WAISAI, KOMPAS Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, merintis regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan bagi warganya melalui Peraturan Daerah Nomor 11/2017. Aturan ini menanggung biaya iuran kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja bukan penerima upah, pegawai honorer, dan aparatur pemerintah di kampung.
Peraturan Daerah Nomor 11/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan itu diluncurkan di Waisai, Raja Ampat, Kamis (3/5/2018). Hadir Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Agus Susanto, Bupati Raja Ampat Abdul Faris Umlati, serta perwakilan DPRD Raja Ampat.
Agus mengatakan, Raja Ampat adalah kabupaten pertama di Indonesia yang memiliki regulasi yang menjamin keselamatan pekerjanya secara spesifik dan komprehensif. Perda itu juga didukung keberadaan tim pengawas untuk memonitor implementasi regulasi itu. Tim itu terdiri dari pemkab, DPRD, dan BPJS Ketenagakerjaan Raja Ampat.
“Kami sangat mengapresiasi Pemkab Raja Ampat sebagai yang pertama menerbitkan perda yang mendukung implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan. Regulasi seperti ini sangat penting untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi semua pekerja di Indonesia,” kata Agus.
Ia berharap daerah lainnya di Indonesia mereplikasi regulasi yang dirintis Pemkab Raja Ampat itu. Hal ini demi peningkatan jumlah kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang masih rendah. Dari potensi pekerja di luar PNS, TNI, dan Polri sebanyak 86 juta orang, hingga kini baru 46 juta pekerja atau 53 persen yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Dari jumlah itu, peserta yang aktif membayar hanya 27 juta.
“Ada sejumlah kendala yang menghambat keikutsertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan, antara lain, kondisi geografis yang luas, perbedaan jumlah penghasilan, dan lemahnya instrumen hukum yang mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya,” ujar Agus.
Sementara Abdul Faris Umlati mengatakan, Perda Nomor 11/2017 adalah solusi untuk membantu warga Raja Ampat berpenghasilan minim, saat tertimpa musibah kecelakaan kerja dan meninggal. Salah satunya seperti nelayan yang rawan mengalami kecelakaan saat cuaca buruk di laut.
Pada tahun ini, lanjut Abdul, Pemkab Raja Ampat menganggarkan dana sebesar Rp 2 miliar untuk mendaftarkan pegawai honorer, pekerja bukan penerima upah, dan aparatur pemerintah kampung.
“Jumlah warga yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sudah mencapai 50 persen dari total target tahun ini sebanyak 11.000 pekerja. Harapannya, dengan regulasi ini, ketika ada warga yang menjadi tulang punggung keluarga mengalami musibah, keluarganya tak kesulitan,” tutur Abdul.
Ia menambahkan, perda tersebut tidak hanya ditujukan bagi warga penerima bantuan dari pemkab. Namun, regulasi ini juga mewajibkan perusahaan swasta mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
“Apabila ditemukan ada perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, kami akan memberikan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha,” kata Abdul.
Berperan vital
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Provinsi Papua Nurhaidah sangat mendukung dan mengapresiasi kebijakan untuk perlindungan tenaga kerja di tanah Papua. “Program jaminan sosial ketenagakerjaan di Raja Ampat wajib ditiru pemda lainnya di Papua dan Papua Barat. Regulasi ini berperan vital untuk melindungi tenaga kerja, khususnya di sektor swasta dan tidak berpenghasilan tetap,” ujar Nurhaidah.
Yulice Salubu, warga Raja Ampat dari Kampung Tomolol yang mendapatkan santunan sebesar Rp 24 juta dari BPJS Ketenagakerjaan, mengaku bantuan tersebut sangat berharga bagi dirinya dan kedua anaknya, setelah ditinggal suami yang meninggal karena sakit. “Saya akan menggunakan uang ini untuk biaya pendidikan anak dan membuka usaha di kampung,” katanya.