Penyeragaman yang Membelenggu Siswa
Pendidikan yang mengacu standar masih jamak dimaknai harus seragam pembelajarannya. Hal ini membuat pendidikan tidak optimal.
Suatu hari di sekolah, seorang guru SD menggelar ujian berkaitan kesenian dengan tema pemandangan. Sejak awal, sang guru sudah menginstrusikan siswa harus menggunakan crayon.
Seorang siswa dengan riang menyambut tugas ujian membuat pemandangan. “Jika menggambar pemandangan, harus ada gunung, sawah, dan langit biru,” ujarnya.
Sebaliknya, seorang siswa lainnya sejak awal meminta ijin untuk memakai pensil berwarna, namun sang guru tetap memaksanya memakai crayon.
Dia pun menggambar pemandangan dengan cara yang berbeda, bukan dua buah gunung dilengkapi dengan sawah, pohon kelapa, dan langit biru. “Aku pikir, yang namanya pemandangan itu bisa gedung bertingkat, pepohonan di musim gugur, atau pemandangan di luar angkasa,” katanya.
Ketika tiba penilaian, siswa pertama mendapat nilai tinggi dan pujian. Sebaliknya kreativitas siswa kedua menerjemahkan pemandangan, tidak dianggap sama sekali. Bagi guru, pemandangan harus seperti yang sudah berlaku selama ini yakni lukisan gunung dengan sawah dan langit.
Drama singkat dalam rangkaian acara Pesta Pendidikan yang digelar Jaringan Semua Murid Semua Guru di Jakarta untuk merayakan Hari Pendidikan Nasional 2018 tersebut menjadi kritik soal kondisi pendidikan yang berlangsung di ruang kelas secara umum.
Tidak ada kemerdekaan bagi siswa untuk berkreativitas dan berpikir dalam cara pandangnya. Guru pun terbelenggu dalam pengajaran yang terpaku pada buku teks sehingga tidak berani berimprovisasi.
Inisiator Jaringan Semua Murid Semua Guru Najelaa Shihab di Jakarta, Jumat (4/5/2018), mengatakan, penyeragaman pendidikan yang terjadi di ruang kelas akibat salah kaprah atau miskonsespi dari memaknai pendidikan yang berbasis standar yang dianut pemerintah.
“Pendidikan yang mengacu standar tidak masalah. Bisa disepakati standar yang harus sama yakni membentuk siswa Indonesia yang cerdas dan berkarakter. Namun, caranya atau prosesnya untuk bisa mencapai standar menghasilkan siswa Indonesia yang dikehendaki, tidak berarti diseragamkan. Justru, kekuatan Indonesia yakni keragaman tidak dianggap dan dimanfaatkan untuk membuat tujuan pendidikan nasional tercapai secara optimal,” kata Najelaa yang juga pendiri Sekolah Cikal.
Menurut Najelaa, penyeragaman cara atau proses untuk mencapai cita-cita pendidikan nasional membelenggu pembentukan siswa sebagai warga negara indonesia yang utuh. Akibatnya, tujuan pendidikan yang tercapai termasuk capaian rendah yakni sekadar siswa dapat nilai baik di semua mata pelajaran dan lulus ujian nasional.
“Padahal, tujuan pendidikan kita itu harus mampu menghasilkan generasi muda bangsa yang menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mereka kelak akan menjadi individu, anggota masyarakat, dan warga negara yang berdaya, yang mampu membawa kemajuan Indonesia semakin gemilang,” kata Najelaa.
Tidak heran, lanjut Najelaa, jika cita-cita pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni menghasilkan generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkarakter, belum juga tercapai. Justru, kondisi darurat pendidikan terlihat jelas dengan lemahnya penguasaan kompetensi dasar dalam literasi, sains, dan teknologi. Belum lagi, tantangan dalam mewujudkan siswa yang berkarakter keindonesiaan, serta terciptanya ekosistem pendidikan yang mendukung sekolah.
“Bukan tidak ada praktik pendidikan baik yang memerdekan siswa, yang memberi ruang kreativitas. Tantangannya, kita harus bersama-sama menyebarkan praktik baik yang sudah dilakukan tersebut supaya dapat lebih luas lagi sehingga perubahan menuju pendidikan yang lebih baik dapat segera dinikmati anak-anak Indonesia di seluruh negeri,” kata Najelaa.
Keragaman diakomodasi
Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Penguatan Pendidikan Karakater Arie Budhiman mengatakan dengan pencanangan penguatan pendidikan karakter (PPK) diharapkan proses pendidikan berkembang dinamis. Apalagi sekolah didorong untuk membangun budaya sekolah dengan menemukan kekuatan atau keunikan masing-masing sekolah.
“Keragaman penyelenggaraan pendidikan dengan semangat PPK justru diakomodasi. Sekolah harus memanfaatkan lingkungan sekitar, kearifan dan potensi lokal, untuk memperkaya sumber belajar. Ada tantangan supaya sekolah, keluarga, dan masyarakat bersinergi memperkuat ekosistem pendidikan yang mendukung perwujudan pendidikan yang menghasilkan generasi muda bangsa yang cerdas dan berkarakter,” kata Arie.
Koordinator Program Pendidikan Wahana Visi Indonesia (WVI) Nurman Siagian mengatakan, dari pengalaman melaksanakan pendidikan kontekstual di 17 wilayah di 295 sekolah, justru dengan membiarkan keragaman praktik pendidikan sesuai konteks lingkungan sekolah, meningkatkan mutu pendidikan.
Dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan WVI, para guru menjadi kreatif dalam mengatur aktivitas di kelas dan luar kelas karena guru mampu membuat rancangan pembelajaran yang tidak copy paste atau mencontek dari guru lain. Pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan bisa diwujudkan. Sebelumnya para guru hanya berfokus pada dokumen kurikulum dan buku teks, serta belajar hanya di dalam kelas.
Adapun dampak pada siswa, ujar Nurman, bukan hanya terjadi perubahan perilaku seperti semangat hadir di sekolah, tidak terlambat, menghargai guru, teman, dan orangtua, peduli pada penderitaan teman, dan taat aturan. Para siswa pun lebih mengerti pelajaran yang diberikan guru, mampu mengerjakan pekerjaan rumah yang sulit, siswa termotivasi belajar, hingga lebih berani bertanya pada guru.