Pesan Kebinekaan dari Surabaya Vaganza
SURABAYA, KOMPAS – Menyambut HUT ke-725 Kota Surabaya, Jawa Timur, yang akan jatuh pada 31 Mei, Pemerintah Kota Surabaya menggelar Parade Budaya dan Pawai Bunga bertajuk “Surabaya Vaganza”, Minggu (6/5/2018).
Acara karnaval yang diikuti ribuan warga Surabaya dari beragam suku bangsa ini mendapat apresiasi dari tamu-tamu luar negeri. Gelaran ini dianggap sebagai bentuk kebhinekaan dari masyarakat Kota Pahlawan.
Pawai yang diikuti 83 kelompok ini dimulai pada pukul 07.30 dan berakhir pukul 12.30. Mereka berjalan kaki menempuh jarak sekitar lima kilometer dari Tugu Pahlawan dan berakhir di Taman Bungkul.
Adapun peserta yang berpartisipasi berasal dari penduduk Surabaya dan warga Surabaya dari kota lain, di antaranya Nias, Minang, Lampung, Bali, Bogor, dan Papua. Ada pula warga dari negara lain, yakni dari Jepang dan India.
Selain disaksikan warga Surabaya, pawai ini juga dihadiri Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Rudi Setiawan, dan Komandan Korem 084/Bhaskara Jaya Kolonel Kav M Zulkifli.
Perwakilan Unicef dan delapan negara Asia Pasifik yang akan mengikuti pertemuan kota layak di Surabaya juga hadir, yaitu dari Indonesia, Malaysia, China, Vietnam, Myanmar, Filipina, Thailand, dan Kamboja.
Pawai terdiri dari 41 peserta mobil hias serta 42 peserta pawai budaya dan drumband. Mereka mewakili beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di Surabaya, komunitas, perusahaan, sekolah, universitas, dan organisasi perangkat daerah. Selain menggunakan pakaian daerah, beberapa peserta juga menampilkan tarian dan budaya khas daerah asalnya.
Kepala Perwakilan Unicef untuk Indonesia Gunilla Olson yang turut menyaksikan acara tersebut mengatakan, parade yang ditampilkan warga dalam Surabaya Vaganza amat menarik. Dari acara ini terlihat bahwa kebinekaan di Surabaya sudah terwujud dengan bercampurnya masyarakat dari beragam etnis bersatu padu memeriahkan Surabaya Vaganza.
“Kepemimpinan ibu Risma patut diteladani karena mampu menghadirkan Bhineka Tunggal Ika di Surabaya. Masyarakat dewasa dan anak-anak dari beragam suku dan budaya di luar Sarabaya ikut terlibat dalam merayakan hari jadi kotanya,” ucapnya.
Bagi Risma, parade budaya dan pawai bunga ini menjadi simbol keteguhan karakter gotong-royong warga Surabaya yang terdiri dari beragam latar belakang berbeda.
Meskipun Surabaya merupakan kota metropolitan, jiwa gotong-royong yang diwariskan oleh para pejuang harus tetap dijaga oleh seluruh warga tanpa membedakan latar belakangnya
Semua warga Surabaya dari beragam suku dan budaya bergotong-royong menyajikan pawai untuk memperingati kota yang mereka tinggali bersama. Warga dari luar Surabaya tersebut diajak karena mereka juga bagian dari Surabaya.
“Meskipun Surabaya merupakan kota metropolitan, jiwa gotong-royong yang diwariskan oleh para pejuang harus tetap dijaga oleh seluruh warga tanpa membedakan latar belakangnya. Kekuatan arek suroboyo, kota ini dianggap sebagai rumahnya sehingga sangat penduli termasuk mudah berkontrobusi, “ ucapnya.
Salah satu peserta di antaranya yakni dari SMA Katolik Frateran Surabaya. Mereka membawa mobil yang dihias dengan beragam bunga berwarna warni bertema suku Dayak, Kalimantan. Anak-anak tersebut juga mengenakan baju khas suku Dayak dan menari khas suku tersebut.
“Kami menghias mobil selama satu malam dengan bergotong-royong lebih dari 50 siswa tanpa meminta bantuan pihak luar sekolah,” ujar Eka Yustina, salah satu peserta.
Menurut Risma, Surabaya bisa sejajar dengan kota-kota besar lain di dunia tidak lain dikarenakan peran warga dalam bergotong-royong ukut membangun kotanya. Posisi Surabaya yang berprestasi di tingkat nasional dan internasional itu terlihat dari predikat Special Mention di ajang Lee Kuan Yew World City Prize 2018, bersanding dengan kota Hamburg (Jerman), Kazan (Rusia), dan Tokyo (Jepang).
Lee Kuan Yew World City Prize 2018 merupakan penghargaan internasional yang digelar setiap dua tahun sekali. Penghargaan ini diberikan Urban Redevelopment Authority (URA) di Singapura dan Centre for Liveable Cities (CLC).
Tujuan dari penghargaan ini adalah memberikan penghormatan kepada kota-kota yang mampu menciptakan perkotaan yang layak ditinggali, bersemangat, berkelanjutan, dan memiliki kualitas kehidupan yang baik. “Juni nanti, penghargaan akan diserahkan ke Surabaya,” katanya.
Oleh sebab itu, Risma terus mengimbau warga menjaga sikap gotong royong dengan tidak mengedepankan sikap egois dan hanya memikirkan kelompok maupun diri sendiri. Sebab, untuk membangun kota dibutuhkan peran serta masayarakat.
Gotong royong antara Pemkot Surabaya dengan warganya merupakan kunci keberhasilan dalam membangun Kota Surabaya seperti sekarang. Tanpa gotong-royong dari warga, upaya untuk membangun kota tidak akan berjalan maksimal.
Menurut Rudi, kondisi kemanan di Surabaya yang kondusif tidak bisa dilepaskan dari peran warga. Pemerintah dan masyarakat bersinergi, berkolaborasi, dan bekerja sama mewujudkan kemanan di kota Pahlawan. Tanpa kerja sama antara masayarakat dan pemerintah, kondusifitas Surabaya bakal sulit dipertahankan.
Parade Budaya dan Pawai Bunga yang berlangsung setiap tahun, salah satu rangkaian kegiatan selama bulan Mei, memang selalu ditunggu warga kota ini. “Setiap tahun pasti semakin beragam dan seru, maka parade tidak pernah saya abaikan, meski harus berangkat dari rumah di Kenjeran ke Taman Bungkul pukul 08.00 Wib dan perlu 3 kalo ganti lyn atau angkutan kota, “ Yanti (51) yang siang itu tampak gembira dengan menenteng pohon terong dari salah satu mobil hias.
Bagi arek suroboyo, begitu Parade Budaya dan Pawai Bunga berlangsung, dengan titik awal di Jalan Pahlawan dan berakhir di Taman Bungkul Jalan Raya Darmo, sepanjang 5 kilometer, pertanda kota ini sedang berpesta. Ayo Rek, Jogo Suroboyo biar tetap nyaman.