Kuda Lumping, Engklek, dan Dakon di Halaman Istana
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
Halaman Istana Merdeka, Jumat (4/5/2018), riuh dengan bunyi kletek-kletek dan desir kletekan, mainan kayu berbagai bentuk. Bukan hanya anak-anak yang menikmati memainkan kletekan tanpa diprotes orang dewasa. Presiden Joko Widodo, Nyonya Iriana Joko Widodo, para menteri Kabinet Kerja, bahkan anggota Paspampres dan wartawan pun gembira memutar kletekan.
Sore itu, halaman Istana Merdeka yang biasanya steril dan dipantau penuh Paspampres menjadi longgar. Sekitar 500 anak dari sejumlah wilayah di Indonesia hadir dan bermain bersama. Tepian taman menjadi ladang bermain engklek, tempat bermain gobak sodor, lokasi melompat karet, dan tempat bermain ogor ban atau dorong ban. Congklak atau dalam tradisi Jawa disebut dakon juga tersedia.
Sekitar 500 anak dari sejumlah wilayah di Indonesia hadir dan bermain bersama.
Presiden Jokowi, Nyonya Iriana, serta beberapa menteri yang hadir, seperti Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, serta Menteri Sosial Idrus Marham, bernyanyi dan bermain kuda lumping bersama anak-anak. Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi atau lebih akrab dipanggil Kak Seto memandu sambil menyanyikan lagu ”Kuda Lumping” ciptaan Pak Kasur.
Siapakah itu,
Naik kuda
Kuda lumping
Dari bambu
Bolehkah aku ikut serta...
Presiden Jokowi dan Nyonya Iriana pun tak segan bermain ogor ban yang secara tradisional dimainkan anak-anak di daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Permainan gobak sodor dan engklek pun dicoba. Anak-anak antusias memilih permainan di halaman Istana Merdeka yang luas dan hijau.
Acara bertajuk Jam Main Kita diselenggarakan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Namun, bukan hanya itu, diharapkan permainan-permainan tradisional dan kebiasaan anak untuk bermain bersama teman-temannya di luar ruangan juga kembali tumbuh.
Keprihatinan pada kebiasaan anak-anak yang terlampau banyak bermain gawai mendorong acara ini. ”Siapa yang senang main gadget?” tanya Kak Seto dan dijawab dengan acungan tangan semua anak. ”Boleh, tapi jangan lupa bermain bersama teman-teman, ya,” ujar Kak Seto.
Dalam sambutannya, Kak Seto menambahkan, acara ini menjadi gerakan awal anak-anak untuk bermain bersama teman. Bermain permainan tradisional bersama teman bukan hanya untuk perkembangan motorik anak.
Permainan tradisional, seperti engklek, gobak sodor, ataupun permainan lompat karet, sangat bermanfaat untuk perkembangan kepribadian anak. Sebab, dalam permainan-permainan ini, anak-anak belajar bekerja sama, menghargai teman, menghargai perbedaan, dan belajar bersatu.
Presiden juga mengingatkan anak-anak untuk belajar, bersembahyang, dan berolahraga. ”Kalau ada waktu luang, jangan lupa bermain di luar ruangan. Jangan hanya main handphone,” katanya.
Presiden juga mengingatkan anak-anak untuk belajar, bersembahyang, dan berolahraga.
Seto pun berharap ada penelitian atas manfaat permainan-permainan tradisional ini. Bahkan, permainan tradisional perlu didaftarkan sebagai kekayaan budaya Indonesia. Tak hanya itu, acara ini akan bermanfaat apabila tak sebatas seremonial di halaman Istana Merdeka, tetapi ditindaklanjuti dengan kebijakan-kebijakan yang mendorong anak-anak bergerak dan bermain di luar ruangan.
Alika (8) dan Audi (8), dua siswa SD di kawasan Jakarta Pusat, tampak menikmati bermain dakon. Azana (10), kakak Audi, ikut menonton keduanya memainkan congklak. Azana mengatakan pernah memainkan galah asin atau gobak sodor ketika masih duduk di kelas II SD, tetapi kini setelah duduk di kelas IV, dia tak lagi memainkannya.
Azana pun tersenyum malu-malu ketika ditanya apakah suka bermain handphone. Kemudian dia menambahkan, ”Makanya matanya minus,” kata Azana yang berkacamata.
Icha atau Louisa Beatrix Yokor (9) yang bersama beberapa temannya mempertunjukkan sendratari Bun Bajiwa pun gembira bisa berada di Istana. Icha ingin mengajak Presiden Joko Widodo bermain. ”Presiden, ayo main, main goyang asmat,” ujarnya.
Adel Nar, guru seni SD Inpres Syuru, Kabupaten Asmat, yang mendampingi Icha dan teman-temannya menjelaskan, anak-anak di Asmat umumnya bermain di sekitar alam Agats. Permainan loncat karet, kicik-kicik, goyang asmat, berenang di sungai, sampai memanah dilakukan. Permainan-permainan ini akan sangat baik jika bisa dikenal pula oleh anak-anak dari wilayah lain di Indonesia.
Acara ini dihadiri anak berkebutuhan khusus (difabel). Rachel (11) yang menderita morquio syndrome juga menikmati acara di Istana Merdeka ini.
Morquio syndrome atau Mucopolysaccharidosis adalah kondisi tubuh yang tak memiliki enzim pemecah glukosa sehingga terjadi kerusakan tulang dan seluruh organ tubuh. Kekuatan motorik Rachel pun lemah. Kendati demikian, Rachel tetap berusaha memutar kletekan dan membunyikannya.
Kecerdasan Rachel juga sangat baik. Menurut Sefrina, ibu Rachel, putrinya bersekolah di Inrii Homeschooling Pondok Kelapa. Rachel sangat menyukai pelajaran Bahasa Inggris. Ketika diajak berdialog dalam bahasa Inggris, Rachel yang ingin menjadi dokter ini menjawab dengan baik.
Sefrina sangat berharap pemerintah mau mendatangkan obat untuk para penderita morquio syndrome. Tanpa obat, kemungkinan hidup penderita morquio syndrome tak lebih dari 18 tahun.
Bermain memang semestinya dilakukan anak-anak. Jangankan anak-anak. John Huizinga, sejarawan dan budayawan Belanda, menyebut manusia adalah Homo ludens, makhluk bermain. Permainan membentuk budaya dan masyarakat. Untuk anak-anak, permainan juga membentuk karakter. Ayo bermain!