Merancang Ruang di Baranangsiang
Kumuh membayang di Terminal Baranangsiang, Bogor. Aroma tidak sedap berbaur di antara hilir-mudik penumpang bus, pedagang asongan, dan peminta sumbangan. Ada harapan terminal ini bersalin rupa demi penumpang bus.
Seorang gelandangan berjalan perlahan menuju ruang tunggu penumpang Terminal Baranangsiang, Senin (7/5/2018) sore. Tidak ada yang menghiraukannya. Petugas kios dan petugas keamanan juga tidak bereaksi atas kehadirannya. Mungkin mereka terbiasa melihat gelandangan di terminal, mencari makanan sisa.
Tiga calon penumpang yang duduk di ruang tunggu bangkit membawa barang bawaannya. Mereka turun ke lantai satu.
Ruang tunggu di lantai dua itu dikelilingi kios penjual karcis. Namun, hanya beberapa saja yang masih terisi. Kios lainnya sudah tamat.
Tidak lama, seorang aktivis Komunitas Pengurus Terminal Baranangsiang (KPTB) yang menemani Kompas, pamit turun juga.
"Izin, laksanakan tugas dulu, galang dana dari penumpang," katanya.
Sudah setahun ini, KPTB meminta sumbangan sukarela kepada penumpang bus dan pencari nafkah di terminal tersebut.
Di pelataran terminal, terlihat belasan orang mengantre masuk bus jurusan Kuningan, Jawa Barat. Dua di antara yang antre adalah pedagang asongan lengkap dengan kotak dagangannya.
Tiga meter dari depan bus, ada kubangan lebar berisi air berwarna hitam. Sampah berserakan di pelataran tempat bus menunggu penumpang. Kubangan serupa banyak terlihat di Terminal Baranangsiang.
"Ini mendingan. Kalau hujan lebih parah. Yang enak di sini, bisa dagang bebas dan nggak ada copet," kata Awaludin (64), pedagang gorengan.
Di pikulannya, Awaludin meletakkan tempat sajian aneka gorengan, penggorengan, serta kompor gas. Ia mangkal di depan tangga menuju lantai dua di belakang terminal. Tempat mangkalnya tergolong strategis karena di situlah jalan masuk calon penumpang bus.
Awaludin berdagang di sejak tahun 1980-an. Dulu, katanya, pedagang tak boleh berjualan sembarangan di terminal, apalagi pedagang asongan. "Dagang di luar terminal. Enggak kayak sekarang, siapa saja bisa masuk terminal dari mana saja," katanya.
Tak nyaman
Siti (54), warga di perumahan di belakang terminal, ingat sekali dengan tangga dan jembatan menuju lantai dua bangunan terminal. Waktu masih anak-anak, ia bersama teman atau kakaknya, jalan kaki dari rumah ke terminal. Mereka berdiri di jembatan atau selasar lantai dua, nonton bus yang masuk-keluar terminal.
Sejak anak-anak, Siti tahu bahwa Terminal Baranangsiang adalah terminal yang termegah dan paling besar kalau dibanding Terminal Merdeka di Bogor, dan Terminal Cililitan di Jakarta Timur. "Strategis pula (lokasinya) karena depannya jalan tol, belakangnya panorama Gunung Salak," katanya.
Ia pun ingat bahwa lahan terminal itu dulunya kebun kering dan sawah milik Departemen Kehutanan. Lalu lahan diserahkan ke warga perumahan untuk digarap. Penghuni perumahan saat itu semuanya pegawai pemerintah dari Departemen Kehutanan, termasuk ayah Siti. Oleh warga, lahan ditanami sayur-mayur untuk kebutuhan keluarga, serta pohon buah-buahan.
Ketika pemerintah akan membangun terminal, menurut Siti, warga tidak ada yang protes dan minta ganti rugi. "Waktu itu ada kesadaran, terminal ini untuk kepentingan masyarakat. Padahal itu membuat kenyamanan tinggal di sini jadi merosot. Apalagi sekarang ini terminal sangat kumuh, kami menjadi sangat tidak nyaman," katanya.
Warga, menurut Siti, berharap pembangunan Terminal Baranangsiang segera terwujud karena mereka yang terdampak negatif akibat terminal yang kumuh dan angkutan umum yang semrawut. Sebab itu, Siti penasaran, warga mana yang menentang pembangunan terminal.
