Sibuk Mencetak Siswa Brilian, Tapi Abai Mengelola
Jakarta, Kompas--Sejumlah sekolah mengerahkan banyak usaha dan biaya untuk mencetak talenta brilian. Namun, usaha itu jadi kurang bermakna karena talenta-talenta itu tidak dikelola dengan baik oleh negara.
Para pelajar brilian yang berprestasi di ajang olimpiade internasional, umumnya digembleng dalam sebuah kelas tambahan atau klub sain khusus dalam periode waktu tertentu. SMAK BPK Penabur 1 Jakarta yang pernah melahirkan juara dunia Olimpiade Internasional Fisika 2006 dan juara olimpiade lainnya, menggodok siswa-siswa brilian di Sciene Club.
“Kami menawarkan siapa saja yang mau ikut untuk persiapan olimpiade. Tapi kami menentukan passing grade untuk setiap mata pelajaran,” kata Kepala Sekolah SMAK 1 Penabur Endang Setyowati.
Ada sembilan kelas untuk sembilan mata pelajaran yang biasa dilombakan dalam olimpiade, yakni matematika, fisika, kimia, biologi, kebumian, astronomi, komputer, geografi dan ekonomi. Kesempatan untuk masuk Science Club diberikan kepada siswa Kelas X pada setiap awal tahun ajaran baru, yakni bulan Agustus.
Jika lolos, mereka akan mendapat pelajaran tambahan setiap Sabtu dari Agustus-Oktober. Siswa-siswa terbaik dari Science Club itu akan masuk ke Science Club Jenjang yang dikelola oleh Yayasan BPK Penabur Jakarta. Di klub yang lebih tinggi itu, siswa dari SMAK 1 Penabur bersaing dengan siswa dari 17 SMAK BPK Penabur lainnya di wilayah Jabodetabek.
Setiap kelas dibatasi sehingga persaingan semakin ketat. Dari kelas-kelas inilah terpilih siswa-siswa yang akan ikut Olimpiade Sains Nasional (OSN). Jika lanjut ke tingkat olimpiade internasional, pembinaan diambil alih pemerintah.
SMAK BPK Penabur Gading Serpong, Tangerang, Banten, berupaya mencetak juara olimpiade melalui Kelas Brilian yang dimulai sejak 2008. Ini adalah kelas unggulan untuk siswa-siswa yang memiliki bakat dan minat besar di bidang matematika dan sains. Dewi Widiananda, Koordinator Brilliant Class BPK Penabur Gading Serpong, menjelaskan, Kelas Brilian menggunakan tiga kurikulum sekaligus yakni kurikulum nasional, olimpiade, dan Cambridge.
Materi pelajaran kelas itu sudah setara dengan materi untuk mahasiswa S1 dan S2. Karena itu, siswa yang bisa masuk ke kelas itu diseleksi dengan ketat. “Ada psikotes, wawancara, logika, dan tes batasan IQ. Memang, IQ bukan satu-satunya penentu keberhasilan seseorang, tetapi mereka harus mempunyai parameter untuk IQ yang cukup supaya bisa menyerap materi yang cukup berat,” kata Dewi.
Jumat (4/5/2018) lalu, Kompas sempat melihat Kelas Brilian itu yang terasa hening. Ada beberapa kelas dengan tulisan di pintu Kelas Olimpiade Kimia, Kelas Olimpiade Biologi, Kelas Olimpiade Matematika, dan Kelas Olimpiade Kimia. Masing-masing kelas hanya diisi 2-5 siswa dengan guru pendamping.
Hari itu, di Kelas Olimpiade Biologi yang mengajar adalah Imaduddin Ammarsyah Burhan dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Di Kelas Olimpiade Matematika yang mengajar Ajat Adriansyah dari Yayasan Simetri. Di Kelas Olimpiade Kimia yang mengajar Wira Oktafine Reppi dari Institut Teknologi Surabaya, sedangkan di Kelas Olimpiade Fisika yang mengajar dosen STKIP Surya, Zainul Abidin.
Insentif
SMA Sutomo 1 Medan memilih hanya memberikan pelajaran tambahan sekali seminggu kepada siswa-siswa cerdas yang dipersiapkan mengikuti olimpiade. Untuk menangani siswa-siswa cerdas itu, SMA tersebut mempercayakan pada guru-guru yang mereka miliki sendiri. Guru-guru tersebut setiap tahun mengikuti penyegaran yang diberikan oleh ITB, UI, dan pengajar materi olimpiade.
Jika guru pembimbing berhasil membawa siswanya merebut medali olimpiade nasional, ia mendapat insentif 20 persen gaji selama tiga tahun. Guru yang membawa siswanya juara olimpiade internasional mendapat insentif 40 persen gaji selama tiga tahun. “Ini membuat para guru bersemangat,” kata Kepala SMA Sutomo 1 Khoe Tjok Tjin.
