Menjaring Potensi Sinden-sinden Muda Idola
Di tengah gegap-gempita jutaan anak muda yang tergila-gila akan budaya populer, segelintir gadis belia masih rela meluangkan waktunya belajar tembang Jawa. Itulah para pesinden muda yang setiap dua tahun sekali menambatkan mimpi untuk menjadi sinden idola.
Nugraha Pawestri (16), siswi SMKN 8 Surakarta duduk bersimpuh di tengah panggung. Ia menunggu aba-aba wiyaga penabuh gender yang mengawali tembang Jineman Rongeh Laras Pelog Pathet 5.
Bidikan nadanya tepat, suaranya kuat, serta cengkok dan gregelnya lincah mengikuti harmoni suara gamelan. Putri dalang Mulyono asal Semarang yang kini sekolah di Surakarta ini mulai belajar tembang Jawa sejak usia 6 tahun.
“Sejak kecil saya selalu ikut bapak ndalang di berbagai tempat. Saya memang suka tembang Jawa dan bercita-cita jadi sinden profesional,” paparnya.
Darah seni mengalir deras dalam diri Pawestri. Sejak masih kecil, ia sering ikut ayahnya keliling manggung dalam pementasan wayang kulit di berbagai daerah.
Kecintaannya terhadap gending Jawa akhirnya berbuah manis. Ia terpilih sebagai Juara I Sinden Idol #4 yang digelar Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Kampung Budaya Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (6/5/2018).
Seluruh finalis tampil dengan optimal membawakan tembang-tembang Jawa wajib maupun pilihan yang sebagian besar merupakan kreasi dari Dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes Widodo Brojosejati. Menurut sinden senior Semarang, Nyi Sutarmi yang menjadi salah satu juri, kemampuan tembang para finalis sudah bagus dan merata dari sisi teknis.
Kompetisi Nasional
Pawestri adalah satu dari 10 finalis yang terseleksi dari 76 peserta Sinden Idol #4 kategori pelajar. Selain kategori pelajar, kompetisi ini juga melombakan kategori umum yang diikuti sinden-sinden muda berusia 20-30 tahun.
Sinden Idol #4 merupakan kompetisi sinden muda tingkat nasional satu-satunya di Indonesia. Selama ini, lomba atau kompetisi seni pewayangan yang sering digelar kebanyakan adalah seni pedalangan atau karawitan.
Kompetisi ini tergolong unik karena tidak sekedar menampilkan unjuk ketangkasan menyanyi para sinden belia, tetapi juga menyediakan kesempatan kepada para sinden muda untuk menimba ilmu tentang rasa, etika, dan tata krama sinden.
“Sebelum memasuki tahap final, para peserta kami ‘karantina’ selama dua hari di Unnes untuk mendapatkan pelatihan tentang tata krama, sikap, dan etika sinden. Pembekalan ini penting karena selama ini sebagian besar pola pembelajaran sinden cenderung imitatif, hanya sekedar menirukan secara teknis cara bernyanyi atau tembang,” kata Wakil Ketua Panitia Sinden Idol #4 sekaligus dosen FBS Unnes Bintang Hanggoro Putro.
Dalam proses ‘karantina’ tersebut, sebanyak 20 finalis Sinden Idol #4 kategori pelajar dan umum mendapatkan pembekalan terkait Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, etika sinden, materi lomba, serta pengundian tembang-tembang yang menjadi materi lomba. Pemberian materi tentang etika sinden menjadi sangat penting karena dengan pemahaman ini para sinden diajak untuk menyadari bahwa mereka bukan sekedar pekerja seni semata, tetapi juga penyampai nilai-nilai kehidupan yang tertuang dalam tembang-tembang Jawa yang mereka bawakan.
“Sinden bukan sekedar entertainer. Nilai-nilai dan pesan-pesan luhur yang mereka sampaikan juga mesti bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” tambah Bintang.
Menjangkau Bibit-bibit Muda
Babak final Sinden Idol #4 di Kampung Budaya Unnes berlangsung semarak. Sebelum dimulai, para peserta dan juri diarak terlebih dulu dengan iringan gending Jawa ke pendopo. Seperti halnya perhelatan pernikahan tradisi Jawa, sepasang pemandu acara yang berpakaian tradisional Jawa mengiringi langkah mereka dengan kata pengantar berbahasa Jawa halus atau krama inggil.
Tak hanya itu, lantunan doa pembukaan acara juga disampaikan dalam bahasa Jawa. Sang pembaca doa mendaraskan semacam geguritan atau syair puisi berisi doa-doa.
Menurut Dekan FBS Unnes Prof Sukestiyarno, Sinden Idol #4 yang telah digelar selama empat kali sejak 2012 menjadi salah satu indikasi bahwa potensi bibit-bibit muda sinden masih ada. Tanpa digelar kegiatan semacam ini, maka potensi-potensi sinden muda yang tersebar di berbagia provinsi maupun kabupaten/kota sulit mendapatkan panggung untuk menunjukkan eksistensi mereka.
“Para peserta berasal dari sejumlah provinsi, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari hasil audisi dan penyaringan yang ada, kami bersyukur bahwa masih ada sinden-sinden belia yang bagus dari sisi kualitas di tengah maraknya perkembangan seni populer lainnya,” paparnya.
Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan terkagum-kagum dengan anak-anak muda fasih dan lancar membawakan tembang serta bertutur dalam bahasa Jawa halus itu.
Ia berharap, event ini tidak sekedar berhenti pada tataran lomba atau kompetisi saja, tetapi perlu dipikirkan solusi bagaimana ke depan memberikan saluran-saluran bagi para peserta Sinden Idol untuk terus mengembangkan diri dan berekspresi.
Dalam rangka mengembangkan seni tradisi yang kini semakin terpinggirkan, Direktorat Kesenian, Ditjen Kebudayaan bekerjasama dengan komunitas-komunitas seni memberikan pelatihan dan pendampingan kepada para pemusik tradisi jalanan. Setelah mendapatkan pembekalan, mereka kemudian diberi kesempatan untuk tampil di tempat-tempat publik seperti mal, stasiun, dan gedung-gedung pemerintah.
“Kami sudah memulai dengan memberi kesempatan pada seniman-seniman jalanan untuk tampil di Gedung E Kemdikbud setiap hari Seni, Rabu, dan Jumat. Mereka kami siapkan ruang ekspresi dan siapapun bisa menyaksikan penampilan mereka serta memberikan apresiasi. Demikian pula, seluruh kegiatan-kegiatan seni semestinya bisa memberikan efek konkrit dan saluran nyata bagi teman-teman seniman, tidak sekedar berhenti pada proyek semata,” ungkap Restu.
Event dua tahunan Sinden Idol telah berjalan sebanyak empat kali. Ke depan, kegiatan ini diharapkan bergulir terus-menerus dan melahirkan sinden-sinden idola profesional yang mumpuni dari sisi teknis sekaligus berkarakter secara etis.