JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah provinsi dapat memberikan bantuan keuangan kepada pemerintah kabupaten/ kota yang kesulitan membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat bagi warganya. Dengan begitu, cakupan kepesertaan JKN pun kian luas.
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pelayanan Publik dan Aparat Reydonnyzar Moenek, mengatakan hal itu, di sela-sela seminar memeringati Hari Kesehatan Sedunia dengan tema “Mewujudkan Jaminan Kesehatan Semesta: Meningkatkan Mutu, Meminimalkan Ketimpangan", di Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Reydonnyzar mengatakan, bantuan keuangan dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten atau kota tersebut bisa dilakukan dengan tiga skema. Beberapa skema itu meliputi pemerintah provinsi membantu sepenuhnya pemerintah kabupaten/kota, pemprov membantu kekurangan pemerintah kabupaten atau kota, ataupun pemprov dan pemerintah kabupaten/kota berbagi beban finansial secara bersama.
“Pemerintah daerah harus punya komitmen dan kemauan mendukung program JKN dengan mengintegrasikan program jaminan kesehatan daerah ke dalam JKN,” tegas Reydonnyzar.
Pemerintah daerah harus punya komitmen dan kemauan mendukung program JKN dengan mengintegrasikan program jaminan kesehatan daerah dalam JKN.
Selain mengintegrasikan jamkesda atau pemerintah provinsi membantu pemerintah kabupaten/ kota, pemerintah daearh juga wajib mengalokasikan anggaran urusan kesehatan minimal 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji.
Tahun 2017, di tingkat provinsi anggaran kesehatan sudah rata-rata 9,17 persen dari APBD. Sedangkan di tingkat kabupaten/ kota mencapai 13,77 persen. Provinsi dengan anggaran urusan kesehatan belum mencapai 10 persen APBD antara lain Jawa Barat (2,82 persen), Papua Barat (2,98 persen), DI Yogyakarta (3,39 persen), dan Sumatera Utara (3,66 persen).
Keberlanjutan program
Sementara keberlanjutan program JKN-KIS masih terus diragukan. Sebab, biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan lebih besar daripada pendapatan iuran.
Deputi Direktur Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan, Dwi Martiningsih, mengatakan, dengan besaran iuran saat ini dan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan JKN, jika semua penduduk menjadi peserta, maka rata-rata pengeluarannya Rp 41.240 per peserta sementara iuran yang terkumpul Rp 34.766 per peserta.
Saat ini, iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayar pemerintah ditetapkan Rp 23.000 per orang per bulan. Sementara sesuai perhitungan, iuran setidaknya Rp 36.000 per orang per bulan. Begitu juga dengan peserta kelas III yang iurannya Rp 25.500 sementara kebutuhannya jauh lebih besar, yakni Rp 42.000 per orang per bulan.
Kebutuhan iuran kelas II Rp 63.000 per orang per bulan tapi yang ditetapkan hanya Rp 51.000 per orang per bulan. Hanya iuran peserta kelas I yang antara kebutuhan dan iuran yang ditetapkan sudah sesuai, yaitu Rp 81.000 per orang per bulan.
Menurut Dwi, jika pengeluaran lebih besar dari pendapatan maka ada tiga kebijakan yang bisa ditempuh, yaitu menaikkan iuran, meninjau kembali paket manfaat, dan menyuktikkan dana atau subsidi. “Menaikkan iuran belum memungkinkan sementara mengurangi paket manfaat penyakit jantung saja, meskipun akan sangat membantu , cukup besar dampak sosialnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, saat ini pemerintah terus mengkaji alternatif sumber pembiayaan untuk memperkuat JKN.
Saat membuka seminar tersebut, Rabu (2/5/2018) Menteri Kesehatan Nila Moeleok juga menyampaikan, salah satu tantangan implementasi JKN yang perlu dijawab ialah keberlanjutannya. Timpangnya pendapatan iuran dengan pembiayaan kesehatan yang besar terus terjadi. Selain itu, aspek pelayanan kesehatan yang belum merata kualitasnya pun menjadi tantangan yang perlu dibenahi.
Direktur Fasiltas Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Andi Saguni, menambahkan, bukan pekerjaan mudah untuk meningkatkan kompetensi fasilitas kesehatan agar bisa memberikan pelayanan bermutu. Upaya meningkatkan kompetensi fasilitas kesehatan bukan hanya melengkapi sarana prasarana dan ala kesehatan semata. Ada sistem lain yang berkontribusi yaitu manajemen sumber daya manusia, sistem pengadaan dan distribusi obat, sistem akreditasi, serta sistem rujukan juga penguatan kapasitas manajerial.
Pada Tahun 2017, ada 21.763 fasilitas kesehatan tingkat pertama dan 2.292 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Meskipun demikian, keberadaan fasilitas kesehatan tersebut tidak merata sehingga berdampak apda akses masyarakat.