Dengan cara itu, SMA Sutomo 1 berhasil melahirkan banyak juara olimpiade. Pada periode 2000-2016, ada 30 medali yang diraih siswa SMA itu di ajang olimpiade internasional baik fisika, kimia, astronomi, maupun biologi. Selain itu, ada 70-an medali dari berbagai OSN. “Itu belum termasuk medali yang diraih sebelum tahun 2000,” kata Pengawas Yayasan Sutomo, Johan Arifin, Sabtu (5/8/2018).
SMAN Unggulan MH Thamrin di Cilangkap, Jakarta Timur menerapkan kurikulum berlapis. Selain kurikulum Nasional, sekolah berasrama yang gratis ini, juga menerapkan krurikulum Cambrigde dan Olimpiade. Ketiga kurikulum ini masuk dalam pembelajaran rutin, dan wajib diikuti para siswa.
Senin sampai Jumat, siswa belajar berdasarkan kurikulum Nasional dan Cambridge. Sabtu, siswa menjalani pembelajaran dengan kurikulum Olimpiade. Tenaga pengajar didatangkan dari luar.
Dari program kurikulum yang bertingkat ini, sekolah selalu berhasil mengantar siswa untk meraih prestasi hingga tingkat internasional setiap tahunnya. Ada nama Samuel Leonardo, peraih medali perak Olimpiade Internasional Kimia 2012. Selain itu, ada Maulana Ariefai, peraih medali perak Olimpiade Internasional Fisika 2016; dan Gerry Windiarto, peraih medali emas Olimpiade Internasional Fisika 2017.
Tes IQ anak di tahun ini paling rendah 131, dan tertinggi di atas 140. Angka ini naik dari tahun ke tahun
Warnoto, Kepala SMAN MH Thamrin menceritakan, sekolah ini memang didirikan Pemprov DKI Jakarta ketika dipimpin Gubernur Sutiyoso untuk siswa berprestasi dengan kemampuan akademis mumpuni. Syarat administrasi untuk masuk sekolah ini adalah nilai rata-rata di angka 85. “Tes IQ anak di tahun ini paling rendah 131, dan tertinggi di atas 140. Angka ini naik dari tahun ke tahun,” kata Warnoto.
Tidak hanya sekolah dengan gedung mentereng atau berstatus “unggulan”, SMA negeri biasa juga berlomba-lomba mencetak juara olimpiade. Hal itu antara lain dilakukan SMAN 12 Klender Jakarta yang pernah melahirkan juara Olimpiade Internasional Fisika 2009 atas nama Kevin Soedyatmiko.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 12 Sumarwoto mengatakan, sejak siswa masuk di sekolah ini, seleksi mulai dilakukan dengan jalur prestasi maupun umum. Para guru berusaha mencari bakat anak untuk disalurkan sesuai minat dan kemampuan.
“Jadi kami tidak lihat kelasnya, tapi dari kemampuan siswanya. Kemarin ada siswa kelas X yang ikut di bidang matematika dan bisa sampai tingkat provinsi. Ada juga di bidang geografi,” ucapnya, Kamis (3/5/2018).
Untuk menambah pasokan pengetahuan, sejak tahun lalu pihak sekolah menggandeng tenaga pengajar dari luar untuk melatih kemampuan siswa. Pelatihan dilakukan secara rutin, selama beberapa bulan. Kelas tambahan itu diperuntukkan bagi sejumlah anak yang telah diseleksi sebelumnya. Waktu pengajaran dilakukan setiap hari Sabtu, dari pukul 08.00 hingga 14.00. “Awalnya ada lima anak, tapi hanya tiga anak yang mengikuti sampai tuntas,” tutur Sumarwoto.
Energi besar
Untuk mencetak siswa cerdas memang diperlukan komitmen, upaya ekstra, dan juga dana yang besar. Sumarwoto mengatakan, biaya yang dikeluarkan seorang siswa untuk mengikuti pelatihan tambahan, sekitar Rp 4 juta. Kalau dihitung setahun, biaya untuk pendampingan dan bimbingan anak bisa mencapai ratusan juga.
Itu seperti kita mau makan. Kalau makan nasi rendang yang enak, ya harus siapkan biaya Rp 50.000. Tapi kalau cuma mau kuahnya saja, dengan lauk tempe, ya cukup Rp 15.000
Warnoto menambahkan, SMA MH Thamrin membayar gaji tenaga kurikulum Olimpiade sebesar Rp 1,4 juta per kehadiran. “Memang perlu proses dan komitmen yang kuat (untuk mencetak talenta brilian),” ujarnya.
