JAKARTA, KOMPAS – Salah satu kelemahan penelitian yang dilakukan para peneliti dalam negeri ialah hasil-hasil penelitiannya tidak bisa sampai pada tahap komersialisasi. Hilirisasi perlu terus didorong agar hasil penelitian bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Dimyati, mengatakan, Indonesia selalu menjadi objek dari kemajuan teknologi negara lain. Masyarakat hampir tergantung pada produk teknologi dari luar negeri. Padahal, Indonesia memiliki banyak peneliti bermutu dengan berbagai latar belakang.
“Tapi kultur dan sikap permisif kita membuat produk teknologi dari luar negeri akhirnya mendominasi. Kita kurang cinta produk dalam negeri,” kata Dimyati pada peluncuran Ristekdikti-Kalbe Scence Awards (RKSA) 2018 di Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Dimyati menyatakan, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tidak menjadi negara yang memimpin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukan cuma dalam konteks anggaran, kelembagaan, dan sumber daya manusia, semangat meneliti pun belum maksimal.
Meskipun jumlah hasil riset Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi kualitasnya belum merata dan belum diikuti oleh banyaknya sitasi. Penyebabnya, hasil penelitian tersebut belum banyak yang dimuat di jurnal-jurnal terbaik dunia, baru sebatas jurnal kelas menengah.
Menurut Dimyati, pemerintah telah mendorong agar penelitian yang dilakukan para peneliti bisa lebih banyak lagi yang dihilirisasi. Salah satu caranya adalah, dengan menyesuaikan regulasi agar lebih ramah terhadap peneliti.
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio, menilai, ketika berhasil menemukan sesuatu, seorang peneliti akan berpikir temuannya itu siap diproduksi. Padahal, hasil riset tidak bisa begitu saja langsung dikomersialisasi. Metode di laboratorium tentu berbeda dengan skala industri.
Selain itu, dalam memproduksi suatu produk kesehatan, industri akan mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Kadang penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan pedoman BPOM. Jadi, kalau hasil penelitian itu dihilirisasi, maka harus mulai dari awal,” kata Amin.
Kadang penelitian yang dilakukan tidak sesuai dengan pedoman BPOM. Jadi, kalau hasil penelitian itu dihilirisasi, maka harus mulai dari awal.
Kondisi itu mengakibatkan peneliti menjadi putus asa, tersinggung, dan merasa tidak dipercaya. Seharusnya ketika merasa penelitiannya berpotensi untuk dikomersialisasi peneliti sudah melibatkan industri untuk ikut berkolaborasi.
Satu hal yang juga penting ialah seorang peneliti perlu belajar kewirausahaan sehingga ketika hasil risetnya dikomersialisasikan ia bisa membicarakan pengaturan skema pembagiannya dengan baik.
Pendanaan riset
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk, Vidjongtius, mengatakan, RKSA diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Tidak seperti RKSA sebelumnya yang memberikan penghargaan, RKSA 2018 akan mendanai penelitian kesehatan para peneliti di Indonesia.
Bidang kesehatan tersebut difokuskan pada beberapa kategori, yaitu farma, biofarma, sel punca, layanan kesehatan secara elektronik atau e-health, alat kesehatan, diagnostik, pangan fungsional, dan produk bahan alam. Total dana penelitian akan diberikan kepada 3-5 proposal terpilih dengan nilai Rp 1,5 miliar.
Vidjongtius berharap, RKSA bisa memotivasi para peneliti di Indonesia untuk melakukan penelitian yang bisa dikomersialisasi sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Waktu penelitian yang disediakan ialah 12-18 bulan.
Dari RKSA sebelumnya sudah ada beberapa hasil penelitian yang siap dihilirisasi. Salah satunya ialah H2 Gamatensi yang merupakan pelengkap terapi hipertensi dari ekstrak seledri, ekstrak daun kumis kuucing, dan ekstrak buah mengkudu.