Represi kolonial Belanda dan merebaknya diskriminasi rasial pada era 1960-an tak mampu menghapuskan tradisi wayang Potehi di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS -- Wayang potehi hadir di Nusantara bersama para perantau Tionghoa etnis Hokkian dari China Daratan sekitar abad ke-16. Eksistensi wayang potehi berulangkali terancam mulai dari masa Kolonial Belanda, Orde Lama, hingga Orde Baru seiring munculnya pergolakan politik dan merebaknya diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa.
Namun, di tengah aneka macam tekanan, tradisi wayang potehi tetap bertahan terutama karena kemampuannya berakulturasi dengan tradisi setempat.
"Potehi di Jawa berkembang dengan kondisi kultur yang melingkupinya. Ia berbeda dengan potehi yang ada di tempat asalnya di China,"papar pemerhati potehi yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Hirwan Kuardhani, Jumat (4/5/2018) dalam Diskusi "Potehi di Pentas Indonesia Hari Ini" yang dimoderatori wartawan Kompas Iwan Santosa di Bentara Budaya Jakarta.
Di China, wayang potehi cenderung menjadi hiburan semata. Namun demikian, di Indonesia potehi tak sekedar menjadi hiburan tetapi juga sarana ritual pemujaan dewa-dewi.
Terputus dari budaya asal
Tekanan berat selama bertahun-tahun terhadap etnis Tionghoa berimbas pada terputusnya tradisi wayang potehi dari budaya aslinya. Tradisi ini akhirnya mencari bentuknya sendiri, berakulturasi dengan budaya setempat untuk tetap bisa mempertahankan eksistensinya.
Dhani mencontohkan, dalam kondisi represi, lakon-lakon wayang potehi tetap berkembang dan dimainkan tetapi dalam bentuk-bentuk baru yang kemudian juga dimainkan pada pementasan-pementasan Ketoprak.
"Lakon Manggala Yudha Jaka Sudira merupakan bentuk baru dari lakon Sie Jin Kwie, juga tokoh Resi Jimbun Anom yang semula Jim Bau Kong, dan Prabu Lesanpuro yang semula Raja Li Si Bin. Banyak yang tidak tahu bahwa tokoh-tokoh itu berasal dari cerita Tionghoa. Masyarakat Jawa menerimanya dan merasa memilikinya. Potehi tidak harus menjadi seni liyan yang terasing di negeri ini," paparnya.
Toni Harsono, cucu dalang wayang potehi tersohor Tok Su Khwei asal Gudo, Jombang, Jawa Timur meneruskan tradisi wayang potehi dari kakeknya yang berasal dari China Daratan. Kedekatan keluarga Toni terhadap warga setempat membuat mereka bisa mempertahankan potehi hingga sekarang.
"Ketika di tempat lain apapun yang berbau Tionghoa dilarang, di Gudo tahun 1976 kami telah memainkan Barongsai maupun Potehi. Tahun 1982, kami bahkan diundang Komando Distrik Militer setempat untuk memainkan Barongsai," kata dia.
Menurut pemerhati seni Gregory Churchill, meski Potehi dilarang di Indonesia, tapi para peranakan Tionghoa masih memelihara memori kolektifnya. "Di Taiwan dan Thailand, saya masih menemukan potehi seperti di Indonesia. Tapi, di sana tidak ada akulturasi dengan budaya setempat seperti di Jawa,"ujarnya.