JAKARTA, KOMPAS — Teror bom yang terjadi di sejumlah gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018), terus mengundang kecaman dari berbagai kalangan. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia menyatakan dukacita yang mendalam dan simpati kepada semua korban serta menyerukan ”bom Surabaya, cukuplah sudah”. Hentikan penggunaan inspirasi agama untuk melakukan aksi terorisme dengan membunuh dan menyakiti orang lain.
”Tindak kekerasan dengan alasan apa pun, bahkan alasan agama sekalipun, bukanlah jalan keluar dalam menangani atau apalagi menyelesaikan masalah sosial. Sudah cukup banyak pengalaman kita berbangsa dan bernegara membuktikannya, dan akan selalu kekerasan lain yang akan muncul. Karena itu, sebagai satu bangsa, kami menolak penggunaan kekerasan. Sudah cukup,” ujar Ketua Umum DPP PIKI Baktinendra Prawiro didampingi Sekretaris Jenderal Audy WMR Wuisang, Minggu.
DPP PIKI menyatakan, aksi teror bom bunuh diri yang terjadi di sejumlah gereja di Surabaya menyentak umat Kristiani di Tanah Air karena menelan korban serta menghadirkan dan menyebarkan rasa takut dan rasa tidak aman di bumi persada Indonesia.
PIKI menilai, agama adalah sumber cinta kasih terhadap sesama dan inspirasi utama dalam membangun kebersamaan dan kemanusiaan tanpa harus meniadakan yang lain dan yang berbeda keyakinan beragama. Agama juga adalah inspirasi tindakan-tindakan yang mempromosikan keadilan dan hubungan-hubungan yang berdasarkan cinta kasih dan perdamaian.
”Karena itu, menggunakan inspirasi agama untuk melakukan tindak terorisme dan kekerasan dengan membunuh dan menyakiti orang lain sudah jelas adalah sebuah tindakan penyalahgunaan agama. Agama apa pun itu,” ujar Audy.
Menggunakan inspirasi agama untuk melakukan tindak terorisme dan kekerasan dengan membunuh dan menyakiti orang lain sudah jelas adalah sebuah tindakan penyalahgunaan agama. Agama apa pun itu.
Kejadian bom bunuh diri di Surabaya, Minggu pagi, menunjukkan dan membuktikan bahwa sel-sel terorisme ada dan masih eksis di dalam negeri, bahkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. ”Pelajaran ini mestinya sudah cukup memperingatkan kita betapa berbahayanya aksi terorisme,” ujar Baktinendra.
Karena itulah, DPP PIKI mendesak DPR dan pemerintah untuk mempercepat proses revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar segera terbit menjadi UU menyusul ancaman terorisme di Indonesia.
”Bom di Surabaya hari ini menjadi salah satu penanda urgensi perubahan UU No 15/2003 yang sudah dirasa sangat kurang memadai dewasa ini,” kata Bakti.
Semua lapisan masyarakat Indonesia diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan karena jaringan teroris bisa berada di mana saja. ”Sebab, jika membiarkan kepolisian dan BNPT bekerja sendiri, sementara masyarakat bersifat apatis atau bahkan memberi angin menyebarnya benih terorisme, ujung dari perjalanan bangsa ini sangat bisa diprediksi menuju kehancuran,” tutur Audy.
Bom di Surabaya hari ini menjadi salah satu penanda urgensi perubahan UU No 15/2003 yang sudah dirasa sangat kurang memadai dewasa ini.
Penyebaran paham radikalisme terhitung mengkhawatirkan dan perlu dilawan oleh semua yang berkemauan baik bagi bangsa kita.
Karena itulah, DPP PIKI mendukung semua upaya sistematis aparat penegak hukum untuk memburu, mengejar semua pelaku lapangan dan auktor intelektualis di balik aksi teror tersebut. Pemerintah dan aparat terkait diharapkan terus memelihara keamanan dan sekaligus menciptakan suasana kondusif masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.