Hal yang sama diucapkan Umar, Kepala Sekolah SMAN 4 Depok, Jawa Barat. Menurutnya, untuk menciptakan anak yang memiliki prestasi, dibutuhkan dukungan biaya yang juga tidak sedikit. “Kalau sekolah mau anak yang bagus, ya harus ada biayanya. Dan itu tidak sedikit, bisa ratusan juta. Tapi itu sebenarnya kecil kalau untuk pembinaan jangka panjang. Karena kita ingin siswa kita berprestasi, dan sekolah, hingga nama Indonesia harum,” tuturnya.
Umar menceritakan pengalaman saat dia memimpin sekolah sebelumnya. Di situ, dia mengajak orangtua siswa untuk terlibat dan benar-benar memperhatikan prestasi anak yang mempunyai kemampuan. Ia menggandeng pengajar dan sebuah lembaga pendidikan dengan biaya sedikitnya Rp 100 juta selama setahun penuh.
“Itu seperti kita mau makan. Kalau makan nasi rendang yang enak, ya harus siapkan biaya Rp 50.000. Tapi kalau cuma mau kuahnya saja, dengan lauk tempe, ya cukup Rp 15.000. Tapi kan kita mau maju, dengan fasilitas yang bagus. Ya semuanya harus berkontribusi dalam pendidikan,” jelas Umar.
Endang dari Penabur mengatakan, untuk membiayai Science Club pihak sekolah mengeluarkan uang Rp 30 juta untuk membayar guru dan operasional selama pelatihan tiga bulan. Tapi dana itu kadang kurang.
Abai mengelola
Upaya mencetak telanta brilian sebenarnya telah dilakukan banyak pihak sejak lama, meski masih bersifat sektoral. Pada tahun 1970-an, BJ Habibie yang saat ini menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi merekrut siswa-siswa SMA yang cerdas untuk disekolahkan ke Eropa dan Amerika hingga tingkat master dan doktor. Setelah selesai sebagian dari mereka bekerja di BPPT dan IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia).
Amich Alhumami, Direktur Dikti, Iptek, dan Kebudayaan Bappenas mengatakan, Indonesia terbukti mampu melahirkan orang-orang pintar. Sayangnya, orang-orang pinta itu kemudian tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, mereka memilih bekerja ke luar negari karena di Indonesia tidak tersedia tempat yang selayaknya.
Dia mencontohkan, ketika krisis multidimensi melanda Indonesia pada 1998, banyak master dan doktor yang bekerja di PT Dirgantara Indonesia hengkang ke luar negeri, mulai Malaysia, Singapura, Australia, Eropa, dan Amerika. Otak cerdas mereka dimanfaatkan di industri strategis negara lain. "Indonesia mengalami brain drain yang luar biasa," ujar Amich, Selasa (8/5/2018).
Amich berpendapat, pemerintah perlu menyusun strategi jangka panjang untuk mengelola orang-orang pintar. Langkah yang bisa dilakukan antara lain, pertama, membuat talents poll dan memfasilitasi orang-orang cerdas untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke universitas manapun yang bagus. Dengan demikian mereka bisa mengembangkan bidang ilmu sesuai dengan minatnya.
Kedua, menyiapkan infrastruktur sosial dan infrastruktur iptek agar mereka bisa bekerja di sektor manapun yang berkonstribusi pada pembangunan nasional.
Ketiga, memperbaiki kelembagaan perguruan tinggi agar orang-orang bertalenta bisa menjadi dosen dan peneliti untuk mendukung tiga fungsi pokok, yakni produksi pengetahuan, pengembangan sains, dan inovasi teknologi.
Saya yakin Indonesia bisa melakukan hal yang sama. Kita bisa mengikuti langkah China dan India,” ujar Herry S Utomo.
Herry S Utomo, Presiden Indonesian Diaspora Network-United (IDN-NU), yang juga profesor bioteknologi dari Louisiana State University, AS, mengatakan, Indonesia rugi jika tidak mengelola talenta-talenta terbaiknya. Pasalnya, negara lain yang akan mengelola mereka. Saat ini, negara-negara maju sadar benar bahwa sumber daya unggul merupakan komponen yang sangat penting untuk menggerakkan pembangunan dan perekonomian. Itu sebabnya, mereka merekrut talenta-talenta brilian dari negara mana saja.
Talenta-talenta brilian dari China, India, misalnya, bertebaran di mana-mana. Namun, pemerintah China dan India telah sadar untuk menarik kembali talenta-talenta mereka dari luar negeri dan memelihara talenta yang ada di dalam negeri. “Saya yakin Indonesia bisa melakukan hal yang sama. Kita bisa mengikuti langkah China dan India,” tambah Herry. (DNE/JAL/OSA/SIE)