JAKARTA, KOMPAS — Budaya bahari selaku budaya Nusantara akan menjadi pembahasan utama pada Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III pada tanggal 2 Agustus. Budaya bahari bersifat terbuka, egaliter, dan ramah merupakan jati diri bangsa Indonesia yang dianggap telah dilupakan oleh masyarakat modern.
”Budaya bahari menekankan simbiosis manusia dengan alam. Artinya, sebagai bangsa tidak boleh tamak dan harus memikirkan kesinambungan pembangunan, bukan mencari keuntungan semata,” ujar Guru Besar Antropologi Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, MA Tihami pada diskusi terpumpun menjelang Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia (TA MBI) III di Jakarta, Jumat (11/5/2018). Acara diskusi tahap pertama dihadiri oleh 13 budayawan dan akademisi dari berbagai wilayah di Indonesia.
Budaya bahari, kata Tihami, bertentangan dengan budaya darat yang cenderung eksploitatif dan bertujuan hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkiblat kepada material. Budaya darat juga relatif sempit karena hanya terikat pada tanah.
Sebaliknya, budaya bahari sangat cair karena melihat laut dan sungai sebagai penghubung berbagai tempat dan benua di Bumi. Walhasil, pemikiran yang berkembang adalah setiap orang saling terkait.
Ia mencontohkan, nenek moyang bangsa Indonesia menggunakan laut dan sungai sebagai moda transportasi dan komunikasi. Berbagai suku bangsa, ras, dan agama bisa saling mengenal berkat metode ini. Perkenalan berlangsung secara alami tanpa memerlukan konflik, apalagi peperangan, penaklukan, dan penjajahan.
”Dari segi pergaulan, budaya bahari tidak feodal, tetapi justru menganggap semua orang setara,” kata Tihami. Hal ini yang menumbuhkan peradaban Nusantara yang beragam, tetapi tetap merasa saling bersaudara. Paham primordialisme (hanya mementingkan suku bangsa sendiri) bisa dipatahkan.
Masyarakat Nusantara, seperti suku bangsa Bugis, Bajau, Madura, dan Minangkabau, terkenal sebagai orang-orang yang gemar merantau antarpulau, bahkan antarnegara. Hal ini merupakan contoh budaya bahari yang masyarakatnya memiliki wawasan luas mengenai hidup dan dunia. Mereka tidak takut pada perbedaan, tetapi justru merangkulnya.
Demikian juga dengan peradaban yang tumbuh di sepanjang sungai. Tihami menjelaskan, masyarakat terbiasa berlayar dari hulu ke hilir guna menukar hasil hutan dengan berbagai produk dari dataran rendah. Kebutuhan manusia terhadap sesama untuk saling mengisi tersebut yang menumbuhkan rasa persatuan. Hal itu bertolak belakang dengan fenomena masyarakat sekarang yang semakin individualis ataupun primordialis.
Dilupakan
Tihami memaparkan, paham budaya bahari semakin ditinggalkan masyarakat Indonesia. Pembangunan justru semakin berpikiran ke dalam sehingga mengakibatkan munculnya egoisme di tiap-tiap sektor. Bukannya bersatu, pembangunan dan produk turunannya malah menghasilkan konflik kepentingan.
”Masyarakat dan pemerintah harus diingatkan kembali mengenai budaya bahari yang merupakan alami bangsa Indonesia. Pembangunan hendaknya mengusung nilai budaya bahari yang egaliter sehingga tidak menguntungkan golongan elite saja,” kata Tihami.
Koordinator TA MBI III, budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, acara tersebut bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden sehingga diharapkan bisa melibatkan semua kementerian/lembaga. Budaya merupakan hasil akal pikiran dan tenaga masyarakat di semua aspek kehidupan sehingga menghasilkan peradaban.
”Pembangunan yang berkeadilan mulai dari landasan filosofis hingga penerapannya tidak hanya urusan pihak-pihak tertentu, tetapi semua sektor,” ujarnya.
Selain budaya bahari, TA MBI III juga akan membahas topik-topik lain. Salah satunya adalah mengembangkan studi suku bangsa nomaden yang masuk ke Nusantara, seperti Arya, Parsi, Armenia, dan Yahudi.
Menurut Radhar, pengaruh dari empat kelompok etnis tersebut tampak di pola kepercayaan, ritual, dan arsitektur masyarakat Indonesia. Namun, belum ada studi terperinci mengenai kelompok-kelompok itu.