Diprioritaskan
Terminal Baranangsiang adalah satu dari empat prioritas terminal yang akan dijadikan transit oriented development (TOD) dalam rencana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengatakan, TOD Baranangsiang menjadi salah satu terminal yang diprioritaskan dibangun BPTJ bersama pihak swasta dalam dua tahun ke depan.
"Untuk pembangunan, kami harus pasti dahulu, rancang bangunnya sesuai TOD, yang mengutamakan transit oriented-nya. Jangan sampai salah atau asal-asalan bangun TOD," katanya.
Direktur Prasarana BPTJ Rizal Wasal mengaku, masih konsentrasi pada penguatan sumber daya manusia termasuk untuk pengelolaan terminal pascapembangunan. "Untuk Baranangsiang, setidaknya kami segera berbenah agar mudik Lebaran ini, bus angkutan lebaran tetap bisa berangkat dari situ dengan pemudik lebih nyaman."
General Manager Legal and Corporate Secretary PT Pancakarya Grahatama Indonesia (PGI) Firman Dwinanto mengatakan, pihaknya bertanggung jawab membangun terminal ini setelah mengantongi sertifikat hak guna bangunan (HGB) Terminal Baranangsiang pada 2012.
Dengan konsep TOD, lahan seluas 2,1 hektar ini akan menjadi terminal, hunian vertikal, serta area komersial. Tinggi bangunan tidak lebih dari 82 meter.
Pengelolaan area nonterminal kelak menjadi kewenangan PGI, sedangkan terminal rencananya dikelola pemerintah.
Berselang enam tahun sejak 2012, pembangunan terminal belum dimulai lantaran pembebasan lahan terminal oleh pemerintah, belum terwujud. "Kalau lahan terminal sudah kosong dan diserahkan ke kami, rancang bangun TOD disetujui, kami siap bangun," ucapnya.
General Manager Proyek Terminal Baranangsiang PT PGI Munir Achmad mengatakan, sejak 2012 hingga akhir 2017, sudah 22 kali perubahan desain Terminal Baranangsiang. Terakhir, area terminal seluas 18.200 meter persegi. Terminal bakal berhadapan dengan stasiun LRT Bogor-Jakarta. Terminal dan stasiun akan dihubungkan dengan jembatan (skybridge).
Namun, EVP PT Kereta Api Indonesia Divisi LRT Jabodebek John Robertho Siahaan belum bisa memastikan lokasi stasiun LRT di Bogor kelak. “Sekarang masih konsen di fase 1 rute Cawang-Cibubur. Kalau yang lanjutan Cibubur ke Bogor, kami belum tahu dimana stasiun di Bogor nantinya,” ucapnya.
Dari sisi perizinan, Kepala Bagian Perizinan Pemanfaatan Ruang Badan Pelayanan Perizinan Terpadu - Penanaman Modal (BPPT-PM) Kota Bogor Rudi Mashudi mengungkapkan, PT PGI sudah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk pembangunan terminal terpadu Baranangsiang. Sampai saat ini, IMB-nya belum dibatalkan atau diubah.
"Sampai saat ini, kami dari perizinan belum menerima pengajuan perbaikan IMB. IMB yang diberikan, sesuai permohonannya pada 2012. Kalau ada perubahan desain bangunan, harus mengubah IMB-nya. Harus ada kajian awal lagi," tuturnya.
Sementara, Ketua Umum KPTB Teddy Irawan (35) menuturkan, KPTB yang sejak 2014 menjadi organisasi kemasyarakatan, belum diajak berdialog terkait rencana pembangunan terminal ini. KPTB beranggotakan lebih 1.000 pencari nafkah di terminal.
"Dulu, mungkin ada, tetapi bukan dengan kami, pengurus KPTB yang sah. Mereka hanya beberapa orang koordinator dari perusahaan bus, yang sekarang pun ada ada yang busnya tidak operasional lagi di sini," katanya.
Budiana Firdaus (54), Humas KPTB mengatakan, KPTB dulu menolak karena area terminal hanya 1.000 meter persegi, sedangkan untuk mal dan hotel 18.000 meter persegi. "Tidak ada juga jaminan kami dipekerjakan. Lagi pula, anggota kami kebanyakan tidak berpendidikan tinggi, banyak SMP saja tidak lulus. Umurnya juga banyak kayak saya. Bisa kerja apa kami di hotel dan mal," tuturnya.
Di tengah pro-kontra ini, se baiknya tidak kita lupakan kebutuhan penumpang akan pelayanan yang aman dan nyaman, termasuk di terminal.