Prostitusi Berkedok Pijat Tradisional di Kalibata Terkuak
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkedok menawarkan jasa pijat tradisional, H (31) dan A (35) mengoperasikan jaringan prostitusi secara daring (online) di sebuah kompleks apartemen di Kalibata, Jakarta Selatan. Sepuluh ”terapis” bekerja di bawah kendali kedua mucikari itu.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ade Ary pada konferensi pers di Jakarta, Minggu (6/5/2018) sore. Kedua tersangka ditangkap Subdirektorat (Subdit) Reserse Mobil (Resmob) Polda Metro Jaya, Rabu (2/5/2018), dari dua unit apartemen yang terpisah di kompleks Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan.
Ade mengatakan, kedua tersangka tersebut menjaring calon pelanggan melalui aplikasi pesan singkat WeChat. Pengguna aplikasi WeChat dapat mendeteksi sesama pengguna lainnya di dalam sebuah area geografis yang berdekatan.
”Jika ada orang terdeteksi masuk ke aplikasi WeChat, lalu kemudian diundang oleh (tersangka) dan ditawari (jasa pijat tradisional) dan selanjutnya dikasih nomor WhatsApp untuk berkomunikasi lebih jauh,” kata Ade.
”Foto-foto terapis kemudian dikirimkan melalui WhatsApp. Tarifnya adalah Rp 500.000 untuk 1,5 jam,” katanya. Dari transaksi senilai Rp 500.000 tersebut, terapis mendapatkan Rp 300.000 dan mucikari mendapatkan Rp 200.000.
Jika disepakati, calon pelanggan tersebut kemudian dibawa masuk ke dalam sebuah unit apartemen untuk menemui terapis. Sang mucikari kemudian akan memberikan pengaman kepada calon pelanggan.
”Kedua tersangka ini telah benar-benar menyiapkan segala peralatan dan sudah berkomitmen dengan terapis bahwa tamu akan mendapatkan pelayanan yang ‘lebih’,” kata Ade.
Kepala Unit IV Subditresmob Polda Metro Ajun Komisaris Polisi Rovan Richard Mahenu mengatakan, kedua mucikari yang disebut ‘papi’ dan ‘mami’ ini telah menyiapkan satu unit lain yang memiliki tiga kamar sebagai tempat ‘pijat’. ”Para terapis stand-by di lokasi itu,” ujar Rovan.
Ade mengatakan, kegiatan prostitusi berkedok pijat tradisional tersebut telah berlangsung lebih dari setahun dan beroperasi selama 18 jam sehari, dari pukul 09.00 hingga 03.00 keesokan paginya. Ade memperkirakan kedua tersangka ini telah memperoleh omzet hingga ratusan juta rupiah selama beroperasi setahun belakangan ini.
Rovan menambahkan, para terapis dijadikan saksi dalam penyelidikan perkara ini. Tidak ada indikasi pekerja seks di bawah umur. ”Semua sudah dewasa,” kata Rovan.
Dari kedua tersangka, polisi menyita berbagai barang bukti, antara lain empat ponsel, satu kartu SIM, sebungkus pengaman, satu kartu akses lift apartemen, satu botol lotion, dan uang tunai sejumlah Rp 1,4 juta.
Kedua tersangka ini dikenai Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman kurungan satu tahun empat bulan dan Pasal 506 KUHP dengan ancaman hukuman kurungan satu tahun.
Pasal 296 KUHP berbunyi ”Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
Pasal 506 KUHP mengatakan, ”Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun."
Ade berharap perkara ini menjadi kasus prostitusi terakhir di kompleks apartemen tersebut. Sebab, menurut Ade, pada 2-3 bulan yang lalu petugas polisi juga telah membongkar sebuah operasi prostitusi di sana.
”Selama ini kami dibantu oleh pihak manajemen untuk bisa mengungkap praktik prostitusi di sana. Manajemen apartemen memiliki tujuan yang sama dengan kami dari dulu,” kata Ade.
Ia berharap masyarakat dapat memberikan informasi kepada kepolisian apabila ada indikasi terjadinya praktik prostitusi semacam ini.