Sejarah Menunjukkan, Islam Selalu Bersifat Terbuka
Sejarah menunjukkan, Islam selalu bersifat terbuka dengan agama lain dan aliran-aliran kepercayaan. Islam yang mencerahkan ini harus diwariskan dalam pelajaran agama.
BOGOR, KOMPAS -- Sejak era Nabi Muhammad, Abbasiyyah, Andalusia, Moghul, Ottoman, Mataram Jawa, hingga modern, Islam selalu bersikap terbuka, mau berinteraksi, dan hidup damai dengan agama-agama lain. Praktik-praktik keberhasilan Islam wasatiyyat atau Islam jalan tengah dari zaman ke zaman ini perlu terus-menerus diajarkan agar Islam tetap memberikan pencerahan.
Dalam sesi III Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia tentang Islam Wasatiyyat di Bogor, Rabu (2/5/2018), mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Prof Amin Abdullah memaparkan tentang perjalanan sejarah Islam Wasatiyyat dalam sejarah peradaban Islam.
Pada sesi ini tampil juga dua pembicara lain, yaitu Ketua Islamic Information Foundation sekaligus guru besar emeritus St Mary’s University Halifax, Canada Jamal Badawi dan hakim Mahkamah Agung Pakistan Muhammad Ghazali. Diskusi ini dimoderatori Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid.
“Di era globalisasi sekarang, di mana kita semakin saling bersentuhan, kita mesti melihat kembali sejarah praktik-praktik keberhasilan Islam di abad-abad sebelumnya,” ucap Amin.
Berdampingan dengan damai
Amin mencontohkan bagaimana Nabi Muhamamd SAW dengan Konstitusi atau Piagam Madinah dapat bernegosiasi dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan penganut Yahudi dan Kristiani untuk membangun kesepakatan bersama dengan umat Muslim agar hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati, dan bermartabat sebagai sesama manusia.
Lalu, memasuki era Kekhalifahan Abbasiyah (750-1250), tanpa mengabaikan pengetahuan-pengetahuan keislaman, Kekhalifahan membentuk tim khusus untuk menerjemahkan literatur-literatur Yunani.
Relasi interkultural dan keterbukaan kepada dunia luar menjadi ciri dari era Abbasiyah.
Tanpa ragu-ragu, tim di istana kerajaan menerjemahkan literatur-literatur Yunani, seperti ilmu-ilmu aritmatika, filsafat, logika, obat-obatan, dan sebagainya. Karena itulah, pada masa itu lahir cendekiawan-cendekiawan muslim ternama, seperti al-Kindi, al-Faraby, al-Razi, Ibn Sina, al-Khawarizmi, al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan sebagainya.
Pada era berikutnya, ketika muslim mulai menyebar ke Eropa (Granada, al-Hamra, Andalusia), Asia Selatan terutama di India (Moghul), dan Turki (Kekaisaran Ottoman), ciri Islam wasatiyyat tetap berkembang dengan keunikannya masing-masing.
Di Andalusia, muncul bahasa Spanyol “Convivensia” yang artinya koeksisten, toleran, hidup damai di antara agama dan kepercayaan yang bermacam-macam. Demikian pula di India muncul Sultan Akbar yang memperkenalkan konsep “Dini Ilahi” di mana umat Islam dan Hindhu dapat hidup dan bekerja bersama-sama.
Sementara itu, pada Kekaisaran Ottoman, mereka memiliki konsep ‘Millet’, yaitu pengadilan hukum terpisah sesuai aturan masing-masing komunitas agama. Kelompok yang menaati hukum syariah muslim, hukum kanon Kristen, dan halakha yahudi dipersilahkan menerapkan aturan sesuai hukum mereka sendiri-sendiri.
“Di Indonesia, Sultan Agung yang berkuasa di Kerajaan Mataram juga memiliki konsep yang baik untuk hidup damai di antara agama Hindhu, Buddha, Islam, dan aliran-aliran kepercayaan. Tanpa adanya warisan ini, maka tidak mungkin Indonesia bisa tumbuh seperti saat ini,” papar Amin.
Memasuki masa modern, konsep tentang Islam wasatiyyat tetap dikembangkan dalam bentuk yang lebih kontemporer. Setidaknya ada empat elemen yang membentuknya. Pertama, modal sosial dan budaya karena keberagaman dan pluralitas dari etnis, ras, kepercayaan, dan agama menonjol di Indonesia. Kedua, adanya dasar negara Pancasila dan konstitusi. Ketiga, keberadaan masyarakat madani muslim terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sudah berdiri bahkan jauh sebelum negara Indonesia ada. Keempat, keberadaan tempat-tempat pendidikan yang mengajarkan tentang konsep-konsep Islam moderat.
Perlu diwariskan
Praktik-praktik sejarah Islam yang mencerahkan dari zaman ke zaman ini perlu terus-menerus diwariskan dalam pelajaran-pelajaran agama. Apalagi, selama ini pendidikan agama cenderung bersifat normatif dan hafalan serta kurang diperkuat dengan riset-riset sejarah, antropologi, sosiologi, dan filsafat.
“Kita perlu melakukan penyegaran ide-ide dan kombinasi dengan pendidikan umum untuk terus-menerus menggali konsep tentang Islam moderat dan Islam wasatiyyat mulai dari tingkat SMP, SMP, dan seterusnya. Ini penting agar kita tidak menjadi fanatik pada mashab-mashab tertentu," kata Amin.
Senada dengan Amin, Prof Muhammad Ghazali mengatakan bahwa pendidikan merupakan metode yang paling bagus untuk menumbuhkan kesadaran tentang Islam wasatiyyat.
“Pendidikan dibutuhkan untuk masyarakat sekarang. Dengan pendidikan yang benar, maka tak perlu lagi ada pemahaman yang salah tentang Islam. Padahal, kita tahu bahwa Islam adalah agama yang sangat bersahabat kepada seluruh manusia,” kata dia.
Jamal menambahkan, Islam wasatiyyat bukan sekadar slogan, tetapi suatu yang meresap pada seluruh aspek kehidupan, terutama pada hal kepercayaan yang harus menghindarkan diri pada sisi ekstremitas. Menurut Jamal, Islam ini adalah keyakinan supra rasional tetapi juga bukan irasional.
Wakil Presiden Komunitas Agama Islam di Italia, Yahya Sergio Yahe Pallavicini mengapresiasi digelarnya Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendikiawan Muslim Dunia tentang Islam wasatiyyat di Bogor oleh Kantor Utusan Khusus Presiden RI Untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban. Menurut Yahya, forum ini menjadi wahana yang tepat untuk saling berbagi tentang konsep Islam jalan tengah dari sejumlah negara serta penguatan jejaring.