud, meminta para kelompok radikal berhenti menyebarkan doktrin yang mengafirkan negara Indonesia.
Menurut Marsudi, pendiri bangsa Indonesia ketika mendirikan republik ini sudah sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal itu karena dulu para founding father mendirikan negara ini dengan meniru negara Madinah yang didirikan oleh Rasulullah SAW. Di negara Madinah itu, seluruh agama dijamin mendapatkan tempat.
Oleh sebab itu, kata Marsudi, kekerasan dilarang di dalam ajaran Islam karena haram hukumnya.
”Maka, sudah jangan bermimpi atau jangan punya paham bahwa negara ini adalah negara kafir,” kata Marsudi.
Revisi UU Terorisme
Dalam kesempatan itu, para pemuka lintas agama juga menyoroti ihwal lambannya pengesahan revisi UU Terorisme. Yenny Wahid mengatakan, insiden ledakan bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada Minggu (13/5/2018), merupakan puncak dari gunung es dari sekian banyak persoalan yang tidak terdeteksi.
Peristiwa tersebut, kata Yenny, memperlihatkan masifnya jaringan kelompok radikal di Indonesia. Oleh sebab itu, payung hukum bagi aparat keamanan mutlak diperlukan. Undang-undang yang berlaku saat ini, kata dia, belum dapat menindak kelompok radikal sebelum peristiwa teror terjadi.
PGI mengimbau tokoh agama dan masyarakat agar tidak memberi ruang tumbuhnya benih-benih radikalisme.
Pendeta Penrad Siagian dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) berpendapat, apabila RUU Terorisme tidak segera disahkan, hal itu membuat kelompok teroris merasa didukung parlemen. PGI mengimbau tokoh agama dan masyarakat tidak memberi ruang tumbuhnya benih-benih radikalisme.
Yanto Jaya dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) mengatakan, penting untuk memperhatikan penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan teroris. Namun, penegakan hukum harus tetap dikedepankan.
Terkait dengan penegakan HAM dalam penanganan terorisme, Yenny Wahid berpendapat, pihak kepolisian sudah berupaya menjaga HAM. Upaya itu tecermin dari penanganan kerusuhan di Mako Brimob dengan mengupayakan tidak ada korban jiwa.
Yenny juga memaparkan hasil survei yang dilakukan Wahid Institute pada 2017. Survei tersebut dilakukan dengan responden seluruh masyarakat Indonesia. Survei itu mengukur pendapat masyarakat tentang perlunya sikap keras dari pemerintah dalam melawan terorisme. Hasil survei menyatakan, lebih dari 93 persen responden mendukung upaya pemerintah mengambil tindakan lebih keras dalam melawan terorisme.
Lebih dari 93 persen responden mendukung upaya pemerintah mengambil tindakan lebih keras dalam melawan terorisme.
”Jadi, jelas sikap masyarakat sendiri menginginkan ada ketegasan dari pemerintah. Tetapi, kami sebagai pegiat HAM akan terus meminta agar proses yang dilakukan Polri sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ucapnya.